Oleh
: M. Saddam SSD. Cahyo*
-------
Peminat kajian sosial-politik, mantan sekretaris Ekswil LMND Lampung 2012-2014.
Persatuan memang kerap
menjadi konsepsi yang paling enigmatik dalam suatu kesadaran berbangsa.
Teorikus sosial Benedict Anderson (1983) menerangkan, sebagai suatu komunitas
imajiner, bangsa dibayangkan dan kemudian diyakini layaknya sebuah entitas
kolektif, satu untuk semua dan semua adalah satu karena dilatari oleh
melekatnya beragam kesamaan. Namun, mungkinkah kiranya persatuan itu konsepsi
makro yang terlampau sulit diejawantahkan dalam bentuk relasi sosial yang
paling sederhana?
Persatuan kerap juga
dipandang sinis sebagai jargon semu bahkan ilusif. Banyak pihak yang meyakini
betapa manusia Indonesia itu sesungguhnya tak pernah cukup tulus dan serius
menanamkan kesadarannya sebagai bagian utuh dari suatu bangsa. Buktinya kita
jauh lebih sering terlalu asyik disibukkan dengan konflik-konflik horizontal
yang destruktif, juga terlanjur nyaman menjalani kehidupan dalam sekat-sekat
fragmentasi yang berbau SARA.
Tak heran jika pada
akhirnya negara melalui aparatusnya selalu mendapat pembenaran untuk melakukan
upaya-upaya koersif bahkan represif alih-alih menanamkan kesadaran berbangsa
ataupun rasa persatuan itu sendiri. Namun, inilah sesungguhnya problem internal
bagi bangsa kita Indonesia, matinya nurani kolektif. Penyakit hati ini telah
merasuk, menyebar, dan merajalela dalam sanubari warga negara, entah pada
mereka yang berkuasa maupun pada mereka yang hanya orang biasa.
Tak usah terlalu jauh
menengok konflik di Tolihara yang akarnya memang teramat kompleks itu, tengok
saja tawuran antar kelompok warga dua RW di Jatinegara Jakarta Selatan karena
dipicu kesalahpahaman kecil saat diselenggarakannya perlombaan futsal dalam
rangka peringatan HUT 70 Tahun RI yang lalu. Selain menimbulkan kerugian materi
dan psikis, satu orang warga luka parah akibat keributan yang telah menodai
semangat kemerdekaan itu.
Atau yang sempat santer
diberitakan, konflik dramatis lantaran salah paham soal tatakan gelas seharga
Rp.2000,- di Bandar Lampung. Meski kasus antara ibu Sarniti dan ibu Marlis yang
bertahun-tahun hidup bertetangga ini berhasil diselesaikan, namun kisahnya yang
berlarut karena tak kunjung berhasil dimediasi damai itu terlanjur diekspos
luas secara berlebihan, termasuk ekspresi kekecewaan pihak penggugat yang
digugurkan majelis hakim yang berteriak hisetris dan bergulingan di pelataran
gedung.
Lumpur
Individualisme
Tentu fenomena seperti
ini tak patut disepelekan, sebab boleh jadi malah merupakan penanda dari gejala
katastropi budaya individualisme yang semakin menggila dianut sebagian besar
bangsa kita. Sama sekali hal ini bukanlah prestasi kolektif yang patut
dibanggakan, sebaliknya ini preseden memalukan yang seharusnya kita sudahi.
Bukankah sejak dahulu keramah-tamahan dan keguyuban hidup bangsa kita selalu
dikisahkan hingga tersohor karenanya?
Lantas mengapa semakin
lama terkesan kita malah terus mengafirmasinya dengan ikut menyepelekannya ledakan-ledakan
konflik laten-horizontal sebagai fenomena yang biasa saja. Konflik-konflik kecil
kerap dibumbui beramai-ramai hingga menimbulkan luka yang seolah dalam dan takkan
terobati di setiap sanubari mereka yang terlibat. Luka ini kian terpeliharan
dan berkembang menjadi amarah, bahkan meluas pada mereka yang mengaku
berempati.
Amarah-amarah ini
kemudian juga menggiring kehidupan dalam nuansa interaksi lintas kelompok yang
begitu sensitif dan rentan. Seringkali ini berujung pada matinya nalar kolektif
manusia Indonesia. Mulai dari hanya mengutamakan kepentingan sektoralnya,
lingkungannya, keluarganya, hingga diri sendiri meski sadar harus merugikan
orang lain. Mengingatkan kita pada adagium
klasik, homo homini lupus, betapa
manusia adalah serigala bagi sesamanya.
Bangsa ini sudah nyaris
tenggelam dalam lumpur individualisme. Budaya luhur yang semula bersifat “guyub”
kini kian berganti menjadi “gusur”, dari mengusung “persatuan” kini mengimani “persatean”.
Setiap orang tak lagi saling berlomba mengubur rasa kepedulian dan persaudaraan
yang sebenarnya lebih naluriah dan dibutuhkan ketimbang berjuang menyingkirkan
dan mengorbankan orang lain demi menyelamatkan ego pribadi.
Nurani
Kolektif Kita
Indonesia juga memiliki
tradisi hukum positif yang harus disadari sepenuhnya. Ini berarti penegakkan
hukum kadang berjalan ibarat kacamata kuda dan diperburuk oleh mental aparatnya
yang suka “kerasukan”. Jangan lagi asal membawa masalah ke meja hijau. Terlebih
bagi orang kecil, sesepele apa pun akan dilayani sesuai prosedur baku, berbeda
jika itu mendera orang besar, seberat apa pun kasusnya selalu bisa disiasati.
Begitulah adanya zaman
ini, tinggal bagaimana kita mau bersadar diri membenahinya secara kolektif,
karena toh semua berawal dari kesalahan personal yang dilakukan secara massal. Jangan
sampai terus memilih untuk menuliskan sejarah punahnya keyakinan bahwa sejatinya
kita telah dianugerahi kehidupan yang indah dalam satu kolektif berbangsa. Karenanya
lebih penting menguatkan pranata sosial dan sama-sama mengasah kebijaksanaan.
Akhir kata, mari bersatu, perkuat solidaritas !
________
Terbit di harian cetak LAMPUNG POST, Selasa 1 September 2015.