Terbit di Portal koranopini.com (KoPi), 23 November 2014 : http://koranopini.com/berita-2/ragam/resensi/buku/item/2797-gambar-protes-buat-pr-presiden
_____________________________
KETERANGAN BUKU
Judul : PR Buat Presiden (Karikatur)
Penulis : Benny Rachmadi
Penerbit : Jakarta, Kepustakaan
Populer Gramedia (KPG), 2014
Halaman : Hlm iv + 156 ; 24,5 x 17cm
ISBN 13 : 978-979-91-0722-0Penulis : Benny Rachmadi
Penerbit : Jakarta, Kepustakaan
Populer Gramedia (KPG), 2014
Halaman : Hlm iv + 156 ; 24,5 x 17cm
_____________________________
Sekali lagi, Benny Rachmadi, seorang kartunis kawakan Indonesia, mempersembahkan karyanya pada khalayak di tengah momentum tahun politik 2014. Buku kumpulan kartun opini berjudul PR Buat Presiden setebal 155 halaman itu diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) pada bulan Mei lalu. Sebelumnya, di momen Pemilu tahun 2009, ia bahkan pernah menerbitkan kumpulan karikaturnya dalam dua seri buku berjudul Dari Presiden ke Presiden yang cukup populer.
Benny memang terampil memotret realitas tumpukkan masalah yang begitu membebani bangsa dalam setiap gambar jenakanya. Seolah ia punya trik jitu menyusupkan semangat protes yang hidup, dan cukup berhasil mengajak penikmat karyanya turut serta meneriakkan protes atau setidaknya sadar akan masalah bersama. Maklum saja, kiprahnya di dunia jurnalistik, khususnya kolom kartun editorial Kontan sejak tahun 1998, ditambah dengan beragam raihan penghargaan di bidangnya.
Untuk memanjakan imajinasi, 20 halaman awal disajikan full colour. Secara apik gambar juga dipilah: pertama, pemilu yang karut-marut tapi tetap diharapkan rakyat (hal.2); kedua, jeleknya pejabat terpilih yang asyik sendiri (hal.28); ketiga, melekatnya julukkan Indonesia negeri koruptor (hal.40); keempat, infrastruktur bobrok meski bayar pajak (hal.51); kelima, kebijakan aneh yang membingungkan (hal. 60); keenam, kemelut bidang ekonomi (hal.66); ketujuh, langganan bencana tak berujung (hal.129); kedelapan, premanisme dan kriminalisasi (hal.137) ; terakhir, pertanyaan dilematis apakah hidup adil dan makmur hanya ada dalam mimpi (hal.150).
Sayangnya tak ada daftar isi dan kata pengantar yang sebetulnya penting sebagai pemandu. Setiap gambar juga tak diberi keterangan pernah dipublikasikan di media mana, padahal ini kumpulan karyanya sebagai kartunis kolom selama periode tertentu. Tapi lepas dari itu, buku ini memang sangat menarik dibaca, bahkan penting bagi para penguasa baru yang memimpin negeri. Mengapa ? jelas karena masalah yang dialami bangsa kita ini sudah terlalu banyak dan semuanya menuntut untuk segera dituntaskan.
Terpilihlah Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019, sosok yang dielu-elukan telah mewakili semangat pembaharu zaman. Sejak awal kemunculannya memimpin Kota Solo hingga jadi Gubernur DKI Jakarta, populer dengan gebrakan-gebrakan di luar mainstream. Berbeda dari citra umum pejabat, Jokowi tampil bersahaja dan mengusung etos kerja dengan metode andalan “blusukan” alias rajin mendatangi masyarakat dan masalahnya di lapangan.
Tapi semua itu belum cukup menjamin keberhasilan, selain karena ada begitu banyak “oknum parasit” yang tersebar di semua sendi lembaga trias politika. Metode yang dipergunakan Jokowi dalam praktek pemerintahannya juga masih belum pernah secara serius menyentuh substansi kebutuhan rakyat, melainkan baru sebatas memuaskan dahaga moral saja.
Nyaris tak ada gambar di buku ini yang tak relevan dengan realita problematika bangsa hari ini. Caleg gagal pusing karena tagihan utang biaya kampanye (hal.27), terbukti banyak yang depresi pasca kalah berlaga, bahkan caleg pemenang pun ramai-ramai menggadai SK. Gambar mobil KPK dicegat ranjau paku para mafia berdasi (hal.41) cocok dengan terbitnya UU MD3 yang mengebiri kewenangan KPK mengusut praktik korupsi di DPR. Atau gambar susahnya mencari hakim MK yang bersih (hal.50) juga pas dengan tertangkap tangannya suap Akil Mochtar.
Proyek mobil murah yang membingungkan karena murahnya itu bagi siapa dan dampaknya bagi penghematan BBM subsidi pun tidak ada (hal.61-62). Soal polemik subsidi BBM bahkan dapat perhatian khusus (hal 67-73). Apalagi naiknya harga beragam barang/jasa kebutuhan hidup (hal. 77-96). Gambar pemancing lusuh di negeri maritime yang bingung melihat ikan segar impor (hal.119), dan masih banyak lagi PR-nya.
Zaman dimana teknologi olah gambar sudah begitu praktis dan menggusur peran kartunis, eksistensi karya Benny justru kian moncer. Puluhan buku kumpulan karikaturnya meraih sambutan besar dari pembaca Indonesia, sebut saja 4 seri Tiga Manula Jalan – Jalan (2011 – 2013), 2 seri Lost in Bali (2008-2009), dan 4 seri Lagak Jakarta (1997, 1998, 2007, 2008). Saya jadi membayangkan, andai kolom kartun Pak De & Pak Ho asuhan Ferial di Lampung Post atau rubrik-rubrik serupa di Koran-koran daerah lainnya juga dibukukan, sepertinya tak bakal kalah seru dengan gambar-gambar protes seorang Benny Rachmadi.
____________
Saddam Cahyo, Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) jurusan Sosiologi Universitas Lampung (Unila)