Oleh : Saddam Cahyo, Penikmat buku
Sastra Eksil, barangkali sebagian pembaca muda belum akrab dengan istilah ini, maklum saja dominasi novel dan teenlit khas remaja yang penuh dengan kisah percintaan yang dramatis atau jenaka memang jauh lebih laris di pasaran. Sastra eksil merupakan salah satu genre dari dunia sastra Indonesia yang punya sejarah khusus lantaran konteks situasi yang melahirkannya.
Sebenarnya ini lebih merujuk pada berbagai karya sastra, baik cerpen, essai, novel, puisi maupun memoir, yang ditulis oleh para sastrawan Indonesia yang terpaksa hidup terasing di luar negeri, lantaran kepulangannya ke tanah air justru akan membahayakan keselamatan diri atau pun kerabat terdekatnya.
Negeri kita memang punya catatan sejarah kelam yang mengharubiru di periode akhir tahun 1965. Terjadi peristiwa berjuluk Gerakan 30 September yang sesungguhnya merupakan perebutan kekuasaan secara paksa lewat skenario picik segelintir elit militer di bawah komando Jenderal Soeharto yang disokong Imperialisme terhadap pemerintahan Soekarno yang progresif revolusioner.
Akibatnya, ribuan putra-putri Bangsa yang saat peristiwa pilu itu meletus sedang menimba ilmu dan berkarya di luar negeri terhalang pulang. Sebagian besar adalah mahasiswa Indonesia yang sengaja disekolahkan pemerintah agar kelak mampu membangun negeri. Namun rencana besar itu gagal total setelah Pemerintah Orde Baru menyematkan label hitam pada mereka hingga harus hidup terlantar tanpa perlindungan di negeri orang.
Mereka inilah yang kemudian hari dijuluki exile alias orang-orang pelarian politik. Termasuk penulis buku ini: Sobron Aidit, adik kandung Ketua CC PKI Dipa Nusantara Aidit, yang pada tahun 1963 berangkat ke Beijing Cina untuk bekerja sebagai Guru Besar di Institut Bahasa Asing. Sejak masih tinggal di tanah air, Sobron memang sudah dikenal sebagai salah seorang sastrawan ternama Indonesia. Ia sempat meraih penghargaan sastra untuk cerpennya yang berjudul “Buaya dan Dukunnya” dan “Basimah”.
Pengembaraannya sebagai eksil telah menemukan muara yang menyegarkan di Paris, Perancis, tanah tempat ia wafat di tahun 2007. Bersama kawan-kawan sesama eksil, seperti Umar Said, J.J Kusni, dan lain-lain, Sobron membangun ulang dan merawat kecintaannya pada tanah air melalui usaha koperasi Restoran Indonesia. Meski lama dikungkung stigma, tak jarang jerih payah mereka ini dipuji bak Duta Bangsa yang mengharumkan nama negerinya lewat masakan khas yang disajikan di tanah Eropa.
Ajaran Kemanusiaan
IDENTITAS BUKU
Judul : Prajurit Yang Bodoh
Genre : Kumpulan Cerpen
Penulis : Sobron Aidit
Penerbit : Jakarta, Gramedia, 2007
Hal/Sampul : Hlm v + 86 ; 140 x 210 mm
Pengalaman hidup yang getir sebagai exile tampaknya memang begitu dalam memberi pelajaran reflektif tentang hakikat kemanusiaan itu sendiri. Begitulah, kebanyakan karya sastra eksil memang selalu kental dengan nada gugatan pada ketidakadilan dan kesewenangan negara, dan tentu hal ini sangat bagus sebagai suplemen penajam pikiran bagi pembaca di tanah air.
Dalam buku ini, Sobron menyuguhkan 12 cerpen yang sangat realis, jujur, sekaligus kritis menohok beragam kekusutan hidup masyarakat kita. Tak hanya dipenuhi nada protes pada sistem politik yang berkuasa pasca ‘65, melalui cerpen ia juga memuji sekaligus menampar perilaku hidup orang Indonesia yang kerap terlalu bodoh sebagai manusia.
Sobron menulis cerpennya dengan alur yang singkat, sederhana, gaya bahasa lugas, tapi kerap bernada satire hingga pembacanya mudah menangkap makna yang dimaksud. Semuanya ditulis di kisaran bulan November – Desember 1974, dengan latar waktu yang rerata di rentangan era demokrasi terpimpin Soekarno masih berjaya sampai awal era orde baru Soeharto berkuasa.
Setidaknya bagi saya ada dua tema utama yang disuguhkan di buku kumpulan ini. Pertama, 6 cerpen tentang teguran agar kita bisa menjadi manusia yang tidak bodoh dalam kehidupan. Lewat artikel ini saya kembali mau bertele-tele membagi petikan-petikan menarik dari semua cerpen Sobron di buku ini, dan tentu lebih memuaskan jika kelak anda berhasil membacanya sendiri secara langsung.
Dalam cerpen “Kawan Yang Sudah Jauh” dikisahkan Albar, seorang kader partai yang pandai akhirnya sukses meniti karir dan memegang jabatan penting di kota, membuat hidupnya menjadi lebih senang. Kesibukannya yang padat sangat menyita waktu, tak jarang dia harus berkunjung ke berbagai Negara; bulan ini di Afrika, besok di Asia, berikutnya masuk Eropa.
Kawan-kawan lamanya memaklumi jika mereka terpisah jarak, tapi persoalan jadi rumit karena perasaan dan hati mereka juga mulai terpisah, ini lantaran dirinya mulai lupa daratan dan mabuk jabatan. Suatu ketika Albar pulang kampung dan disambut ramai oleh kawannya, tapi ia hanya mau meladeni mereka yang sama-sama punya jabatan dan yang tak pernah mengkritiknya saja.
Husin, kawan sebarisan perjuangan revolusionernya sejak masih mahasiswa, adalah orang yang paling keras mengkritik Albar, tapi celakanya ia tidak berjabatan apapun. Husin merasa wajib membantu kawannya sebagai seorang revolusioner, yakni memberi pendapat dan kritik yang sehat. Sayangnya, Albar tersinggung dan balik memusuhi karena menganggap ia orang gagal. Tapi Husin tak mau sakit hati. Ia dan kawan lainnya kukuh memberi perhatian degan cara yang sewajarnya di barisan mereka, yakni saling asah, asuh, dan asih.
Setelah kembali ke Kota untuk bekerja, Albar kembali membuat ulah. Dia mengirim oleh-oleh berupa cokelat, permen, rokok filter, bahan kain, dan sebagainya, tapi hanya untuk kawan tertentu saja. Padahal kawan-kawannya lebih mengharapkan bantuan alat mengetik untuk dipergunakan dalam kerja-kerja kolektif. Pada mereka yang tak disukai, tersebut namanya dalam titipan salam di suratnya pun tidak tertulis. Parahnya, surat-surat Albar selalu ditulis sembarangan dengan secarik kertas kecil sobekan almanak.
Kawan-kawannya di kampung merasa Albar perlu kembali ditegur. Dituliskanlah surat panjang berisi kritikan yang jujur padanya. Tapi sekali lagi Albar marah dan membalasnya lewat kiriman secarik surat bertuliskan, “Jangan marah, maaf aku lupa memperhatikanmu, ini oleh-oleh buatmu.” Lantaran ini terjadilah perang surat di antara mereka.
Hingga akhirnya, istri Albar menerima surat dari Karim, kawan yang bernasib sama dengan Husin. “Bang, sini cepat! Gila si Karim! Dia tulis surat buat kita pakai sobekan kertas WC, inikan untuk cebok!” sewotnya. Tapi belum habis amarah Albar memuncak, sang istri kembali berteriak, “Ah, Kau juga gila Bang! Ini si Karim kirim semua surat-suratmu, masa kau tulis pada mereka pakai sobekan almanak! Kau lihat Bang, dibaliknya ada catatan pribadiku pula!”. Albar terkejut melihat jelas tulisan tangan istrinya, “15 Oktober, hari pertama menstruasi bulan ini.”
Pun dalam cerpen berjudul “Dokter Nyanyi”, dikisahkan keluarga muda Ir. Harsono dan dr. Rini yang beranak satu baru berpindah ke sebuah kampung di Jatinegara. Sebagai orang baru di lingkungan itu, mereka banyak dikunjungi tetangga yang ingin bersilaturahmi dan menyambut hangat mereka. Maklum, para tetangga ikut bangga karena keduanya merupakan orang cerdik pandai yang bertitel dan baru pulang dari Eropa.
Tapi Rini yang lulusan sekolah kedokteran itu ternyata orang yang sangat over protectif pada keluarganya. Terlebih terhadap Farid, si putra sulungnya yang montok itu, tak seorang pun boleh menyentuhnya karena dianggap tak punya jaminan higienitas. Setiap hari Rini selalu siaga dengan cairan lisol, DDT, obat nyamuk, dan pispot untuk menjaga kebersihan rumah. Ia percaya kalau para tetangga berpotensi membawa bakteri yang menularkan penyakit pada keluarga kecilnya.
“Mas, jangan sembarangan kasih anak kita digendong orang! Ini bukan lagi Eropa loh! Di sini banyak penyakit, sedang anak kita kelahiran Eropa!” seloroh Rini. Tapi suaminya yang lebih berwatak tenang hanya menjawab, “Ya.. kan mereka ini senang lho sama kita, biarkan saja, biar akrab dan belum tentu mereka semua punya penyakit menular.”
Pada hari keempat, warga sekitar mulai mencium gelagat aneh keluarga baru ini. Saat seorang tetangga yang pernah mengidap batuk kering usai berkunjung, Rini segera mengelap selot pintu dan kursi yang sempat dijamahnya dengan cairan lisol. Ini membuat tetangga lainnya jadi enggan mengunjungi mereka kembali. Rini memang sangat ketakutan dengan penyakit, semua peralatan harus disterilkan sebelum dipakai, tapi ini justru membuatnya terlalu sibuk dan kelelahan.
Selama seminggu penuh warga masih banyak membantu piket di rumah keluarga Insinyur dan Dokter itu, karena Rini tak terbiasa memakai kompor sumbu minyak, menimba air, dan sebagainya. Tapi lama-lama warga menyadari sebenarnya si dokter pembersih ini tidaklah terlalu bersih dari kuman dan kotoran. Bagaimana tidak, anaknya yang sudah dua tahun itu masih dibiasakan berak di pispot, kencing di cangkir kaleng, dan ia sendiri jarang bersisir dan gosok gigi karena kesibukan yang dibuat-buatnya itu.
Makan anaknya pun masih saja berupa bubur nasi lembek, pantas saja jika sering sakit-sakitan sesudah di tanah air ini. Tak ada latihan yang diberikan agar imunitas anaknya segera kuat menyesuaikan diri dengan baik, tapi Rini selalu berdalih ini cara membesarkan anak Eropa. Ia memang masih mabuk kebarat-baratan, ia mulai sering mengeluh apalah manfaatnya membuka praktik di gang becek begini, belum lagi sebagai basisnya barisan revolusioner, apa pula yang bisa diharap dari orang-orang aktivis ormas dan partai yang sakit dan hidup serba kekurangan itu.
Ia menganggap dirinya cukup pandai, pun suaminya, hingga anaknya Farid pun kelak pasti melebihi prestasi kedua orang tuanya. Tapi kenyataannya, bocah ini malah semakin lemah dan manja, tak tahan udara yang sedikit lembab, tak kuat dengan makanan keras dan batuk, mencret, demam, dan ingusan sudah jadi kebiasaannya.
Dokter Rini juga mengajarkan si Farid untuk selalu berbicara dengan bahasa yang sebaik mungkin. Tak boleh kasar dan kotor, semua harus diperindah. Jika Farid ingin buang air besar, Rini mengajarinya berkata “mau pot”; jika ingin pipis menjadi “mau nyanyi”, agar kesopansantunan mendarah daging pada anaknya. Saat seorang pamannya datang menjenguk keluarga ini, ia cukup terbuka karena kerabat dekatnya ini terjamin sehat dan bersih.
Malam itu si kecil Farid tidur pulas di pelukan kakek-pamannya, tapi sayangnya si kakek belum paham adat-istiadat cucunya. “Kek.. kakek.. Farid mau nyanyi..” ucap si kecil membangunkannya. “Nyanyilah.. tapi pelan-pelan dekat kuping kakek sini..” jawabnya. Maka anak itu pun membuka celananya dan pipis dengan tenang di lubang kuping kakeknya. Si kakek terperanjat kaget sambil menjerit, hingga seisi rumah pun terbangun.
Keesokan harinya, kakek ini bercerita pada para tetangga karena mereka sama-sama terbangun mendengar kegaduhan di rumah itu. Sejak itu timbullah mulut-mulut usil yang bersuara, “Katanya ngajari anak sopan santun, kakek sendiri dikencingi; katanya paling bersih dan ngerti kesehatan, tapi kencing kok di kuping orang..” Pergunjingan ini berujung pada lahirnya julukan bagi Rini sebagai si Dokter Nyanyi.
Dalam cerpen “Pembohong”, diceritakan seorang Abu Bakar yang terkenal dengan kebohongannya. Lagaknya seperti pembesar dan banyak uang. Tapi kalau ia cerita pernah ke Singapura, itu benar. Dulu dia ikut penyelundupan gula ribuan ton, dan kecipratan rejeki nomplok. Ini yang membuatnya berhasil mendapat istri cantik yang dibilangnya orang Hongkong, padahal bekas taxi-girl di Singapura.
Tapi orang pada hormat dengan istrinya, Elly, karena sikapnya santun dan pandai menyesuaikan diri. Abu Bakar juga dikenal jago menipu, ia bisa dapet uang dari banyak menteri dan pejabat tinggi karena menjanjikan investasi bangun pabrik ini-itu tapi kosong. Ia juga bisa dapet pensiunan pejuang karena mengaku kaki kanannya cacat lantaran ditembak Belanda waktu Revolusi Agustus. Padahal itu karena dia pernah kena sipilis dan sempat lumpuh, tapi Elly yang berhati emas itu tetap mencintai suaminya.
Abu Bakar punya banyak akal untuk memoroti orang-orang yang diincarnya seperti Dul, orang sekampungnya yang jadi anggota DPRS itu. Kalau sedang ingin makan enak khas kampung halaman, dia akan datang dan masuk begitu saja untuk meminta becaknya diongkosi, tapi keluarga ini selalu hangat menerimanya.
Suatu malam ia mengumbar cerita pengalamannya dalam pertempuran Bandung Selatan yang dahsyat. Ia bertemu dengan teman sekolahnya di MULO dulu, seorang indo-Belanda bernama Hans yang berada di pihak musuh. Tapi karena perang tak boleh pandang bulu, ia tetakkan pedangnya ke leher Hans hingga memuncratkan darah segar. Tapi ternyata Hans mengenalinya dan mengatakan jangan menyiksanya sekarat dan meminta diputuskan sekaligus batang lehernya itu.
Bakar dengan bangga mengisahkan pertimbangannya di detik-detik yang mendebarkan itu sebelum akhirnya ia tebas dan cabut nyawa orang indo itu, pertama berjasa bagi tanah air, kedua membantu temannya dari siksaan. Usai itu, istrinya Elly memotong, “Bang Dul jangan percaya, dia cerita bohong!” dan Bakar menyanggah, “Kau mana tahu, waktu zaman itu kau masih ingusan di Hongkong!”
Keluarga Dul yang ramah itu tetap antusias mengangguk-anggukkan kepala sambil berdecak. Tapi Elly yang malu hati pada keluarga angkatnya itu terus mengusik, hingga Dul menjawabnya, “Elly, dia menjadi pembohong tak sebesar saya. Saya ini lebih pembohong dari dia. Sebab selama ini saya pura-pura percaya semua ceritanya. Saya anggukkan kepala walau tahu itu kebohongan. Bukankah begitu sudah menjadikan saya ini pembohong besar?”
Cerpen “Tertangkap Basah” mengambil latar kehidupan eksil di periode awal. Mereka tinggal di suatu asrama di pedesaan dan hanya sesekali mendapat kesempatan libur ke kota. Saat seperti itulah mereka pakai untuk melihat dunia ramai, meluaskan pandangan, dan melebarkan rasa di dada dengan menikmati jajanan-jajanan kecil atau sekedar berbelanja barang yang dibutuhkan.
Tapi Marban tidak pernah mau ikut belanja ke kota dan selalu mengatakan, “Bagi saya paling penting bukan ke pasar atau keluar! Kita harus ingat perjuangan ini berjangka panjang. Kehidupan kita harus sederhana dan betul-betul menanamkan perasaan revolusioner. Harus ingat penderitaan kawan-kawan di tanah air. Paling penting belajar Marxisme-Leninisme, menguasai teorinya untuk kita praktikkan dalam situasi konkrit di tanah air.”
Banyak kawan yang malu mendengar khotbahnya, apalagi Marban memang konsekuen tidak pernah mau ke pasar. Ia memilih tetap di kamarnya melukis, membaca, atau mengutak-atik radio transistor. Suatu ketika, saat mereka semua baru menerima uang saku, mendapat libur, dan disediakan bus ke kota, mereka senyum berbahagia.
Sesampainya di pasar, mereka berpencar mencari barang kebutuhannya masing-masing. Seorang kawan membuka catatan belanja dan tiba-tiba meraih botol anggur mahal bermerk Chefoo. “Baru kali ini kulihat kaubeli anggur, mau pesta?” seloroh kawannya. “Ah,ini titipan orang.” Jawabnya. “Siapa? Keren benar.” Tanyanya dan dijawab berbisik “Mang Marban.” “Loh, sama aku dia juga nitip, cukup banyak malah!” sontak si kawan.
Lalu mereka saling menunjukkan catatan belanja titipan Marban yang ternyata banyak sekali. Meereka semua langsung tersenyum geli karena ada kawan lainnya yang juga dititipi belanjaan oleh si Marban. Ternyata juga Marban menitipkan pesan yang sama, kalau itu semua barangnya jangan diantar ke kamarnya, tapi akan dia ambil sendiri ke kamar masing-masing.
Bersepakatlah mereka semuanya, sesudah bisa sampai kembali di asrama, marban datang ke kamar seorang kawan yang dititipinya, tapi kosong tak ada siapa pun. Ia pergi ke kamar-kamar berikutnya pun sama. Sesudah makan malam, pintu kamar Marban diketuk orang.
Ketiga kawan yang dititipinya belanjaan itu ternyata datang dan langsung menyerahkan sambil menyebut runtutan semua barangnya.
Marban pucat tak berkutik, darahnya tersirap dan jantung berdegup seperti maling kepergok polisi. Marban pun tak bisa mengelak dan harus menelan kata-kata para sahabatnya itu, “Belajar Marxisme-leninisme tanpa diiringi kejujuran pada diri sendiri dan kawan lain adalah percuma Mang!”
Lain lagi dengan cerpen berjudul “Berburu” yang lebih bernada positif. Seorang pelajar yang sedang menikamti masa liburan di rumahnya di Belitung, diajak oleh saudara dekatnya bernama Simun untuk berburu ke hutan. Ayahnya dan Simun memang suka sekali berburu sedang ia belum pernah karena sejak kecil disekolahkan di Jakarta. Setelah makan malam berangkatlah mereka menuju sebuah pulau kecil bernama Tanjungtikar.
Tugasnya malam itu hanyalah membawakan senapan angin, sedang Simun yang berpengalamanlah yangakan mengeksekusi rusa, kijang, atau pelanduk yang ditemui. Tak ada rasa takut karena binatang buas seperti harimau Sumatera tak hidup di pulau ini, paling hanya ular piton dengan panjang lebih empat meter yang mengancam.
Lewat jam 12 malam, mulai tampak mata biru kemerahan yang memancing reaksi Simun untuk membidik. Tapi hingga jam 2 pagi, hanya lima ekor pelanduk yang didapat. Rasa kantuk, haus, dan lelah mulai menerpa keduanya. Tibalah mereka menemukan sebuah rumah gubuk yang menyendiri untuk disinggahinya menumpang istirahat.
Diserahkan seekor pelanduk untuk dimasak tuan rumah, sementara mereka rehat tidur di atas tikar. Ketika bangun, matahari sudah tinggi, dan barulah tampak jelas tuan rumah itu berwajah sangat ramah. Istri dan tiga orang anaknya yang masih kecil pun tersenyum, pakaian mereka lusuh compang-samping. Talip namanya. Ia menceritakan di Kampug Kera ini hanya tinggal belasan rumah penduduk. Ia seorang petani miskin dengan sepetak tanah untuk memenuhi kebutuhan harian keluarganya saja. Simun memang pandai mengakrabkan diri, ia berjanji akan datang berkunjung kembali saat kami berpamitan.
Tak lama dari itu, si pelajar yang juga sudah kembali ke ibukota tetap rajin bertukar kabar dengan saudaranya Simun dikampung. Dalam satu surat ia bercerita bahwa Bang Talip sekarang sudah mulai banyak omong, tidak pemalu lagi, maklum dia sudah direkrutnya menjadi anggota partai dan mulai menggerakkan Kampung Kera. Banyak orang disitu yang masuk Pemuda Rakyat, dia sering datang meminta saran ke rumah. Walau pun sekolahnya hanya sampai kelas 3 SR, otaknya cukup cerdas dan makin terasah setelah melek politik. Anak-anaknya disekolahkan, malah mereka mendirikan sekolah di pulau kecil itu. Sekarang mulai terbangun Serikat Nelayan yang kabarnya akan menjadi basis BTI.
Kritik Kuasa Orba
Tema kedua dalam buku ini adalah kritik pada Rezim Orde Baru Soeharto yang memang kerap dianggap sebagai peletak batu fondasi masalah bangsa hingga zaman sekarang. Rezim yang paling sukses membangun sistem politik menindas yang sangat kokoh mengakar di negeri ini. Tema ini juga menjadi salah satu ciri khas dari sastra eksil. Maklum golongan ini memang timbul lantaran ulah rezim militeristik yang berkuasa lebih dari tiga dasawarsa itu.
Cerpen “Anak Penguasa dan Pengusaha” memotret kisah Joni yang bapaknya seorang jenderal sekaligus pengusaha ekspor-impor. Ibunya juga tak kalah sibuk dengan segala rutinitas nyonya besar hingga Joni kurang terurus. Saat SD dia sudah bisa menyetir mobil sendiri, saat SMP malah dia dihadiahi mobil sama bapaknya. Uang sakunya banyak, sukanya berkelahi, dan bodohnya setengah mati.
Tapi dia selalu naik kelas dan lulus. Sewaktu ujian akhir SMA di pelajaran ekonomi ada pertanyaan bagaimana menghindari hantu Malthus di Indonesia? Joni pusing bukan kepalang seperti pernah mendengar jawabannya adalah tiga si, tapi dia sama sekali tak ingat apa saja si itu. Yap, Thomas Malthus adalah teorikus ekonomi yang menyatakan bahwa perang, bencana, dan wabah sangatlah bermanfaat bagi peradaban, sebab jika tidak pertumbuhan penduduk akan kian membengkak dan menimbulkan krisis pangan.
Umunya solusi etis dari kekhawatiran Malthus ini adalah lewat program transmigrasi, irigasi, dan edukasi yang sejak masa kolonial sudah diperkenalkan di Indonesia. Tapi Joni malah menulis jawaban setiap malam jumat kita harus membakar menyan agar hantunya tak gentayangan. Tentu para guru geleng-geleng, marah, dan tegas mencoret kertas ujian itu dengan silang merah. Tapi Joni, si anak penguasa dan pengusaha itu, dua bulan setelahnya sudah duduk di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Cerpen “Nasib Transmigran” mengisahkan Ateng bersama tiga kawanya sebagai wakil dari 150 kepala keluarga yang baru ditransmigrasikan dari pulau Jawa sedang ditolak oleh Bupati. “Saudara-saudara terlambat, kalau dua minggu sebelumnya, pasti tanah yang disediakan akan jatuh ke tangan saudara sekalian, tapi mau gimana lagi karena terlambat, itu tanah sekarang sudah diduduki transmigran dari militer,” kata sang Bupati.
“Semestinya bapak tak tinggal diam, bapak kan kepala daerah, orang paling berkuasa di sini,” jawab Ateng kesal. “Saudara mesti tahu kekuasaan sipil memang di tangan saya, tapi begitu militer masuk, itu sudah jadi urusan KOPKAMTIBDA. Mereka punya Jawatan Transmigrasi Militer sendiri, ini sudah jadi wewenang kementerian,” tukas si Bupati.
Lazimnya di negeri fasis, militer selalu mengalahkan sipil. Rombongan transmigran sipil yang lebih dulu berhak atas tanah subur itu kini dijatah tanah kering tandus dan sebagian lainnya berawa-rawa. Tapi Ateng dan kelompoknya merasa harus protes, persediaan makanan mereka sudah menipis tapi sengekta tak kunjung usai, sedang tanah yang mereka dapatkan tak bisa digarap.
Upaya mereka nyaris buntu, datang ke Direktorat Transmigrasi Provinsi tapi lepas tanggung jawab. Sudah banyak orang yang mati dan sakit-sakitan atau kelaparan dalam penantian itu. Mereka yang awalnya datang dengan penuh harapan justru menemui kekejaman. Tapi mereka terus berusaha melawan, meski birokrat dan pejabat malah mencari selamat diri dan posisinya sendiri.
Maklum, mereka ini punya prinsip buat apa repot urusi transmigran, jika orang pusat saja bisa main gila dengan uang dan kekuasaan, mengapa mereka di daerah harus ambil resiko ribut dengan militer. Empat bulan sudah warga transmigran terkatung-katung, pihak Bupati makin menghindar dan mengatakan kalau mereka belum penuh jadi warganya karena belum ada prosesi serah terima dari Kementerian.
Suatu pagi, kantor jawatan sosial di daerah itu mendadak riuh didatangi oleh ratusan orang bermuka lusuh kotor, bertubuh kurus hingga tulangnya menonjol, dan berpakaian compang-camping dan duduk di halaman. Para pegawai kaget dan panik, tak pernah sebelumnya kantor ini kedatangan pengemis sebanyak itu. Kepala kantor datang menemui mereka, “Apa maksud saudara semua datang dengan cara begini? Bukankah ini demonstrasi? Ini berbahaya bagi saudara sendiri!” tegasnya.
“Kami tidak berdemonstrasi, tak membawa spanduk, slogan, atau menyerukan yel-yel, Kami hanya meminta keadilan sosial. Kami kira inilah tempatnya. Kami datang dari Jawa ditransmigrasikan menuruti anjuran Pemerintah, tapi sedatangnya di sini kami ditelantarkan,” jawab salah seorang massa aksi.
“Ini bukan tempatnya menerima pengaduan, saudara tahu ini perbuatan berbahaya. Ini bisa dianggap mengganggu keamanan. Ingat Negara ini anti huru-hara. Saya bisa adukan saudara ke polisi atau tentara,” ancam kepala kantor. “Silakan, kami sudah datangi mereka sebelumnya, sudah tahu semuanya,” kata massa aksi menimpali.
Begitulah rombongan transmigran itu duduk di atas ubin dingin. Mata mereka melawan meski badan sakit dan ringkih. Mereka manusia yang tahu kemanusiaannya. Mereka menuntut dan terus menuntut. Kematian di antara mereka hanya menambah api kemarahan pada pemerintah dan pejabat daerah. Mereka tak lagi gentar hadapi kekuasaan yang semena-mena. Tak ada ketakutan.
Cerpen “Pegawai Negeri” menceritakan Hamdani, seorang PNS yang sedang mendapat durian runtuh. Pertama, tugasnya sebagai abdi Negara untuk mengadakan penerangan ke desa-desa demi terlaksananya program Keluarga Berencana adalah sumbangan besar bagi Repelita 1 dan 2. Kedua, semakin banyak desa dikunjungi, semakin banyak lakoni penerangan, makin banyak pula uang mengalir masuk ke kantongnya.
Hamdani punya hitungan mantap soal uang masuk, uang jalan, dan uang turne dari setiap dinasnya. Ia juga berhubungan baik dengan para kepala desa yang diminta mengumpulkan warga sebanyak mungkin. Kepada merekalah Hamdani akan member penerangan, membagikan alat kontrasepsi, dan terpenting mengisi penuh semua daftar hadir yang akan ditandatangani kades. Dari daftar inilah ia akan mendapat uang jasa tambahan.
Ia sangat giat mensukseskan program baru pemerintah ini. Hamdani terus berangkat dari tempat ke tempat lain, desa demi desa, dan angka demi angka. Dalam hitungannya tabungan rumah, tanah ladang, hingga naik haji pun akan segera bisa dicapai. Tapi entah mengapa, meski pidatonya sangat gamblang dan itu-itu saja, mendadak beberapa warga dari sebuah desa yang lima bulan lalu didatanginya marah dan menuduhnya penipu.
“Bapak telah bohongi kami, katanya ini obat paling ampuh mencegah banyak anak. Bohong semua! Lihat buktinya istri saya tetap saja hamil sudah hampit tiga bulan, ini istri kawan-kawan saya juga!” sergah si bapak sambil menunjuk beberapa perempuan berperut buncit mengandung. “Bapak menipu rakyat! Buat kami beli barang-barang jahanam itu, ternyata obat palsu!” kata yang lain.
Hamdani panik dan sulit mendapat kepercayaan ratusan peserta yang mulai membubarkan diri. “Saya tidak bohong, saya perlu tahu bagaimana saudara menggunakan alat ini, barangkali ada kebocoran. Di desa lain tak ada kasus begini,” terangnya. Sedikit ragu ia bertanya pada Kadesnya, apa saat itu ia sempat menerangkan cara pemakaiannya, dan si Kades menjawab kalau saat itu mereka terburu-buru.
Tapi dia berusaha tetap tenang dan kembali bertanya, “ Pak, saya bukan penipu! Memangnya bagaimana cara anda memakainya?” tanya Hamdani. “Biasa, sebagaimana obat. Sebelum berhubungan, kami rebus dulu barang itu. Saya minum airnya, istri saya juga minum. Kami lakukan begitu terus, tapi tetap saja obat itu tidak mempan!” jawab si bapak jujur. Sebenarnya Hamdani ingin tertawa mendengarnya tapi tak berani.
“Tentu saja pak, itu salah dan bodoh namanya! Ini kan bukan obat minum. Saudara harus tahu membedakannya,” ujar Hamdani. “Kami tahu membedakan. Kami tidak bodoh! Bapak yang bodoh! Bapak yang menyamakannya, menyebut barang ini lebih ampuh dari obat apa pun, dari pil atau jamu mana pun! Apa gunanya penerangan kalau tidak juga terang-terang bagi rakyat,” bantah si bapak.
Sedang cerpen ”Fiat Justitia Ruat Caelum” menceritakan seorang bupati di Nusa Tenggara marah. Ada surat pembaca dari mahasiswa di Kupang yang menyinggung masalah foto KTP sebagai korupsi. Memang waktu itu ia sendiri yangmemerintahkan warga hanya boleh berfoto di satu studio yang sudah kerjasama dengannya. Tapi dengan cerdik si Bupati mencoba mengundang si mahasiswa dengan baik.
“Jadi saudaralah bernama Silvanus?” tanyanya. “Ya, saya orangnya,” jawab si mahasiswa. “Kita terang-terangan. Bukankah saudara yang menulis surat pembacasoal foto KTP? Bukankah saudara penduduk daerah lain? Bagaimana bisa tahu soal ini?” selidik si Bupati. “Bisa saja, Tuan, saya mahasiswa Fakultas Hukum, dididik untuk menegakkan hukum dan keadilan. Bapak memanfaatkan foto KTP untuk kepentingan pribadi dan ini salah,” kata si mahasiswa tegas.
Dengan terus mengancam bupati membentak, “Kamu harus katakan siapa yang telah memberitahu soal foto KTP itu!” Dan beberapa stafnya mulai merenggut kerah mahasiswa. “Tidak ada! Semua orang tahu kecurangan di daerah Tuan!” jawabnya. Meledaklah amarah Bupati, bak, buk, bak, buk. Bunyi pukulan dari tangan para staf mendarat di tubuh mahasiswa itu.
Tapi ia masih teriak, “Bupati kalian korup! Malah memukuli saya. Kabar ini pasti menyebar ke semua penjuru. Kalian fasis! Kalian boleh saja masukkan saya ke penjara, tapi keadilan akan tetap berdiri! Fiat justitia, ruat caelum!” sejenak para staf yang asyik memukuli itu terdiam dan berpandangan, lalu berbisik, “Dia ngomong apa sih?”
Bisikan ini terdengar lucu di kuping mahasiswa yang berdarah-darah itu. “Hahaha! Abdi Negara bodoh! Bisanya manut atasan tanpa berpikir! Itu artinya sekalipun langit runtuh, hukum harus tetap ditegakkan! Hahahaha!” ledek si mahasiswa.
Di cerpen ”Cap dan Stempel”, diceritakan tentang Karnen, seorang buruh kecil yang bekerja di percetakan. Ia jadi anggota sserikat buruh di bawah naungan SOBSI. Sewaktu rezim penguasa baru memburu orang-orang PKI dan ormas-ormasnya, ia tak luput dari pemecatan, padahal ia bukan aktivis apalagi fungsionaris. Ia bergabung hanya karena merasa serikat buruhnya sungguh-sungguh gigih memperjuangkan nasib kaumnya.
Di Orde yang baru itu, Karnen harus memulai hidup baru dalam pengertian rupa-rupa penindasan dan pemerasan. Dia memang tak ditangkap, tapi KTP-nya dicabut. Inilah pangkal masalahnya. Ia harus dapatkan KTP baru bertuliskan BEBAS DARI G-30S/PKI. Tapi darimana uangnya? Ia tak lagi bekerja. Maka dijuallah beberapa barang miliknya.
Ia datangi Kepala Kampung yang sudah mengenalnya, yang tanpa ragu tetap meminta uang pendaftaran. Setelah menerima uang, Kepala Kampung mengatakan kalau karnen harus datang ke kantor polisi, mereka yang akan menyidik apa benar ia terbebas dari PKI. Maka datanglah Karnen ke kantor polisi setempat. Di bagian pemeriksaan penduduk seorang polisi meminta uang pendaftaran, lalu mengatakan ia seharusnyake kantor kelurahan dulu karena merekalah yang mengetahui persis penduduknya.
Tak banyak cincong, karnen datangi Pak Lurah. “Mana keterangan dari kepala kampung?” tanya si lurah.“Tidak ada pak, tapi saya sudah daftar dan membayar di sana,” jawab Karnen. “Saya Tanya soal surat keterangan, bukan soal bayar dan daftar!” jawab pihak kelurahan. Mau tak mau ia datangi lagi kepala kampungya yang kali ini sok sibuk.
“Kamu tahu pekerjaan saya menumpuk, yang minta permohonan ini juga antri, posisinya kamu jauh di belakang. Menurut peraturan baru seminggu dua minggu bisa selesai, kalau melangkah pasti yang lain marah. Saya sih bisa menolong, asal kamu jaga rahasia dan tahu prosedur,” jelas si kepala kampung yang intinya kembali meminta uang.
Ini memangkeperluan mendesak, tanpa KTP jangan harap bisa bekerja dimana pun. Barang-barang di rumahnya mulai habis dijual untuk modal mendapat surat sakti itu. Tapi sampai di kelurahan, kembali terulang celoteh prosedur butuh waktu dan intinya meminta uang pemulus. Kesusahannya meraih KTP akhirnya terjawab dengan lowongan kerja di sebuah pabrik sepeda milik seorang jenderal yang berkongsi dengan modal asing.
Tapi aturan di tempat itu sangat keras dan ketat. Tak boleh menuntut apa-apa, tak ada serikat buruh apa pun. Setiap pulang kerja kantong digeledah, dan jam kerja selalu diperpanjang. Suatu ketika kepala personalia mendatanginya. “Saudara tahu ini perusahaan penting yang hanya menerima pegawai dengan surat bebas G-30S/PKI?” tegur sang personalia. “Ada ini Pak, berikut KTP saya,” jawab Karnen yakin. “Saya tahu, tapi saya maksudkan bukan dari kelurahan, tapi dari KOPKAMTIBDA,” sanggah si personalia. “Tapi ini dari kepolisian juga sudah ada pak,” kata Karnen menimpali.
“Perusahaan ini butuh pegawai yang benar-benar bersih dan terjamin oleh KOPKAMTIBDA, bukan yang lain. Sebenarnya mudah diurus, apalagi saudara sudah punya keterangan dari lurah dan polisi. Bisa urus sendiri tapi agak sukar, perusahaan ini bisa bantu anda dengan ongkos sekedarnya. Nanti kalau sudah dapat suratnya status saudara baru 80%, masih harus ada verifikasi untuk diterima sebagai karyawan penuh,” beber si bos.
Dan di cerpen “Prajurit Yang Bodoh” dikisahkan dalam suatu rapat gerilyawan diputuskan harus ada yang menyelidik kekuatan musuh yang menjaga lapangan terbang. Tapi bagaimana caranya? Sebab penjagaannya ketat dengan senjata mesin. Teringatlah mereka pada anaknya Talip yang bernama Kasim. Bocah 12 tahun ini setiap hari sepulang sekolah berjualan kue keliling kampung. Maka ditugaskanlah Talip untuk membuat anaknya kasim mengerti dan membantu gerilyawan.
Tibalah hari dimana kasim mulai berjaja di sekitar lapangan terbang itu. Dari luar diamatinya beberapa tumpuan tempat lubang senapan mesin dan dihitungnya diam-diam. Seperti biasa, ia dibiarkan masuk dan para prajurit membeli jualannya. Seorang kapten langganannya memanggil, “Hey Jang! Kenapa Cuma tinggal dua biji? Ini sih jadi tahi gigi saya saja. Sudah tahu kalau kesini banyak yang beli seharusnya kamu bawa yang banyak!” bentaknya.
Kasim menjawab, “Tapi Pak, saya gak tahu berapa orang yang ada di sini dan berapa saya harus bawa kue kemari..” Si kapten kembali membentak, “Kamu tahu berhitung nggak? Kalo semua orang di sini beli satu biji berarti kamu sediakan 150 biji! Di sekolah kamu goblok atau pintar?” katanya.
“Goblok tidak, pintar pun tidak, sedang-sedang saja Pak,” jawab Kasim. Setelah habis dagangannya ia beranjak pergi sambil memencarkan pandangan ke semua penjuru lapangan itu. Tampak beberapa kapal terbang pembom, mustang, dan pemburu yang agak baru. Sambil berjalan kepalanya penuh dengan angka perhitungan, berapa tumpuan, pos kecil, senjata, serta kapal yang ada di sana.
Pengamatan kasim segera dilaporkan pada Talip ayahnya. Kira-kira seminggu setelahnya, sesudah waktu subuh, menggelegarlah ledakan granat dan rentetan senapan mesin di lokasi itu. Para gerilyawan dengan mudah merangsek dan mengepung para prajurit, lapangan terbang pun dikuasai. Jakarta gempar. Tersiar kabar bahwa pelabuhan udara Singkawang jatuh ke tangan komunis.
Begitulah, sebagian dari cerpen-cerpen ini terasa sangat nyata, sepertinya Sobron memang sedang menceritakan pengalaman hidupnya sendiri semasa masih di tanah air yang tak pernah hilang dari ingatannya. Semisal ada petikan kala orang tuanya sudah menjadi anggota DPR. Atau tentang saudaranya di pulau Belitung yang entah bagaimana kabarnya setelah tragedi 65. Dari sini juga tampak bahwa Sobron masih begitu telaten mengikuti perkembangan di dalam negeri yang tak bisa lagi dipulanginya itu. Detil ia dapatkan informasi perubahan-perubahan kearah keterpurukan yang dilakoni oleh penguasa baru.
Membaca karya sastra memang selalu berhasil membuka jendela imajinasi dan pengetahuan kita. Terlebih jika karya itu ditulis secara realis oleh orang-orang yang punya nalar reflektif yang sangat tinggi karena ditempa oleh kerasnya hidup yang mereka jalani sendiri. Karya sastra para eksil seperti ini memang sangat sepatutnya massif dibaca masyarakat luas. Sebab, di tangan mereka sastra bisa menjadi celah bagi kebenaran dan hati nurani untuk menuliskan sejarahnya sendiri, di luar kekangan sejarah resmi versi penguasa lalim yang buta, tuli, dan bisu.
------------------
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/suluh/20150405/resensi-buku-menjadi-manusia-dilarang-bodoh.html#ixzz3WQ5ejHhP