Oleh
: Saddam Cahyo*
Sekarang ini memang
zaman mutakhir, teknologi sudah di genggaman tangan, sekejap mata saja ruang
dan waktu bebas ditembus. Setiap manusia kian dipermudah untuk saling terhubung
langsung person to person tanpa harus
jumpa. Jejaring media sosial di dunia maya yang kian pula beragam telah
menyediakan begitu luas ruang bagi terjalinnya komunikasi lintas batas yang
bahkan tak lagi terhalang tabu dan segan.
Pun kehidupan politik
di negeri ini turut berkembang mengikuti arus teknologi komunikasi. Jika dahulu
seorang presiden masih harus disebut paduka yang mulia, atau di-bapak-kan, dan
sama sekali tak patut dicela. Sekarang kian luwes, tak selalu lagi rakyat merasa
tertekan dan terancam hanya karena menulis, melawak, atau menyanyi sambil mengkritik
kebijakan pemerintah. Bahkan sosok orang nomor satu pun seolah sudah
dimaklumkan untuk menjadi sasaran bully oleh
rakyatnya.
Hak
Koreksi Rakyat
Begitulah yang tampak
menguat setelah era reformasi, peralihan dari BJ Habibie, Abdurrahman Wahid,
Megawati, hingga Soesilo Bambang Yudhoyono terus menunjukkan betapa mem-bully presiden tak lagi dianggap terlampau
tabu bagi rakyat. Tentu bully yang
dimaksud adalah hanya di ranah wacana, yang sesungguhnya tak lain daripada varian
bentuk ekspresi kritik. Kepada sosok Joko Widodo, fenomena ini ternyata semakin
massal dan menguat.
Semisal, kasus salah
sebutnya Jokowi perihal tempat lahir Bung Karno di Blitar, saat mengunjungi
kota tempat jasad proklamator itu dimakamkan dalam rangka peringatan lahirnya
Pancasila awal Juni 2015 lalu. Inisiatif sebagian rakyat terutama di jejaring
media sosial untuk segera membully habis sang presiden berlangsung begitu heboh
dan kian menggenapi rangkaian bully
kepada pribadi Jokowi sejak awal kemunculannya di kancah politik nasional.
Ini memang patut diberi
perhatian seksama, mengingat latar parpol presiden Jokowi adalah PDI-Perjuangan,
yang tak lain daripada partai yang turut mewarisi langsung gagasan politik
mendiang Bung Karno. Sedikit kelewatan rasanya jika hal remeh yang semestinya sudah
jadi pengetahuan dasar bagi setiap kader internal itu harus membuahkan
kesalahan yang begitu konyol dan merugikan seperti ini.
Tapi penting juga dipahami,
akan pula berlebihan jika “kecelakaan” pidato ini dituding sebagai upaya
presiden untuk turut melanggengkan pembelokan sejarah bangsa. Sebagaimana telah
dipahami bersama, kuat dugaan bahwa pernah ada upaya sistematis sejak era Orde
Baru untuk menyusun sejarah nasional yang distorsif demi melegitimasi kelanggengan
status quo, khususnya upaya de-Soekarnoisasi
dengan mengaburkan profil dan segala hal yang berkaitan dengannya.
Mem-bully presiden memang bukan hal tabu apalagi
menyimpang dalam kultur politik Indonesia kontemporer. Namun, tidak berarti
kritik berlangsung bebas tanpa sama sekali memperhatikan etika politik yang
sesuai dengan kepatutan moral orang Indonesia. Sebagai bangsa beradab, kita tentu
selalu berusaha memastikan setiap kritik yang dilontarkan mempunyai landasan, korektif,
proporsional, dan konstruktif.
Lagi pula ini zaman
baru, demokratisasi politik Indonesia yang kian beranjak dewasa terus
menyadarkan betapa presiden bukanlah sosok un-touchable
man, melainkan rekan bagi rakyat dalam rangka membangun negeri. Tradisi
euphemisme politik yang hanya melahirkan pemimpin nir-prestasi dengan jejaring oportunisme
jajarannya mutlak wajib dikikis habis. Karenanya kritik tak boleh dilarang, dan
ruangnya harus difasilitasi, terlebih jika substansi masalah yang diusung
begitu mengena.
Tapi soal ini juga masih
menjadi PR besar bagi Indonesia. Kita ingat 23 Oktober 2014 lalu beberapa waktu
setelah terpilihnya Jokowi-JK sebagai pasangan presiden dan wapres, pemuda MA
(23) yang kesehariannya menjadi buruh tusuk sate di Jakarta Timur mendadak ditangkap
Bareskrim Mabes Polri atas tuduhan penghinaan terhadap presiden, karena
terlibat posting saling cibir antar pendukung capres di akun facebook tanpa diketahui siapa
pelapornya. Ini menandakan bahwa yang disebut Zainuddin Maliki (2004)[1]
sebagai the ruling elite masih
bersikukuh membiaskan demokrasi.
Melawan
Politik Citra
Jejaring kaum elit yang
memiliki akses utama pada kekuasaan memang selalu tidak rela jika riak-riak
protes rakyat mulai merongrong kenyamanannya. Namun karena tuntutan zaman yang
harus serba terbuka dan legal inilah mereka kerap memainkan peran dan skenario
ilusif bertajuk politik citra. Dengan segala cara, terutama memanfaatkan hukum
legal yang berkacamata kuda, kaum elit masih sangat mudah mengintimidasi protes
kalangan rakyat.
Dalam konteks inilah
mem-bully presiden menemukan
landasannya, yakni sebagai salah satu wujud daripada hak koreksi rakyat
sekaligus meng-counter permainan
politik citra kaum elit. Dengan cara ini pula elitisme politik di negeri ini
bisa terkikis, jika memang ruang bagi lahirnya pemimpin dari kandungan sejati
rahim rakyat jelata masih begitu sulit diraih, setidaknya kita juga berjuang
menempa ulang paradigma kekuasaan dari kaum elit itu sendiri. Memberikan
tekanan yang intensif sehingga membatasi ruang gerak mereka dalam menerbitkan
kebijakan yang merugikan rakyat.
Setidaknya dari polemik
ini pula kita kembali diingatkan, betapa mendesaknya kebutuhan pelurusan
sejarah bangsa yang selama ini diabaikan oleh pemilik otoritas kekuasaan pasca
reformasi. Pun diingatkan betapa gejala political
decay alias pembusukan politik sungguh masih akut diidap kaum elite hingga
membuahkan pula gejala zero trust society.
Dimana sulit sekali bagi masyarakat untuk dapat sepenuhnya menaruh kepercayaan
lantaran perilaku elitenya yang tak karuan.
Penting pula bagi personal
Jokowi yang beberapa tahun terakhir sukses menjadi idola karena tampil sebagai
antitesa dari model politikus mainstream untuk terus membuktikan dirinya. Lewat
kritik atas “kecelakaan” yang sudah terjadi kesekian kali ini, ia harus serius
berbenah diri. Ada ekspektasi harapan dari jutaan rakyat pendukungnya, sekaligus
pesimisme jutaan rakyat lainnya yang menuntut dijawab oleh tindakan nyata yang
prestisius, bukan lagi citra ilusif. Tabik!
------------
*) Peminat kajian sosial-politik, mantan sekretaris LMND Ekswil
Lampung 2012 – 2014
[1]
Zainuddin Maliki, sosiolog Universitas Muhammadiyah Surabaya dalam bukunya yang
berjudul “Politikus Busuk; Fenomena Insesibilitas Moral Elite Politik” terbitan
Galang Press Yogyakarta di tahun 2004, banyak menyebut istilah the ruling elite untuk merujuk pada
perilaku politik kaum elite yang terus berupaya mengamankan posisi dan
kepentingan pribadinya dengan mengabaikan suara arus bawah atau aspirasi
rakyat.