Selamat membaca !
"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."
Senin, 20 Januari 2014
POSTER AKSI LMND LAMPUNG : Tolak JKN - BPJS !!!
Sistem asuransi kesehatan hanya menjerat nafas hidup rakyat Indonesia !
Negara tak boleh lepaskan tanggung jawab !
UUD 1945 dan Pembukaan telah memberi jaminan bahwa kesehatan adalah hak dasar rakyat yang wajib dilindungi negara !
Bubarkan JKN !
Bubarkan BPJS !
Cabut UU BPJS dan UU SJSN !
Laksanakan amanat Pasal 33 UUD 1945 secara murni dan konsekuen !
Sabtu, 18 Januari 2014
Opini : JKN dan Lepasnya Tanggung Jawab Negara
Oleh : Hidayaturrohman*
Terhitung
1 Januari 2014 lalu, secara resmi Pemerintah RI menetapkan pelaksanaan program
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi seluruh rakyatnya. Program ini cukup
menarik, karena merupakan transformasi dua lapis kebijakan, pertama dari program
yang terpecah seperti jamkesmas, jamkesda, dan askes dilebur ke dalam JKN,
kemudian lembaga penyelenggara yang sebelumnya juga terpecah yakni Pemerintah
Pusat, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan PT Askes kini diamanatkan hanya pada BPJS
Kesehatan. Menurut rencana, Pemerintah menargetkan program ini mampu men-cover hingga 140an juta jiwa dengan
menggelontorkan anggaran hingga 35 triliun rupiah untuk menopang pelaksanaannya
pada tahap awal ini.
Semangat Jaminan
Sosial
Program
JKN melalui BPJS Kesehatan sendiri merupakan buah kedua dari amanat UU SJSN dan
UU BPJS selain BPJS Ketenagakerjaan yang akan berlaku pada Juli 2015 mendatang.
Keduanya lahir didasari oleh semangat perlindungan Negara atas hajat hidup rakyatnya
melalui pemberian serangkaian jaminan sosial. Terdapat tiga kategori fasilitas
pelayanan kesehatan yang bisa dipilih oleh setiap peserta sesuai dengan
kemampuannya membayar iuran, yakni rawat inap kelas 3 dengan premi per bulan
sebesar Rp. 25.500, rawat inap kelas 2 dengan premi per bulan sebesar Rp. 42.500, dan rawat inap kelas 1 dengan
premi per bulan sebesar Rp. 59.500.
Sosialisasi
tentang pelaksanaan program ini memang terasa kurang optimal dilakukan,
sehingga masih banyak masyarakat yang belum mengerti mekanismenya, mulai dari
pendaftaran, pembayaran iuran, hingga pemanfaatannya. Dikabarkan bahwa sejumlah
116,1 juta jiwa akan secara otomatis terdaftar sebagai peserta JKN karena
pengalihan berbagai program sebelumnya. Dari jumlah itu sekitar 97,4 juta jiwa merupakan
golongan rakyat miskin yang iuran premi bulanan per orang ditanggung APBN sebesar
Rp. 19.225,- dan masih harus membayar Rp. 6.275 untuk mendapatkan fasilitas
rawat inap kelas 3 sesuai PP No.101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran/PBI
(Lampost, 6/1).
Namun
sesungguhnya terdapat keganjilan dalam substansi kebijakan terbaru ini, disatu
sisi wajah humanisme Pemerintah memang nampak begitu hangat merangkul
masyarakat. Di sisi lain, kita seakan digiring untuk melupakan amanat dasar
cita-cita kemerdekaan yang tertuang dalam UUD 1945 khususnya pasal 28H ayat 1
dan pasal 34. Pada dasarnya, Negara dibentuk dan pemerintah dipilih untuk
menjamin kehidupan yang layak bagi rakyat agar bisa berkembang ke arah
kemajuan. Bukan sebaliknya, yang terjadi justru Negara menjadi alat legitimasi
agar seluruh rakyat mau melayani kehendak Pemerintah yang kerap tak bijaksana.
Tanggung Jawab
Negara
Jika
mau lebih jujur, nuansa program jaminan sosial di bawah naungan BPJS ini sangat
kental diwarnai motif finance corporation
dan semakin membenarkan tudingan miring tentang faham neoliberalisme yang terus
dilekatkan pada kepemimpinan SBY – Boediono. Kewajiban negara untuk mengabdi
dan melindungi kehidupan rakyat telah dipelintir sedemikian rupa hingga negara hanya
beroperasi selayaknya perusahaan asuransi, pemerintah beserta jajaran adalah pimpinan
dan pekerjanya, sementara rakyat berjumlah lebih dari 250 juta ini akan menjadi
peserta potensial yang rutin membayar premi. Situs Bloomberg bahkan melansir bahwa BPJS Kesehatan Indonesia adalah
program asuransi kesehatan dengan jumlah peserta terbesar di dunia (Kompas.com,
7/1).
Ciri
neoliberalisme seperti privatisasi sektor publik, deregulasi kebijakan dari UUD
sampai Perda, pencabutan subsidi, hingga mewabahnya logika mekanisme pasar
secara berangsur tapi pasti memang terus digulirkan Pemerintah kita. Pelepasan
tanggung jawab negara seperti ini sangatlah tidak populis dan justru semakin
membebani kehidupan rakyat. Saat ini biaya pemenuhan segala kebutuhan hidup pokok
sedang meroket tingi, sementara kesempatan kerja dan penghasilan malah makin
mengecil, apalagi ditambah dengan kewajiban mambayar premi bulanan.
apa
mau dikata kalau ketidakbijakan sudah diketuk palu, negara kita memang sedang
bangkrut. Kekayaan alam dari energi, mineral, dan migas yang kita punya sudah
makin habis dikeruk perusahaan asing. Pertumbuhan industri nasional kembang
kempis tergerus globalisasi, dan utang pun sudah menggunung melampaui 2000
triliun rupiah. APBN kita pun nyaris hanya mengandalkan topangan dari pajak yang
juga dipungut dari rakyat sendiri. Sesungguhnya modus asuransi dalam jaminan
sosial seperti ini tidaklah menjadi soal asalkan rakyat diberi jaminan perlindungan
yang lebih substansial, yakni kesejahteraan. Sedikit harapan yang muncul ada di
pemilu 2014 nanti, kita harus bekerja keras memilah dan memilih caleg maupun
capres yang punya integritas untuk mensejahterakan kehidupan bangsa.
_____________
*) Komunitas Sosiolog Muda Lampung.
Mahasiswa
Jurusan Sosiologi FISIP Unila.
e-mail : hidayat.quic@gmail.comEDITOR : SADDAM CAHYO
Kamis, 09 Januari 2014
Opini : Tahun Baru, Harga Baru, Penguasa Baru ?
Oleh
: Saddam Cahyo*
Genap sudah tahun
politik 2014 yang paradoksal kita masuki, konon istilah ini dilatari oleh
besarnya harapan dan antusiasme rakyat Indonesia pada sistem demokrasi yang kita
anut dan perjuangkan. Barangkali tahun ini memang patut dititipkan harapan
klasik akan datangnya perubahan konkret dalam kehidupan berbangsa. Menurut
rencana, akan terselenggara beberapa momentum pergantian kekuasaan vital, mulai
dari Pemilu Legislatif DPR/MPR/DPD pada 9 April, lalu Pemilu Presiden RI pada bulan
Juli, hingga secara khusus Pilkada Gubernur pun telah dijanjikan lebih serius
lagi pada segenap masyarakat Lampung di tahun ini pula.
Krisis
Berlapis
Namun atmosfer yang paling
terasa sampai lapisan terbawah masyarakat justru masih dalam perkara lain yang
jauh lebih klasik, yakni belitan biaya hidup. Kita memang dibekali banyak bibit
masalah sebelum menginjak tahun ini, kenaikan BBM yang tarik ulur, kenaikan TDL
yang berangsur diam-diam, kenaikan UMP yang rata-rata masih bertahan di bawah
level 20%, lalu anjloknya nilai mata uang rupiah di level angka 12.000, dan
sekarang kita dikejutkan dengan drama kenaikan harga LPG 12 kg yang selalu
disertai kelangkaan stok LPG 3 kg di pasaran. Konsekuensi logis tapi pahit yang
harus diterima adalah semua harga kebutuhan hidup melambung jauh dari kemampuan
konsumsi masyarakat, termasuk mie instant
yang menjadi andalan pangan kaum miskin.
Indeks kesengsaraan
rakyat (misery index) Indonesia pada
tahun 2013 melonjak dari tahun sebelumnya 10,72 menjadi 15,04. Sementara jika
mengacu pada kriteria miskin yang terintegrasi dalam program JKN terbaru, saat
ini sekitar 97,4 juta jiwa rakyat Indonesia masuk dalam golongan paling menjadi
korban belitan biaya hidup (Lampost, 6/1). Lebih jauh lagi, perkara kemiskinan
yang terus mengancam ini akan selalu memantik krisis multi-dimensional yang
kompleks dalam kehidupan masyarakat. Semisal krisis sosial kian menjadi karena
desakan kebutuhan, ditandai munculnya letupan-letupan konflik horizontal maupun
vertikal dari hal sepele merebutkan lahan parkir dan lapak dagang hingga yang
lebih substansif merebutkan hak garap atas lahan perkebunan.
Sayangnya negeri ini
juga sedang dilanda krisis pemimpin yang tak kalah krusial. Di setiap level
pemerintahan, kita nyaris hanya memiliki penguasa yang begitu pandai menguasai
hajat hidup rakyatnya tanpa keseriusan itikad memimpin selain untuk kepentingan
diri dan golonggannya. Padahal, sejatinya sistem politik demokrasi itu merupakan
jalan bagi segenap rakyat untuk menitipkan amanat pada orang-orang terpilih agar
memimpin mereka menggapai kemaslahatan bersama. Tak berhenti disitu, krisis
idealisme untuk memosisikan rakyat sebagai penguasa yang hakiki ini juga telah menggerogoti
moral jajaran birokrasi maupun penegak hukum yang pelayanannya makin tak bisa
diandalkan.
Paradoks
Harapan
Maka tak salah jika
menjelang akhir tahun kemarin media
massa maupun lembaga riset berlomba menyajikan data dengan trend yang miris, merosotnya kepercayaan publik pada penyelenggara
negara. Tentu situasi ini tidaklah baik, sebab taraf kepercayaan publik akan
sangat mempengaruhi angka partisipasi politik. Sementara demokrasi akan semakin
kehilangan ruh nya jika rakyat sudah enggan berpartisipasi. Sangat disayangkan
jika momentum tahun politik ini dibiarkan menjadi sebuah paradoks dengan
kesenjangan yang begitu jauh antara harapan dan kenyataan, sebaliknya justru harus
menjadi peluang untuk memilih pemimpin yang tepat, bukan lagi para penguasa
yang bebal.
Sebagai rakyat, kita
harus berani tampil secara kolektif menjadi kesatria yang gigih mempertahankan
benteng pertahanan terakhir. Indonesia harus diselamatkan, agar cita-cita
kemerdekaan bukan sekedar teks mantra yang mandul. Sikap apatisme pada proses
politik terutama rangkaian pemilu esok justru hanya akan semakin melegitimasi keterpurukan
bangsa ini ke titik yang paling ekstrim. Kita harus membuktikan bahwa rakyat
Indonesia memang cerdas, dengan sadar menggunakan hak suaranya, dan tak larut
dalam guyuran serangan fajar politik transaksional. 2014 memang sungguh tahun
yang penting bagi kita semua.
_______________
*) Sekretaris Liga Mahasiswa
Nasional untuk Demokrasi (LMND) Wilayah Lampung
Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila.
Langganan:
Postingan (Atom)