TELAH TERBIT ! Tulisan Saddam Cahyo dalam Buku Antologi
" PAGEBLUK DAN SEGORES TINTA KEHIDUPAN " dari UVI MEDIA
Memaknai Ulang Pesan “Hidup Berdamai dengan Covid-19”
Oleh
: Saddam Cahyo*
Izinkanlah saya berceloteh,
konon menulis itu terapi mental yang sangat bermanfaat. Sore tanggal 5 Juni
2021, berjalan dengan pikiran setengah kosong ke arah lapangan parkir RSPAD
Gatot Subroto, Jakarta Pusat. Setibanya di dekat kendaraan, tarikan napas dalam
dan hembusan panjang perlahan terasa cukup melegakan. Sekali lagi, amplop dalam
genggaman dibuka dan baca dengan cermat. Tak lain, sudah final saya dinyatakan positif
terinfeksi virus SARS-CoV-2 dengan angka CT (Cycle Treshold) hanya 14 dari angka minimal 40.
Setidaknya sudah empat hari
sejak gejala pertama. Sepulang mengiringi pemakaman jenazah paman ke kampung
halaman, muncullah batuk yang mengganggu. Esoknya di kantor tubuh menggigil tapi
harus lembur, dan diguyur hujan dalam perjalanan pulang. Alhasil saya mengalami
demam tinggi dengan suhu tubuh mencapai 39 derajat celcius selama dua malam.
Hari berikutnya saya putuskan untuk tes rapid anti gen di klinik terdekat, dan
langsung reaktif.
Keringat dingin tetiba saja bercucuran,
kacamata berembun, dan saran dokter tak bisa disimak karena mental lekas ambruk.
Malam itu saya nyaris tak bisa tidur, diterpa demam, radang tenggorokan, batuk
berdahak disertai bercak merah, dan diare hebat. Pada akhirnya usai setahun
lebih bertahan di Ibu kota, ternyata saya harus turut merasakan langsung paparan
Corona Viruses Deseases 2019 alias Covid-19. Sejak itu indra penciuman lumpuh,
tak ada aroma yang bisa dikenali. Indra perasa pun bekerja kacau, tak ada rasa
yang tepat dicecap.
Berdamai dengan Virus Pembunuh?
Setelah berhasil menenangkan
diri dan menyusun ulang mental untuk siap menghadapi masa isolasi mandiri, ingatan
saya bergulung mundur ke satu tahun lalu. Masih di tengah keterombang-ambingan
bangsa menghadapi krisis multi-dimensi akibat pagebluk yang secara spontan
menghentikan semua arus dan putaran kehidupan. Presiden Joko Widodo tetiba mengajukan
gagasan yang menggemparkan publik.
Melalui pidato yang videonya diunggah
Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden di tanggal 7 Mei 2020, Pak
Jokowi berkata, “..Sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup
berdamai dengan Covid-19..” Kutipan ini kemudian berkembang pelik menjadi “gorengan”
isu nasional.
Intinya ia menyeru agar kita
semua mulai berusaha menyudahi kepanikan dan segala ketakutan, untuk segera
bangkit melanjutkan kehidupan, memandang hari esok penuh rasa optimis. Sebuah
maksud baik lagi mulia, tapi tak salah bila sang pemimpin harus menuai semburan
kritik warganya, terlebih di jagat maya. Maklum, saat itu kita baru saja
diserang kepanikan massal pasca ditemukannya pasien 01 dan 02 di Depok bulan
Maret 2020. Tak lama berselang, terbitlah kebijakan yang membuat semua
aktivitas publik nyaris dihentikan.
Sekolah, kantor, pabrik, pusat
perbelanjaan, objek wisata, sarana hiburan, rumah ibadah, hingga layanan transportasi
antar kota dipaksa berhenti beroperasi sampai batas waktu yang belum bisa
ditentukan. Semua warga negara diharuskan berdiam diri di rumah, membatasi
aktivitas di luar, dan meminimalisir adanya interaksi sosial secara fisik.
Sungguh keadaan yang mengejutkan, dan jauh terbalik dari kebiasaan yang selama ini
dikenal.
Terang saja kondisi ini memporak-porandakan
segalanya. Pandemi melahirkan krisis mental, di mana manusia dihadapkan pada kondisi
ancaman dan terdorong cari selamat sendiri. Fenomena panic buying misalnya memberi gambaran empiris bagaimana orang
menimbun segala perkakas protokol kesehatan dan sembako tanpa peduli dampaknya
secara makro. Setelah barang-barang kebutuhan itu habis di pasaran, para spekulan
kelas kakap pun beringas mengambil kesempatan dan menularkan mental
keculasannya.
Seketika masker, cairan
antiseptik, pemutih pakaian yang juga disinfektan dijual terbatas dengan harga
yang sundul langit menabrak batasan akal. Pandemi juga melahirkan krisis
finansial yang luar biasa. Tiga bulan pertama hantamannya, laju pertumbuhan
ekonomi nasional merosot tajam. Catatan Badan Pusat Statistik di kuartal I 2020
hanya mencapai angka 2,97% dari target 4,5%. Kuartal II 2020 realisasinya minus
5,32% dan ini terendah pasca Krisis 1999. Jangan ditanya bagaimana kondisi real
di lapangan. Berapa banyak perusahaan bangkrut, usaha mikro menengah gulung
tikar, rakyat kehilangan pekerjaan dan sumber penghasilan.
Tapi faktanya kita tak
sendirian mengalami derita ini, sebab seluruh umat manusia di dunia ikut
terluka. Tak ada satupun negara bangsa yang sanggup tampil digdaya atas pandemi
virus corona. Angka infeksi terus melonjak naik dan penularan kian meluas dalam
waktu singkat. Jutaan orang terpapar, kapasitas bangsal fasilitas medis tak
lagi mencukupi, tenaga kesehatan mendadak jadi prajurit perang garda terdepan,
sementara penyakit ini belum dikenal karenanya tak ada obat yang pasti, hingga
korban terus berguguran. Setidaknya tercatat 223 negara terdampak, dengan
nyaris dua ratus juta orang telah terinfeksi, dan hampir empat juta orang tewas.
Teror kematian massal merebak
dimana-mana, ini begitu menakutkan bagi semua lapisan umat manusia. Inilah
latar objektif munculnya keriuhan bernada gugatan sebagai ekspresi kekecewaan
warga pada pemimpinnya. Bukan cuma pemerintah pusat, di daerah pun pemerintahnya
ikut gelagapan menerjemahkan kebijakan. Suara protes dugaan ketidakbecusan penguasa
masih bergulir sampai sekarang. Data resmi yang muncul setiap hari bagai hujan
kabar buruk yang tak kunjung mereda. Angka infeksi harian di berbagai kota
terus memecahkan rekornya sendiri. Bukanlah prestasi yang patut dibanggakan,
sudah begitu kok mau berdamai?
Sungguhkah Kita Bisa Berdamai?
Juni 2021, Indonesia menyentuh
angka dua juta lebih manusia positif terinfeksi, dan kematian yang berhasil
dicatat 54.662 jiwa. Disebut tertinggi sedunia untuk angka kematian anak. 12,5%
kasus positif adalah anak-anak dengan Case
fatality rate mencapai 3-5% . Memang semua takut mati, tapi nyatanya ada
ketakutan yang lebih meresahkan mayoritas warga di negeri ini. Terus menahan
diri mengurangi aktivitas dan interaksi ternyata menimbulkan persoalan lain.
Secara domestik, kemampuan rumah tangga memenuhi kebutuhan logistik terus
menurun karena tak lagi produktif, dan keadaan ini menimbulkan banyak gangguan
kesehatan mental.
Kemiskinan jadi momok baru.
Keluar rumah mungkin menjemput mati, namun berdiam sama saja mengubur diri hidup-hidup.
Sambil terus mencibir pidato Presiden yang dianggap sebagai pernyataan menyerah
pada kuasa pandemi, rakyat terus menerjemahkan sesuka hati. Alih-alih menyentuh
substansi pesan damai soal disiplin dan konsekuen mengetatkan prokes saat harus
mengayuh kembali roda kehidupan. Sebagian warga justru keluar rumah dengan rona
wajah pasrah berputus asa, menerobos dengan ketidakacuhan, bahkan mengingkari
keberadaan pandemi itu sendiri.
Kebijakan masa transisi dari Pembatasan
Sosial Berskala Besar (PSBB) memang terkesan mengendurkan segalanya. Aktivitas
masyarakat di ruang publik tampak berangsur pulih. Inilah era Normal Baru
dengan prosedur Adaptasi Kebiasaan Baru yang menerapkan model Prokes 5 M sebagai pra syarat. Memang
dunia tak lagi terasa begitu longgar seperti dahulu, sebab ada banyak sorot
mata awas yang berusaha menjamin kita bisa membangun kesadaran dan perilaku
sesuai kaidah zaman corona. Tapi setidaknya, kita mulai bisa kembali menikmati aneka
warna dunia, meski dengan banyak syarat.
Namun, siapalah mampu
membendung banalitas. Saya menyoroti dua fenomena sosial yang populer karena
sifatnya dekonstruktif bagi peradaban. Fenomena Covidiot, merupakan sindiran bagi mereka yang
bebal dan secara sadar melawan arus gerakan penanggulangan pandemi. Orang-orang
ini tanpa ragu bersikap terbuka, dalam perilaku maupun pernyataan, menuding
bahwa Novel Corona Virus hanyalah
bualan tingkat tinggi, konspirasi global untuk memuaskan kepentingan elit dunia
dan menumbalkan kehidupan jelata. Sebagian dari golongan ini juga mungkin tak
terlalu sampai ke ranah penentangan teoritis, melainkan sekedar pokoknya tidak percaya.
Merasa dirinya selalu
baik-baik saja meski terus melakukan aktivitas beresiko tanpa melakukan prokes.
Menganggap sebaran data penularan, penanganan medis, dan angka kematian sebagai
berita fiktif yang disengaja untuk memantik kegemparan. Masih banyak lagi alasan
yang diajukan golongan ini. Musisi Jerink alias JRX Superman Is Dead misalnya, tampil sebagai sosok yang agresif membangun
narasi konspiratif. Belakangan ia harus menjalani sengketa hukum karena
ulahnya, tapi sampai bebasnya dari masa tahanan pun ia konsisten memassifkan
wacana ini.
Di ranah yang lebih mikro, tak
terhitung berapa banyak pemberitaan muncul seputar razia gabungan Satgas
Covid-19 yang menjumpai warga berpolah nyeleneh.
Menolak pakai masker, tak sudi diuji rapid anti gen, mengabaikan prosedur isolasi,
dan keras hati mengumpati petugas tanpa memandang lagi lapisan warna dan motif seragam
apapun yang dikenakan. Seolah keberanian untuk membela kebenaran (palsu) timbul
membuncah begitu saja. Belum lagi kebebasan bicara di media sosial yang sulit
disaring itu. Banyak orang khilaf memposting pernyataan sensitif tanpa empati,
tapi berujung pula pada permintaan maaf usai ditangkap aparat.
Kasus terakhir Asep Sakamullah
(32) warga Kuningan, Jawa Barat yang mengunggah video di akun facebooknya (18/6/21). Ia berani
menyentuh langsung jenazah korban Covid-19 demi membuktikan virus ini omong
kosong belaka. Tak hanya itu, di sekitar pun banyak warga yang tak lagi pernah
menerapkan prokes sesuai anjuran. Pesta hajatan dan beragam giat yang
menimbulkan kerumunan digelar, tanpa seorang pun menggunakan masker, apalagi
mencuci tangan dan menjaga jarak aman.
Sungguh mengenaskan lonjakan
dan rekor baru penularan virus mematikan ini di setiap musim liburan. Meski
pemerintah bersiasat menahan laju mobilitas penduduk dengan menganulir cuti
bersama, melarang mudik, pembubaran kerumunan, pembatasan jam operasional,
penyegatan di jalur lintas kota, dan sebagainya, seakan sia-sia belaka. Arus
mudik dan pariwisata tak terlalu bisa dicegah, lagi-lagi berita menyiarkan betapa
banyaknya manusia yang merasa berhak lantang membantah instruksi petugas dan melontarkan
caci maki karena pemenuhan hajatnya dihalangi. Kecupetan alam pikir manusia
memang sulit ditolak, belakangan fenomena ini juga kerap diimbangi dengan
istilah Herd Stupidity.
Berikutnya Fenomena Infodemi juga
tak kalah memilukan. Saat banyak pihak masih terus berusaha membangun optimisme
dan narasi baik, urun tangan mengatasi dampak ekosob pandemi, mengurai biang perkara
lewat riset virologi, pontang-panting mengurus pasien dan jenazah di bangsal
isolasi, sampai gencar mensukseskan program vaksinasi. Seiring itu pula, kesimpangsiuran
berita mengalir deras tiada henti, melewati segala celah jejaring komunikasi.
Baik dari perusahaan media ternama, yang abal-abal, sampai sebaran kabar sporadik
di gawai dalam genggaman tangan sendiri.
Viral! Awas! Bahaya! Seruan demi
seruan didengungkan, entah benar tidaknya, entahlah! Seolah tak ada lagi kabar pasti,
semua informasi samar berkabut, yang benar terasa bohong, yang salah dianggap
jujur. Barangkali inilah akibatnya jika wabah terbit di era yang disebut post-truth oleh para ahli pikir. Nalar
manusia tak lagi diberi waktu yang cukup untuk memilah, memilih, mencerna, dan
menguji informasi yang masuk. Sialnya, setiap upaya tabayyun atau verifikasi juga seakan menemui jalan buntu karena kepalang
terjadi bias massal common sense.
Jika satu kabar terkonfirmasi,
maka kabar lain memberi pembanding yang tak kalah kuat, dan kabar lainnya
mengajukan bantahan yang pas di perasaan. Begitu seterusnya, pola ini direproduksi
sampai orang-orang harus berdebat tanpa pijakan yang kuat. Kejinya, berita
bohong yang menyesatkan seputar pandemi terus bertaburan, berserakan,
menggunung dan siap runtuh menenggelamkan kesadaran umum. Keadaan ini sangatlah
merugikan, ia menghambat perjuangan memenangkan perang tak kasat mata ini.
Bukan hanya bagi pemerintah si empunya kuasa, melainkan kita semua warga biasa,
pemilik peradaban yang sesungguhnya.
Berdamai itu Kata Kerja!
Tidak, jangan salah paham.
Saya bukan sedang menggugat saudara sebangsa semua. Lebih jauh saya menuntut
diri sendiri, yang telah begitu hanyut dalam suasana dan mengabaikan indahan
kesadaran. Saya mulai mengugurkan kedisiplinan atas prokes. Keangkuhan tumbuh
seiring menguatnya rasa aman dan nyaman dalam menekuni aktivitas harian. Pekerjaan
mulai lagi tak karuan menyita waktu, mobilitas antar daerah dan bersinggungan
langsung dengan khalayak dalam frekuensi yang meninggi. Apalagi saya sudah
mendapat vaksinasi dua tahap di masa awal program digulirkan.
Kesombongan memang selalu
berbuah kejatuhan, kita harus selalu mawas diri terhadapnya. Semoga celoteh
oto-kritik ini tak sampai melukai perasaan pembaca budiman. Pada dasarnya
refleksi ini berujung pada simpulan, betapa sesungguhnya seruan untuk berdamai
itu sama sekali bukan pengganti kata menyerah. Ia justru sebuah kata kerja yang
menuntut aktivasi daya kolektif kita sebagai sebuah bangsa. Bagaimana kemampuan
kita untuk membangkitkan kembali spirit gotong royong menghalau pandemi.
Kebijakan pemerintah yang efektif
dan efisien ternyata bukanlah satu-satunya syarat kemenangan, sebab ia tak mungkin
menjadi utuh tanpa partisipasi sadar dari seluruh rakyat. Dalam keadaan sakit
saya menulis ini, merasakan langsung betapa kehadiran dukungan dan perhatian
handai taulan telah menjadi suplemen ampuh yang menguatkan imunitas tubuh. Sementara
ketegangan dari kabar hoaks dan perlakuan dengan stigma justru menjorokkan
tubuh pada gejala sakit yang kian mendalam, meski berbagai obat-obatan sudah
ditelan.
Inilah urgensinya untuk kita dapat
lekas bergandengan hati dan pikiran, membangun support system dari lingkungan yang sadar. Bahwa pandemi tak akan
hilang begitu saja, ia juga tak mungkin dilawan sendirian. Saatnya kita
berhenti mengutuki kegelapan dan berbalik saling dukung menerangi kenyataan. Berdamai
adalah pesan kesiapsiagaan, sebuah tugas mulia bagi setiap warga negara untuk
ikut berjuang membela bangsa. Mengasah kepekaan dan kepedulian terhadap sesama,
mulai dari hal kecil dalam diri sendiri. Sekarang, kesadaran individu sangat menentukan
keselamatan populasi komunitasnya. Salam Sehat Bangsaku!
--------------
*) Seorang pekerja urban di tengah belantara hutan beton
ibu kota negara. Alumnus Sosiologi FISIP Universitas Lampung.
Kumpulan artikel
opininya dalam rentang tahun
2010-2015 telah dibukukan
dengan judul Biji
Yang Bertumbuh: Bunga Rampai Pemikiran Kritis Mahasiswa di akhir tahun 2020.