TOR
(
Term of References )
Bedah
Buku “BUMI MANUSIA”
Novel
pertama dari Tetralogi Buru Karya Pramoedya Ananta Toer
Diselenggarakan
oleh LMND Eksekutif Wiilayah Lampung
Sabtu,
17 November 2018
Pemantik
: Saddam Cahyo*
Jika
saja anda menggemari dunia sastra, pembaca buku yang aktif, atau suka mengikuti isu-isu
kemanusiaan, dan pengetahuan
seputar sejarah kontemporer bangsa Indonesia. Boleh jadi anda sudah mengetahui,
ya setidaknya pernah mendengar nama “Pram..” si legenda sastra pembebasan, dan
karya-karyanya. Namun, jika anda tidak tahu sama sekali, jangan bermuram durja.
Setidaknya anda tahu betul sosok Iqbaal Ramadhan si cowboy junior kan ?
Yap,
aktor pujaan generasi millenial yang kian populer setelah “memerkosa” karakter
DILAN di layar lebar itu, sudah resmi didaulat sebagai pemeran sosok MINKE,
tokoh utama novel BUMI MANUSIA karya Pramoedya Ananta Toer yang akan tayang di
bioskop tahun depan, di bawah kuasa sutradara Hanung Bramantyo. Maka tak perlu
khawatir, novel yang diduga sebagai bacaan berat ini toh pada akhirnya bakal
dikenal sebagai film yang renyah untuk dikunyah bersama.
Ah,
sudahlah. Kita cukupkan perdebatan soal Minke yang ikut “di-Iqbaalkan” oleh
kuasa modal itu. Lantaran harus
diakui, sejak tahun 2006 novel ini diwacanakan akan naik ke layar lebar oleh sutradara
Mira Lesmana yang serius itu, tapi toh hanya
Falcon Pictures lah yang menyanggupi pembiayaannya. Tentu dengan konsekuensi gugurnya
segala harapan ideal dari para pembaca Pram. Akhirnya, film ini murni digarap dengan
logika pasar yang sangat mempertimbangkan untung-rugi, bukan substansi.
Barangkali
ini pertanda alam, di tengah anjloknya minat generasi millenial untuk menjadi
pembaca serius, dan lebih asyik hanyut menjadi konsumen arus pasang informasi
digital. Kehadiran film BUMI MANUSIA ala Hanung&Iqbaal yang sekalipun sudah pasti banal, toh tetap mesti
disambut dengan gegap gempita sebagai pemecah kebekuan. Menjadi tanggung jawab
moral bersama kita kemudian, untuk menumbuhkan ketertarikan lebih jauh dalam pembacaan karya-karya Pram
pada generasi pemilik masa depan Indonesia.
BUMI
MANUSIA pada hakikatnya memang bukan bacaan roman sepele sebagaimana diucapkan oleh Hanung dan Iqbaal dalam
liputan wawancara filmnya. Sebaik-baiknya membaca novel, ialah yang diiringi upaya memahami latar
dan konteks penulisannya. Sesungguhnya buku ini merupakan salah satu mahakarya
dari seorang Pram, manusia Indonesia
pertama yang masuk nominasi peraih Nobel Prize
itu. Penting pula diingat, bahwa ini hanyalah seri pertama dari empat buah buku: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan
Rumah Kaca.
Kenyataannya
memang, novel tetralogi ini hadir lewat perjuangan dan pengorbanan yang mungkin
tak terperikan
oleh manusia Indonesia masa kini. Naskah
novel ini disusun dalam situasi darurat, di tengah masa pengasingannya sebagai
tahanan politik Rezim Orde Baru di tanah buangan Pulau Buru. Tanpa alat tulis dan
dalam keadaan tertindas lahir batin, Pram memaksakan dirnya untuk mengingat
kembali rencana penerbitan buku sejarah pembentukan nasion (baca: identitas kebangsaan)
Indonesia yang begitu dicintainya itu. Proyek penulisan buku tersebut
sebenarnya sudah cukup jauh disiapkan, ada banyak data yang terkumpul. Tapi
sayang, semua dimusnahkan tentara dan Pram dipenjara tanpa pengadilan pasca
persitiwa Gestok 1965.
Lantas Pram menemukan cara memelihara kewarasan. Dia
menuturkan naskah yang tersusun dalam kepala itu secara lisan kepada
kawan-kawan sesama tapol yang bertahun-tahun nyaris tak pernah bisa menikmati
hiburan. Setiap malam, sepulang kerja paksa yang mengancam jiwa selama satu
hari penuh. Kawan-kawan senang, tapi Pram justru tidak bisa tenang. Tak semua
data sejarah hasil risetnya dahulu bisa masuk dalam ingatan. Sementara
kawan-kawan pun tak lagi mampu diajak mengolah obrolan yang serius. Mereka adalah
orang-orang hidup yang nyaris tak lagi berjiwa saat itu, sebagai akibat terlampau
lelah menahan siksa dari tangan-tangan jahat penguasa.
Mau tak mau nalar sastra Pram membalikkan rencana. Dia
petik satu plot saja, yang dianggapnya paling kuat sebagai dasar dalam riwayat
sejarah pembentukan nasion berjuluk Indonesia ini. Maka tercetuslah sosok
karangan bernama Minke sebagai tokoh utama dalam kisah fiksi yang harus
dibuatnya. Tak lain sebagai personifikasi dari tokoh pahlawan nasional RM.
Tirto Adhi Suryo, yang dalam risetnya terdahulu disimpulkan sebagai “Sang
Pemula” alias pelopor pergerakan nasional di tanah air Nusantara modern.
Semakin hari, dari malam ke malam kisah ini semakin berkembang
dan panjang untuk diceritakan. Pram menemukan kembali semangatnya untuk
berkarya. Sekalipun harus lewat kisah fiksi, ia temukan cara untuk terus
melanjutkan usaha memberi sumbangan literasi bagi para generasi penerus bangsa
ini supaya lebih melek dan sadar pada sejarah. Pada konteks itulah sesungguhnya
novel BUMI MANUSIA ditulis, dicetak, dan dihadirkan sampai saat ini. Sementara
nuansa romantika percintaan si pemuda Minke dan Annelies yang indah seperti pualam
hanyalah bumbu penyedap, bukan menu utama.
Namun, dalam budaya sastra kita juga mafhum bahwa kuasa
penafsiran selalu ada di tangan setiap pembaca. Bahkan kerap disebutkan bahwa
seorang penulis sudah mati, sejak karyanya sampai menjumpai pembaca. Maka tidak
ada salahnya jika kita punya sudut pandang yang berbeda-beda saat membaca satu
naskah yang sama. Justru itulah kunci utama jika kita berharap bisa masuk ke
dalam intisari cerita. Perbedaan menghasilkan obrolan, dari situ kita bisa
beranjak pada pembacaan lebih dalam. Kalau perlu menyusun kritik atau malah
memperkuat pesan.
Apakah karya monumental Pram yang nyaris dikultuskan para
pembacanya ini nihil dari kritik? Tidak. Bahkan mendiang Pram sendiri
mengatakan, ini bukan karya yang sempurna baginya sendiri, dan ia tak lagi mau
“membacanya” karena takut harus ditulis ulang dan malah menjadi karya yang sama
sekali berbeda. Kajian-kajian perbandingan sastra belakangan, bahkan sudah
mampu menunjukkan keraguan atas orisinalitas novel Tetralogi Buru ini. Teruma
soal penciptaan karakter tokoh-tokoh utamanya, seperti Nyai Ontosoroh yang
begitu lekat dengan tokoh Pelagia dalam novel IBUNDA karya Maxim Gorky. Pun
demikian dengan Minke yang dipandang serapan dari tokoh Pak Tua Yevsey dalam
novel PECUNDANG yang lagi-lagi karya Maxim Gorky.
Tak dapat dipungkiri, mungkin saja jika Pram sangat
terpengaruh pada karya-karya terbaik dari sastrawan klasik Rusia tersebut
karena kisah-kisahnya yang kuat. Gorky memang idola Pram, selain Multatuli
alias Eduard Douwes Dekker, pegawai pemerintah kolonial Belanda yang menulis
novel Max Havelaar itu. Terpengaruh tentu sangat berbeda dengan meniru, yang
satu bisa dimaknai positif sementara lainnya pasti negatif. Lagi pula,
orisinalitas itu memang mitos dalam kehidupan nyata. Hukum dialektika
mengatakan bahwa tidak ada sintesis tanpa tesis sebelumnya yang dipertentangkan
oleh anti-tesis.
Prinsipnya, membaca Tetralogi Buru atau BUMI MANUSIA
sebagai buku pertamanya ini memanglah penting untuk dibudayakan oleh kita
semua. Lebih baik lagi jika sedini mungkin sudah diperkenalkan di bangku
sekolah menengah. Karena inilah paket buku yang terbaik sebagai pengantar ilmu
tentang sejarah kehidupan manusia Indonesia modern. Dari dalamnya bisa kita
petik begitu banyak makna tentang hakikat kemanusiaan universal. Sebagai sesama
manusia, sebagai anak, sebagai perempuan, sebagai warga negara, sebagai aktor
perubahan, sebagai korban penjajahan, sebagai pemelihara alam, atau sebagai monyet
sekalipun.
Pada akhirnya banyak perkataan di dalam buku ini yang dianggap
sebagai pesan mutiara, dan dirasa penting untuk dikutip sebagai penyemangat
bagi akal sehat dan hati nurani manusia Indonesia modern. Berikut beberapa
contohnya:
·
“Mama akan marah kalau aku tak menyayanginya. Kau harus
berterimakasih pada segala hal yang memberimu kehidupan, kata mama, sekalipun
ia seekor kuda,” Annelies, Bumi Manusia, hal 50.
·
“Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka
karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri,” Nyai Ontosoroh,
Bumi Manusia, hal 59.
·
“Kau terpelajar, Minke,
seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran,
apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu,” Jean Marais, Bumi
Manusia, hal 77.
·
“…kasihan hanya perasaan
orang berkemauan baik yang tidak mampu berbuat. Kasihan hanya satu kemewahan,
atau satu kelemahan. Yang terpuji memang dia yang mampu melakukan
kemauan-baiknya,” Jean Marais, Bumi Mansuia 83.
·
“Mereka membela apa yang mereka anggap menjadi haknya tanpa
mengindahkan maut. Semua orang, sampai pun kanak-kanak! Mereka kalah, tapi
tetap melawan. Melawan, Minke, dengan segala kemampuan dan ketakmampuan,” Jean
Marais, Bumi Manusia, hal 87.
·
“Memerintah pekerja pun
kau tak bisa karena kau tak bisa memerintah dirimu sendiri. Memerintah diri
sendiri kau tak bisa karena kau tak tahu kerja,” Annelies, Bumi Manusia, hal
98.
·
“Manusia yang wajar mesti punya sahabat, persahabatan tanpa
pamrih. Tanpa sahabat hidup akan terlalu sunyi,” Nyai Ontosoroh, Bumi Manusia,
hal 101.
·
“Hidup bisa memberikan segala pada barang siapa dan pandai
menerima,” Nyai Ontosoroh, Bumi Manusia, hal 105.
·
“Sedang ayam pun, terutama
induknya, tentu membela anak-anaknya, terhadap elang dari langit pun,” Nyai
Ontosoroh, Bumi Manusia, hal 132.
·
“Cerita tentang kesenangan selalu tidak menarik. Itu bukan
cerita tentang manusia dan kehidupannya, tapi tentang surga, dan jelas tidak terjadi
di atas bumi kita ini,” Nyai Ontosoroh, Bumi Manusia, hal 165.
·
“Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku
bumi manusia dengan segala persoalannya,” Minke, Bumi Manusia, hal 186.
·
“Lelaki, Gus, soalnya makan, entah daun entah daging. Asal kau
mengerti, Gus, semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan
makanan orang lain. Harus semakin kenal batas. Kan itu tidak terlalu sulit
dipahami? Kalau orang tak tahu batas, Tuhan akan memaksanya tahu dengan caraNya
sendiri,” Bunda Minke, Bumi Manusia, hal 189.
·
“Kan baik belum tentu
benar, juga belum tentu tepat? Malah bisa salah pada waktu tempat yang tidak
cocok?” Miriam De La Croix, Bumi Manusia, hal 204.
·
“Kau akan berhasil dalam setiap pelajaran, dan kau harus percaya
akan berhasil, dan berhasillah kau; anggap semua pelajaran mudah, dan semua
akan jadi mudah; jangan takut pada pelajaran apapun, karena ketakutan itu
sendiri kebodohan awal yang akan membodohkan semua,” pesan Nenenda Minke, Bumi
Manusia, hal 310.
·
“Dalam kehidupan ilmu tak ada kata malu. Orang tidak malu kalah
salah atau keliru. Kekeliruan dan kesalahan justru akan memperkuat kebenaran,
jadi juga membantu penyelidikan,” Dokter Martinet, Bumi Manusia, hal 375.
·
“Tuan harus berani belajar dan belajar berani memandang diri sendiri
sebagai orang ketiga. Maksudku bukan seperti yang diajaarkan dalam ilmu bahasa
saja. Begini: sebagai orang pertama Tuan berpikir, merancang, memberi komando.
Sebagai orangkedua, Tuan penimbang, Pembangkang, penolak, sebaliknya bisa juga
jadi pembenar, penyambut. Tuan yang pertama. Tuan yang ketiga siapa dia? Itulah
Tuan sebagai orang lain, sebagai soal,” Tuan Martinet, Bumi Manusia, hal
379.
Demikian, semoga sejak hari ini kita semakin giat
menghidupi budaya literasi substansial. Tabik..!
------------
*) Alumni Sosiologi FISIP Unila. Mantan Aktivis LMND
Ekswil Lampung Tahun 2009-2015.