TELAH TERBIT ! Tulisan Saddam Cahyo dalam Buku Antologi
Teruntuk Buku dan Belenggunya
Oleh
: M. Saddam
SSD.
Cahyo*
Bagaimana bisa aku menyebut
buku sebagai belenggu? Lancang sekali kiranya. Bukankah ia dipuja dengan julukan
si jendela dunia? Betapa manusia modern selama ini begitu takjimnya pada
aksara, kepada kitab-kitab, dan para cendekia yang hidup berkelindan dengannya demi
mencerahkan seisi dunia.
Buku ibarat monumen sejarah peradaban.
Ia menjadi penanda terkuburnya zaman gelap pra sejarah. Tatkala manusia belum
mengenal sistem bahasa yang kompleks dan konon nyaris berperilaku setengah
binatang. Ya, buku adalah cermin kemajuan alam pikir manusia yang bervolume
otak lebih besar karena kegigihannya berevolusi.
Sulaman Aksara Pengetahuan
Lewat rangkaian huruf yang
disemat dan disulam dengan apik dalam gulungan kulit hewan, lembaran daun
kering, ukiran tulang belulang, sampai goresan tinta pada kertas, segala macam pengetahuan,
pengalaman, kesan, dan angan-angan kehidupan dicatat untuk bisa dipelajari. Orang-orang
besar dan pemimpin di masa lalu bahkan identik dengan buku-buku yang
dikaryakannya semasa hidup
Tradisi literasi yang mulia
ini memanglah pencapaian luar biasa bagi peradaban manusia. Bagaimana tidak? Ia
menjawab keresahan para tetua nan bijaksana, soal hidup yang harus diisi dengan
mencecap segala pengalaman dan belajar darinya untuk kebaikan di masa depan.
Namun, akungnya umur dan kemampuan manusia untuk bisa mengalami banyak hal sangatlah
terbatas.
Kehadiran buku sebagai
teknologi mutakhir dalam denyut nadi zaman telah sungguh-sungguh mengukuhkan
keadaban manusia. Lebih jauh, buku-buku yang kian banyak diciptakan dan dipelajari
di seantero penjuru dunia kemudian melahirkan budaya keilmuan. Ilmu pengetahuan
sebagai sistem pengetahuan yang terstruktur dan terukur kian berkembang, pun
demikian dengan pengajarannya.
Bahkan jika menengok banyak
catatan sejarah di masa lalu, soal kerajaan-kerajaan mashur yang berhasrat
tinggi membangun imperium dengan meluaskan kuasanya di muka bumi lewat jalan perang.
Mereka tidak hanya membantai pasukan dari negeri lawan, tak sekedar meruntuhkah
ajaran agama lokal, bukan cuma memperbudak rakyatnya, tapi juga
membumihanguskan dan menjarah perpustakaan. Itu karena mereka sadar betul betapa
buku adalah sumber ilmu pengetahuan yang harus dikuasai jika ingin berkuasa penuh.
Model kejahatan peradaban seperti
ini terus diduplikasi meski zaman telah berubah. Di masa awal gerakan
kolonialisme negeri-negeri barat atas dunia, mereka tidak berpuas diri dengan
hanya menaklukan tanah jajahan dan menguras segala potensi kekayaannya.
Bangsa-bangsa superior itu juga merasa berhak atas segala pencapaian pengetahuan
bangsa jajahannya.
Tak ayal, sudah menjadi
rahasia umum, entah berapa ton pastinya kitab-kitab kuno para leluhur Nusantara
yang dirampas oleh Belanda dan tak kunjung dikembalikan sampai sekarang. Belum
lagi akan tambah memilukan jika mengulik aneka koleksi artefak dan arsip asal
tanah jajahan di museum negeri adidaya semacam Inggris, Prancis, Spanyol, dan
sebagainya.
Mereka sadar betul cara ini adalah
bagian utuh dari strategi penjajahan. Betapa jika sebuah bangsa yang telah
menyusun hidupnya sendiri, lalu ditaklukan dan dirampas sumber ilmu pengetahuannya,
ia akan melahirkan generasi yang terlalu bodoh untuk menyadari bahwa penjajahan
di atas dunia bukanlah keniscayaan ilahi. Inilah kunci sukses kejayaan hingga
sanggup membagi-bagi belahan dunia dalam genggaman kuasa selama ratusan.
Aku dan Buku
Lantas bagaimana urusanku dengan
buku? Barangkali tulisan ini akan menjadi terlalu pribadi dan bernada
subjektif. Bisa juga uraianku dianggap pesimistik, meski sesungguhnya tidak
ditujukan demikian. Tak mengapa, karena telah menjadi hak mutlak pembaca untuk
menafsirkan segala tulisan yang diterbitkan. Penulis tidak lagi sepenuhnya
berhak menentukan makna. Bahkan jika ia sibuk memberi penjelasan, hanyalah
menjadi khutbah di tengah lautan.
Bermula dari kebiasaan yang
ditularkan mendiang Ayahku dengan ratusan koleksi bukunya. Beberapa bulan
sekali, ia akan memaksaku untuk membantunya membersihkan debu dan merapihkan kembali
susunan buku dalam rak-rak sesuai tema. Beberapa ia perlakukan khusus dengan
bungkusan plastik transparan agar tak rentan rusak. Di tengah proses itu, ia
akan mengulas kisah dibalik buku yang mengesankannya, entah karena isinya atau
cara mendapatkannya. Beberapa ceritanya kadang sudah pernah diulang
berkali-kali.
Si kecil aku, hingga masa remaja
masih merasa jika ini hanyalah siklus yang memuakkan. Tapi seiring berjalannya
waktu, aku menyadari telah mulai terhabituasi dengan tumpukan buku-buku. Di kolong
ranjang kasur tidurku misalnya, entah sudah berapa banyak buku yang tersusun rapih
dalam kardus-kardus. Meski semuanya hanyalah buku komik bergambar yang hampir
setiap hari kubeli di toko loak sepulang sekolah.
Mulai dari cerita yang paling
sederhana dan jenaka, hingga akhirnya mulai mengeja novel-novel yang kompleks.
Aku semakin larut merenangi samudera aksara. Kemanapun, di manapun, sebuah buku
yang sedang kugandrungi akan terselip di saku tas. Saat naik bus dan angkot, jam
istirahat kelas, tengkurap di ruang tamu, sampai jongkok buang air besar pun
menjadi waktu-waktu favorit buatku melahap kisah demi kisah yang ditulis.
Perpustakaan SMP rasanya sudah
jadi taman bermain imajinasiku, dan pustakawan yang dikenal judes itu ternyata
sangat ramah. Kecenderungan ini ikut bertumbuh seiring bertambahnya usia. Saat
berseragam putih-abu aku punya kebiasaan baru, nyaris setiap hari sepulang
sekolah aku berjalan kaki sejauh dua kilometer menuju satu-satunya Gramedia
Store di kotaku saat itu. Meski setibanya bajuku harus agak basah diganjar
keringat, tapi hembusan dingin dan aroma parfum mesin AC gedungnya sangat bisa
diandalkan.
Ada beberapa alasan: pertama,
harga buku mulai terasa mahal dan di sana selalu tersedia sampel tak bersegel
yang bebas dibaca sambil berdiri; kedua, di sana ada beragam buku baru dengan
genre yang seolah tak berbatas, belum lagi aneka benda yang seru buat sekedar
cuci mata; ketiga, tentu saja karena tempat ini cukup popular khususnya bagi
remaja. Aku tak hanya bisa memuaskan dahaga literasi, tapi juga menikmati pesona
gadis dari beragam sekolah di kota itu.
Nafsu membacaku kian memuncak.
Dari komik ke novel, cerita komedi dan roman, masuk ke buku sejarah, tokoh politik,
dan mulai menjamah teori-teori sosial bukunya anak kuliahan. Semakin tebal saja
buku yang menarik minat mataku. Ini pertanda semakin mahal pula harganya, dan
karena uang saku jauh dari cukup hanya beberapa yang sanggup kutebus dan bawa pulang.
Kebanyakan aku harus bolak balik dan berdiri minimal dua jam sehari demi
menuntaskan bab demi bab yang menggugah fantasi.
Di bangku perkuliahan, hobi
membacaku semakin mengapung kesana-kemari. Lebih dari separuh dinding kamarku
mulai terinstal rak buku dengan koleksi yang akan terus bertambah karena sudah
ada jatah belanja bulanan. Ya seperti para pemabuk aksara lainnya, aku memimpikan
bisa membangun sebuah perpustakaan pribadi. Menikmati indahnya hidup yang
berkalang buku. Kucatat dengan cermat identitas setiap koleksi yang baru masuk
ke dalam buku besar sesuai genrenya. Tak hanya itu, kubuat fanpage facebook dan rutin mengupload fotonya ke dalam album sesuai
tema. Bahkan kupesan khusus stempel karet ukir untuk menandai semua buku
koleksiku.
Lambat laun nama Bengkel Batja Saddam Tjahjo mulai
dikenal di kalangan teman sejawat, dan mereka banyak datang untuk sekedar
meminjam dan berbincang seputar buku. Aku sangat menikmati pencapaian itu,
bahkan sampai agak kewalahan menanggapi permintaan. Padahal tidak sedikitpun
kegiatan ini dikomersilkan, murni hanya untuk kepuasan batin saja, peminjam
buku hanya diwajibkan untuk mengkonfirmasi apakah sudah selesai membaca dalam
sebulan, dan memberi sedikit ulasan sebagai bukti hasil bacaannya.
Aktivitas literasi ini
akhirnya mendorongku melangkah lebih jauh. Rasanya sudah begitu banyak nama penulis
dan karyanya yang ku simak baik-baik. Tapi seperti ada yang kurang, ya tentu
mengapa tidak aku sendiri mulai belajar menulis? Akhirnya secara berangsur secara
otodidak aku berusaha untuk membuat artikel resensi atas buku-buku yang pernah
terbaca. Aku mencatat informasi detil dari buku yang diulas, dan berbagai hal penting
di dalamnya, bahkan juga kesan pribadi atas karya tersebut.
Lama kelamaan, aku mulai candu
menulis. Seolah inspirasi selalu bertaburan dan memohon dipetik lalu dikunyah,
dicerna, dan diteruskan menjadi gagasan yang patut ditawarkan pada khalayak. Aku
pun nekat menulis artikel opini serampangan, lalu mengirimnya terus menerus ke
email redaktur koran-koran daerah. Setelah lebih dari sepuluh kali diabaikan,
akhirnya kujumpai kegembiraan yang maha dahsyat. Seorang kawan mengabarkan
tulisan berjudul Masyarakat Dilarang
Mudik Lebaran! terbit di Jawa Pos.
Sejak itu produktivitasku
menulis artikel pun semakin terpacu. Setiap bulannya minimal bisa lebih dari
satu kali menjebol meja redaksi media massa baik cetak atau online di ranah
lokal hingga nasional. Ternyata hobi baruku ini tak luput dari sorotan
Ayahanda. Secara diam-diam ia mengkliping tulisan-tulisanku dan memamerkannya pada
handai taulan yang berkunjung ke rumah. Sungguh itu adalah apresiasi yang
sangat tinggi dan tak tergantikan nilainya.
Hobi menulis ini juga menjadi
sumber penghasilan yang menggiurkan, meski tak seberapa dibanding pekerjaan
fisik. Tapi hal ini telah mematangkanku untuk tumbuh sebagai orang dewasa yang
mandiri dan berangsur bebas dari tanggungan orang tua. Aku juga terdorong untuk
lebih sering dan banyak membaca, tak hanya buku kulahap tapi juga informasi
terkini yang terus mengalir tanpa jeda dari siaran berita media massa. Isi kepalaku
selalu bergolak, mengolah gagasan, dan meluap-luap dalam kerangka tulisan.
Berubah Jadi Belenggu
Sayangnya laju grafik kelindan
hidupku pada buku malah jatuh melandai. Ada begitu banyak faktor dari realitas
subjektif maupun objektif yang kualami kemudian, yang menuntut dan memaksaku
untuk memalingkan wajah dari dunia literasi yang kuimpikan. Ya, aku pernah
bersumpah harus menulis setidaknya satu buku yang berguna sebelum harus mati
meninggalkan dunia.
Obsesi itu sepertinya terlalu
besar buat jiwaku yang kerdil kala itu. Aku jatuh dalam kekecewaan pada diri
sendiri, merasa gagal dan bodoh tak ketulungan. Segala upaya untuk bisa
menemukan ide besar dan serius menuliskannya secara terstruktur malah menjebak
diriku untuk berkali-kali tersandung hambatan dan jatuh tersungkur dalam jurang
keraguan. Alih-alih mencapai kristalisasi gagasan, aku justru kian minder dan
merasa tak layak.
Ditambah percepatan perubahan
keadaan. Satu-satunya jalan yang kutemui hanyalah ikut dalam arus serapan pasar
tenaga kerja seperti manusia pada umumnya. Maka habislah ragaku dilumat
rutinitas pekerjaan, dengan lingkungan yang kian jauh dari tradisi literasi. Kebiasaan
ku membawa buku ke tempat kerja dan membacanya di sela waktu istirahat dipandang
terlalu aneh bagi semua orang yang ada di sana.
Tahun demi tahun berlalu, aku
masih bertahan keras untuk rutin membaca, meski kemampuan menulis kian rontok.
Otak seperti begitu mampet atas karat saat harus kembali menari di atas keyboard atau menggoyangkan pena. Sedangkan
obsesi itu masih membara meski sudah terselip jauh di ujung lorong jiwa. Mental
pecundang tumbuh menggerogoti akal sehat, seiring dengan kian menebalnya debu
menyelimuti koleksi buku di kamar.
Bertahun-tahun kemudian aku
hidup dalam keterasingan. Raga ku harus lebur dengan ritme rutinitas kelas pekerja
yang menghisap habis energi dan pikiran. Seringkali dalam putaran waktu sepekan
aku sungguh tak punya kecukupan tenaga untuk membaca, bahkan sekedar berita
serius. Sialnya, jiwaku yang kosong ini berontak dengan cara yang entah baik
atau tidak. Ia bergerak sendiri secara serampangan, ibarat samurai yang kalah perang
dan dikepung ratusan lawan sebagai sebuah penghabisan.
Berangkat dari seorang penggemar
bacaan, beralih menjadi kolektor buku yang produktif, tetapi kemudian harus terpuruk
menjadi seorang pecandu buku yang tak punya arah. Apabila pembaca budiman pernah
mendengar istilah tsundoku atau juga bibliomania, barangkali gangguan mental
semacam fetisisme itulah yang menerpa
jiwaku yang kalang kabut menerima perubahan kenyataan.
Setiap bulannya buku menarik
yang diwartakan terbit semakin banyak saja, belum lagi siaran jalur khusus soal
buku langka yang begitu layak jadi buruan. Aku sungguh kelelahan dan sering
kehabisan uang, setiap minggunya satu demi satu kiriman paket buku datang ke rumah.
Tak ada lagi pencatatan di buku besar, apalagi mau dibaca dan diulas. Buku-buku
itu hanya menumpuk, kebanyakan masih tersegel, dan beberapa utuh dalam kemasan
kardus dari toko asalnya.
Sesungguhnya aku merasa
tersiksa. Keadaan ini tidaklah semudah mereka yang enteng saja mencibirku
sebagai penimbun buku. Tak jarang pula penghakiman dunia datang dengan citarasa
akhirat, mereka sebut kecanduanku ini akan menjadi dosa pemberat di masa hisab pasca kematian menjemput kelak.
Duh, betapa mereka semua tak mau mengerti dan ambil peduli bahwa aku sedang
membutuhkan uluran tangan penyelamat.
Beruntung, di sela riuhnya perhelatan
tahun politik 2019 aku mendapatkan kesempatan emas untuk beralih profesi. Kini
aku bekerja di lingkungan yang lebih kondusif untuk kembali menyuburkan gagasan
dan tentu merujuk pada banyak referensi bacaan. Kusadari jika Tuhan memang
selalu ada, tapi caranya menjawab doa memang selalu menjadi misteri bagi
manusia. Luka pada jiwaku berangsur sembuh, kini tak lagi ada beban di pundak.
Kupilah dengan sadar memilah
mana buku yang perlu dibeli dan layak dibaca. Selalu kusisihkan jeda waktu untuk
mengolah gagasan dalam tulisan. Tanpa keraguan, aku suka berbagi buku sebagai
tanda mata persahabatan. Belakangan cerpen dan esaiku mulai rutin lolos terbit
di banyak ajang kepenulisan buku antologi, dan kumpulan artikel opiniku di masa
lalu telah dikemas sebagai bunga rampai. Semoga kelak aku sungguh bisa menulis
buku sebagaimana diimpikan sejak awal.
Amin.
--------------
*) Seorang pekerja urban di ibu kota negara. Alumnus
Sosiologi FISIP Universitas Lampung.