Oleh : M. Saddam SSD. Cahyo*
*) Peminat Kajian Sosial-Politik, Mantan Sekretaris Ekswil LMND Lampung 2012-2014.
Terbit di portal KORAN OPINI.COM, Kamis 15 Oktober 2015.
--------------
Luar biasa memang yang terjadi
pada seorang Gayus Halomoan Tambunan. Setelah lama tak terdengar pasca divonis
total 30 tahun hukuman penjara atas beberapa kasus, ia kembali muncul secara
sensasional. Publik di dunia maya mendadak heboh usai terpostingnya sebuah foto
yang menggambarkan sosok pria yang cukup terkenal sedang berada di tempat yang
tak semestinya. Ialah Gayus yang senyum sumringah bersama dua orang perempuan
di rumah makan.
Wajar jika foto itu mengundang
protes, mengingat statusnya sebagai narapidana kelas kakap yang seharusnya
mendekam di balik jeruji besi Lapas Sukamiskin Jawa Barat, malah tampak bebas
keluyuran di ibu kota. Meski sempat disanggah beberapa pihak, akhirnya Gayus
sendiri mengakui foto itu bukanlah rekayasa, dirinya memang berada di Jakarta
pada tanggal 9 September 2015 karena menghadiri sidang perdata gugatan cerai
sang istri.
Namun untuk seorang Gayus,
alasan normatif begini tentu sangat sulit diterima sebagai sekedar
penyalahgunaan izin yang bisa dimaklumi. Pasalnya jelas, ia punya catatan buruk
yang tak bisa disepelekan. Tanggal 5 November 2010 lalu, aksi penyamarannya
pernah tertangkap basah oleh bidikan kamera seorang wartawan di sebuah arena
pertandingan tenis internasional di Bali, padahal ia sudah resmi menjadi
tersangka kasus korupsi dan suap puluhan milyar rupiah.
Hebatnya, ia selalu kooperatif
dan mengakui perbuatannya, bahkan terbongkar pula itu bukan kali pertamanya
berhasil melobi dan menyuap petugas. Selama tahun 2010 itu, sang oknum mafia
pajak ini diketahui berhasil kabur dari Rutan Mako Brimob selama tiga hari di
bulan Juli, kembali keluar bebas selama 19 hari di bulan Agustus, dan 21 hari
di bulan September, bahkan selama bulan Oktober dirinya hanya satu hari berada
di dalam penjara.
Gayus pun tak tanggung mengolah
kesempatan emas itu, berbekal identitas palsu dan penyamaran, ia sukses
pelesiran bersama keluarga terkasih ke Singapura, Malaysia, hingga main judi di
Makau. Ini yang menjadikannya bak “selebriti” di Indonesia, semisal
ketokohannya di iklan TV produk rokok bertema lomba keajaiban para jin, atau
halte bus di depan kantor Dirjen Pajak dijuluki “Halte Gayus” oleh masyarakat,
hingga rilisnya lagu “Andai Aku Gayus Tambunan” karya seorang mantan napi biasa
di Gorontalo.
Kuasa Kepedulian Publik
Namun kali ini, boleh dibilang
Gayus melakukan aksi bunuh diri. Tak hanya publik yang bereaksi keras, bahkan
menkumham pun sampai melontarkan makian. Akhirnya pada 22 September lalu sang
mafia pajak resmi dipindah ke Lapas Gunung Sindur di Bogor yang punya standar
keamanan ekstra ketat, dengan harapan ia tidak akan lagi berhasil keluyuran
sesuka hati. Dua petugas lapas dan seorang polisi yang mengawalnya pun
dikenakan sanksi indisipliner sedang.
Hal yang patut kita apresiasi
dari kasus berkali-kalinya Gayus sukses berpelesir menghindari siksaan dingin
dan sepinya bilik penjara adalah betapa besar kepedulian publik. Ini luar
biasa, dalam suatu negeri demokrasi yang modern memang mensyaratkan partisipasi
aktif masyarakatnya sebagai agent of social control, terutama dalam kerangka
mengantisipasi munculnya penyimpangan dan penyelewengan kekuasaan seperti ini.
Apa jadinya jika tak ada unsur publik yang peka dan berinisiatif mengambil
peranan, barangkali tak akan pernah terbuka mata kita bahwa cita-cita keadilan
memang masih menjadi sekedar mimpi di negeri ini. Teringat adagium vox populi
vox dei, setidaknya masih terbuktikan, jika rakyat sudah menjerit berontak,
sejatinya itulah suara keadilan dari Tuhan yang wajib di dengarkan oleh
kenaifan dunia manusia.
Inilah mengapa setiap warga
negara harus memelihara kesadaran kritis dan konstruktif. Jangan pernah merasa
terasing dari kehidupan politik hanya karena seorang rakyat jelata yang tak
punya kekuasaan. Konstitusi dasar negeri ini lugas menyebut rakyatlah penguasa
yang sejati. Kasus ini menunjukkan betapa sekecil-kecilnya partisipasi rakyat
biasa yang sadar adanya ketidakadilan, meski hanya di jejaring media sosial
yang kerap dicibir pun, bisa berbuah manis.
Pesan Simbolik Gayus
Andai kita melihat Gayus
sebagai fenomena, semestinya akan dapat dimaknai lebih dalam lagi, ada apa
sesungguhnya di balik ulah nyentriknya itu. Dari foto kali ini, ia tak lagi
tampak tegang menutupi identitas, sebaliknya justru terlihat sangat rileks.
Apalagi berdasar pengakuan bahwa dua wanita yang mengajak berfoto itu bukanlah
orang yang telah dikenal, Tak mungkin rasanya ia dan pengacara yang mendampingi
itu buta resiko.
Bahkan belakangan ini juga
kembali terpublikasi sebuah foto yang merekam pelesiran terakhir seorang Gayus.
Jika di foto sebelumnya ia tampak seperti memiliki akses privat pada sebuah
perangkat telepon genggam, kali ini malah Gayus tampak sangat leluasa
mengemudikan sebuah mobil, lengkap dengan senyum khasnya itu. Dari jaket dan
topi yang dikenakan, hampir bisa dipastikan foto ini masih dalam satu momen
yang sama.
Barangkali ini bahasa simbolik
yang disengaja untuk sekali lagi membukakan mata hati rakyat Indonesia akan
penegakkan hukum yang masih sangat lucu dan ironis, persis seperti lirik lagu
Bona Paputungan tentang dirinya itu. Entah kepalang tanggung, Gayus mungkin
hanya ingin berkata: “Hey sadarlah saudara sebangsaku, tak cuma aku yang bisa
membeli hukum, buka mata kalian selebar-lebarnya, temukanlah mereka yang saat ini
juga sedang bebas berkeliaran di sekitarmu!”.
Andai masih rela menggunakan
hati nurani dan akal sehat untuk merenungkan fenomena Gayus yang sukses
berkali-kali mengakali hukum, tentu kita akan terdorong untuk mempertanyakan
kenyataan. Bagaimana dengan para narapidana bermodal besar lain yang wajahnya
tidak sefamiliar Gayus? Bukankah sudah berkali-kali pula terbongkar adanya
perlakuan khusus yang nyaman dan berbayar bagi golongan ini di dalam sel,
sementara bagi mereka yang tak berpunya, penjara adalah hukuman dunia paling
nyata.
Sudah sejak lama hukum
disimbolkan dalam sosok dewi keadilan yang agung dengan mata terutup karena tak
pandang bulu dalam menimbang kesalahan dan menyabet pedang hukuman. Namun, jika
benar demikian adanya maksud dari aksi nekat Gayus kali ini, maka marilah kita
manusia Indonesia bersungguh-sungguh mendengarkan dan menjawab pesan
kegelisahan dari seorang Gayus yang sedang menuntut keadilan itu. Tabik!