PUISI UNTUK ANDI MUNAJAT
Oleh: Endik Koeswoyo
Sumber : http://endikkoeswoyo.blogdetik.com/index.php/2009/03/28/puisi-untuk-andi-munajat/
Jejak perjuanganmu masing terngiang pekat di telingaku
Syairmu meluluh lantakkan gema-gema kesombongan hatiku
Bung Andi….
Selamat jalan!
Bung Andi…
Doa kami seluruh rakyat melantun tulus….
Bung Andi…
Dekap erat putrimu hingga ke Surga besamamu
Dita…
Kami generasi muda bangga akan sosok Ayahmu
Temani dia di surga dengan senyummu…
Bung Andi…
Tanah ini telah kau simbah dengan darah dan luka
Darah juangmu akan trus menyatu
Engkau telah membuktikan darahmu mengalir untuk tanah pertiwi
Selamat jalan
Selamat jalan
Engkau adalah inpirasi, saudara, sahabat, teman bagi kami
Lagu itu akan terus kami nyanyikan
Akan trus kami kumandangkan hingga titik darah penghabisan…
Jejak perjuanganmu masing terngiang pekat di
telingaku
Syairmu meluluh lantakkan gema-gema kesombongan hatiku
Copy Paste Puisi Ini di Blog atau website anda
Untuk Rasa Solidaritas Kita sebagai Bangsa yang mengenang pada pendahulunya.
Bung Andi adalah salah satu pejuang Bangsa ini.
Puisi di buat
untuk mengenang jasa beliau. Untuk keluarga besar Andi Munajat hanya ucapan
tulus dari Endik Koeswoyo agar keluarga besar Andi Munajat yang di tinggalkan
mndapatkan ketabahan, serta amal ibadah Bung Andi Munajat di terima di sisiNya.
Amien..Amiennn
ANDI MUNAJAT adalah Adalah pencipta lagu Darah Juang. Bersama aktivis John
Sonny Tobing, Ketua KM UGM pertama mahasiswa Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta
sekitar tahun 1990.
Anak
Juga Meninggal, Istri Kritis
Jumat, 27 Maret 2009 | 21:59 WITA
PELAIHARI, JUMAT - Trans Kalimantan di wilayah
Tanahlaut lagi-lagi minta korban. Kali ini aktivis LSM Tanah Bumbu yang juga
pengurus partai politik di kabeupaten pemekaran yang tewas.
Korban atas nama Andi Munajat (42), warga
Sungai Danau Kecamatan Satui, Tanah Bumbu. Tak hanya dia, anaknya yang masih
berusia enam tahun, Dita juga meninggal. Sementara istrinya, Sunarsih (32)
selamat, tapi mengalami luka parah dan masih dirawat di rumah sakit di
Banjarmasin.
Di Tanah Bumbu terutama di Sungai Danau, nama
Andi cukup dikenal masyarakat maupun kalangan birokrasi. Pasalnya yang
bersangkutan selain aktif di LSM Sampan, juga aktif di sejumlah organisasi
sosial lainnya. Juga tercatat sebagai salah satu pengurus parpol setempat.
“Korban Andi meninggal dalam perjalanan menuju
rumah sakit di Banjarmasin, sedangkan sang anak meninggal di rumah sakit di
Banjarmasin,” sebut Kapolres Tala AKBP Drs H Dadik Soesetyo S melalui Kasat
Lantas AKP Yudi Yuliadin didampingi Kanit Laka Aiptu
Kasiran, Jumat (27/3).
Laka lantas maut tersebut terjadi Kamis (26/3)
pukul 13.00 Wita di Jalan Arteri Nasional (Trans Kalimantan) arah
Pelihari-Banjarmasin. Teatnya di Jalan A Yani Km 49 Desa Tambang Ulang
Kecamatan Tambang Ulang, tak jauh dari Mapolsek Tambang Ulang.
Saat itu Andi mengendarai sepeda motor Jenis
Honda Supra DA 5059 Z dari arah Banjarmasin dengan membonceng istri dan
anaknya. Ketika mendekati TKP (tempat kejadian perkara), dari arah berlawanan
sebuah mobil Toyota Avanza DA 8775 TR bergerak di jalan raya setelah sebelumnya
berhenti di bahu jalan.
Lantaran oprit bahu jalan rendah, si pengemudi
yakni Agusteja Nugroho (20) mengami kesulitan menaikkan roda mobil ke jalan
aspal. Mobil yang dikemudikannya oleng sehingga bodi belakang mobil sedikit
terlempar ke tengah badan jalan.
Agusteja sendiri adalah anggota Polres Tala.
Saat itulah kendaraan yang dikendarai Andi membentur bodi belkang mobil Avanza
tersebut. Andi dan istri-anaknya terpental dari sepeda motornya dan terjatuh ke
aspal.
Darah pun tumpah dan
membasahi jalanan setempat. Polisi yang mendapat laporan dari warga langsung
datang ke TKP dan mengevakuasi korban ke Banjarmasin.
Namun lantaran
luka cukup parah, Andi mengembuskan nafas terakhir dalam perjalanan.
PEMBAYARAN SANTUNAN AKTIVIS TANAH BUMBU KALSEL
2 April 2009
BANJARMASIN-Seperti diberitakan sebelumnya
bahwa Jalan Trans Kalimantan di wilayah Tanah Laut lagi-lagi meminta korban.
Kali ini aktivis LSM Sampan yang juga pengurus partai politik di Kab.Tanah
Bumbu Kalsel yang tewas.
Korban atas nama Andi Munajat (42), warga
Sungai Danau Kecamatan Satui, Tanah Bumbu. Tak hanya dia, anaknya yang masih
berusia enam tahun, Dita juga meninggal. Sementara istrinya, Sunarsih (32)
selamat, tapi mengalami luka parah dan masih dirawat di rumah sakit Ulin
Banjarmasin.
Pada hari Kamis (2/4) PT. Jasa Raharja Cabang
Kalimantan Selatan menyerahkan pembayaran santunannya kepada ahli waris korban
Sunarsih di Rumah Sakit Ulin Banjarmasin.
Santunan langsung di terima ahli waris sebesar 50 juta ditambah biaya perawatan
anak korban sebelum meninggal dunia.
Dalam kesempatan tersebut keluarga korban
mengucapkan terima kasih kepada Jasa Raharja yang telah peduli kepada
masyarakat yang tertimpa musibah kecelakaan dan pelayanan yang terbaik yang
telah diberikan kepada keluarga korban. Keluarga korban berharap bahwa santunan
yang telah diterima dapat bermanfaat bagi kelangsungan hidup ahli waris korban.
Amin…
Humas JR Kalsel
"Andi Munajat" (Refleksi Hari Sumpah
Pemuda)
Oleh : Ahmad Rizky Mardhatillah
DARAH JUANG
Di sini negeri kami
Tempat padi terhampar
Samuderanya kaya raya
Negeri kami subur tuhan
Di Negeri Permai ini
Berjuta rakyat bersimbah luka
Anak kurus tak sekolah
Pemuda Desa tak kerja
*****
Pada tanggal 27 Maret 2009, dua tahun silam, Harian Banjarmasin
Post melansir sebuah berita kecelakaan. Beritanya tak dianggap hangat,
"hanya" berada di halaman "Banjarmasin". Waktu itu, saya
sudah kuliah di Yogyakarta, di semester kedua.Saya pun baru melihat beritanya
beberapa bulan kemudian, ketika saya dengan iseng mencari-cari nama beberapa
penggerak gerakan mahasiswa tahun 90-an.
Berita itu bagi sebagian orang -apalagi orang Banjar- mungkin tak
akan dianggap terlalu penting, sebab ia menceritakan sebuah peristiwa
kecelakaan biasa: seorang aktivis LSM dan puteranya yang baru berusia 6 tahun
meninggal dunia karena kecelakaan di Jalan Trans-Kalimantan, antara Pelaihari
dan Batulicin. Korbannya bernama Andi Munajat (42), seorang aktivis LSM di
daerah Sungai Danau, Satui, Tanah Bumbu. Menurut catatan berita, ia aktif di
LSM Sampan, sebuah LSM Lokal dan beberapa organisasi sosial.
Bagi para pembaca Banjarmasin Post, mungkin berita itu tak ada
yang istimewa. Andi Munajat seakan-akan tidak begitu dikenal, bahkan oleh koran
terbesar di Kalimantan Selatan itu. Akan tetapi, ketika berita kecelakaan itu
tersebar, para mantan aktivis di Yogyakarta langsung dibuat kaget. Sebuah buku
diluncurkan, "Menyulut Api Kering Perlawanan" khusus untuk memberi
penghormatan atas kematiannya. Media massa, seperti vhrmedia, mengulas sosoknya
dalam satu berita penuh. Berjuta ucapan belasungkawa dihaturkan. Sebuah aksi
solidaritas dilangsungkan untuk mengenangnya.
Lantas, siapakah ia sebenarnya?
****
Andi Munajat boleh jadi tak dikenal di Kalimantan Selatan. Ia
mungkin hanya disebut oleh Banjarmasin Post sebagai "aktivis LSM
Lokal". Tapi bagi gerakan reformasi, yang memberi perubahan besar bagi
struktur politik Indonesia di penghujung abad ke-20, namanya menjulang tinggi.
Sanad aktivis kiri Yogya, boleh dikatakan, berujung pada dirinya. Sebuah
catatan yang ditulis khusus untuk mengenang Almarhum -ditulis oleh Yul Amrozi-
menyebutnya sebagai "Socrates" di zaman pergerakan mahasiswa saat
itu.
Saya mencoba mengumpulkan beberapa catatan mengenai Andi Munajat
dari dokumentasi media. Beliau adalah mahasiswa Filsafat UGM, angkatan 1986.
Ketika beliau meninggal, di milis mahasiswa filsafat ramai membincang
belasungkawa. Ia sezaman dengan beberapa aktivis kiri zaman itu, macam Ngarto
Februana (sekarang wartawan Tempo), Dadang Juliantara (Mantan Direktur Walhi
Yogyakarta), atau Budiman Sujatmiko (Ketua Repdem PDIP).
VHRMedia menyebut Andi sebagai "seorang tokoh muda tak
dikenal yang sebenarnya berjasa besar membangun gerakan demokrasi di kalangan
mahasiswa dan generasi muda". Ialah yang disebut-sebut berada di balik
pendirian SMID, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi, sebuah organ
mahasiswa yang menjadi cikal-bakal munculnya Partai Rakyat Demokratik (PRD).
Dari catatan Eka Kurniawan, saya mengetahui bahwa Andi Munajat
dikenal sebagai salah satu tokoh PIJAR, majalah mahasiswa Filsafat UGM yang
pada era itu menjadi corong kritisisme pers mahasiswa. Gambaran Eka Kurniawan,
"Satu-satunya ingatan samar saya hanyalah mengenai seorang lelaki asing
yang tiba-tiba masuk ke kantor Pijar. Itu nama majalah mahasiswa Fakultas
Filsafat, tempat saya berakti[v]itas semasa kuliah. Tiba-tiba, ada lelaki asing
masuk dan tidur di ruangan Pijar. Ia tak bicara, tidak memperkenalkan diri, dan
langsung tidur di pojok.”
Sejarah PIJAR yang ditulis oleh penggiat pers mahasiswa Filsafat
ini juga mencatat bahwa Andi Munajat tercatat sebagai pendiri BPM Pijar,
bersama Hari Subagyo -yang kemudian banyak terlibat dalam advokasi petani-,
Agus Wahyudi (Dosen Filsafat), Yayan Sopyan (mantan Pemimpin Umum), dan lain
sebagainya.
Catatan lain diperlihatkan VHRMedia, melalui catatan wawancaranya
dengan seorang kawan dekat Andi Munajat. “Dia satu-satunya orang yang mau
memberikan perspektif untuk melawan rezim yang ingin menghancurkan
rakyat", kata Wilson, rekan Andi Munajat tersebut. Khas gerakan mahasiswa
1990-an.
Dan tentu saja karya seni monumentalnya, yang hampir menjadi
"menu wajib" lagu-lagu demonstrasi mahasiswa di Yogyakarta, baik dari
kalangan Islam maupun kiri. "Darah Juang", yang ditulisnya bersama
Johnsony Tobing (sekarang di PRD) adalah satu dari sekian buah karyanya.
"Darah Juang" menjadi cerminan ketidakadilan pemerintah dalam karya sastra,
dinyanyikan ketika demonstrasi, memberi semangat perjuangan yang kental.
SMID, yang menjadi cikal bakal berdirinya Partai Rakyat
Demokratik, juga merupakan buah gagasannya. SMID segera menjadi organ gerakan
kiri dengan aksi-aksinya yang radikal, berpusat di Yogyakarta, dan kemudian
dengan cepat menyebar ke daerah-daerah lain, utamanya Jakarta.
Syahdan, Andi Munajat-lah yang mengoperatori pendirian SMID
melalui muhibah ke beberapa kota, begitu catatan Yul Amrozi, seorang mantan
aktivis SMID Yogya. Seorang kawan, tokoh Liga Mahasiswa Nasionalis untuk
Demokrasi, bercerita bahwa Andi Munajat-lah yang sesungguhnya menjadi Ketua
Ilegal LMND. Wallahu a'lam.
Namun, versi lain menyebutkan, namanya tak lagi muncul dalam
pentas SMID pada tahun 1994. Memang, dalam sejarah SMID, yang kemudian terpilih
sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal SMID adalah Munif Laredo dan
Fernando Manullang. Lalu kemudian muncul PRD yang dikomandoi oleh Budiman
Sujatmiko, mahasiswa FE UGM. Nama Andi Munajat kemudian tak lagi disebut-sebut.
Ada yang mengatakan ia disingkirkan dengan alasan yang tidak terlalu jelas.
Sejak saat itu, nama Andi Munajat hilang dari blantika gerakan
mahasiswa. Ia kemudian pergi ke Kalimantan -kemudian saya ketahui Banjarmasin-
dan mengorganisir basis di sana. Jelas, ia tak bersentuhan dengan ketenaran dan
popularitas. Sehingga, bagi seorang mahasiswa yang aktif dalam gerakan
mahasiswa Islam seperti saya, jika tak iseng mencari-cari, mungkin tak kenal
siapa orangnya.
Pendek kata, nama Andi Munajat menjadi salah satu kreator dari
pergerakan pro-demokrasi di penghujung 1990-an. Gerakan prodemokrasi lahir dari
tangannya. Namun demikian, ia tak tampil membela panji demokrasi ketika
revolusi sosial merembes ke Jakarta, menumbangkan state capitalism Orde Baru,
memberi warna reformasi tahun 1998. Namanya seakan-akan hilang ditelan zaman.
Ketika rekan-rekannya dulu, seperti Andi Arief (Mahasiswa
FISIPOL), Velix Wanggai (mantan Ketua Jamaah Mushola Fisipol), atau Budiman
Sujatmiko (Ketua PRD) tampil dalam panggung politik di medio 2000-an, tidak ada
yang mengenal Andi Munajat di koran-koran nasional. Padahal, namanya sangat
patut diperhitungkan sebagai ideolog gerakan kiri Yogya 1990-an.
Di akhir hayatnya, Andi Munajat lebih memilih
"mengasing" di sebuah desa kecil bernama Sungai Danau, di Kecamatan
Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Ia memilih mengorganisir
massa di wilayah itu. Sebagai Urang Banjar, saya tahu persis betapa
wilayah di Kabupaten itu kaya tambang, tapi tak jelas pengelolaannya.
Hutan-hutannya digundul atas dalih HPH. Almarhum kabarnya sempat terlibat
pemogokan kayu di sana.
Namun, siapa yang tak terkejut ketika mendengar kabar bahwa Andi
Munajat meninggal di tahun 2009, dengan tak disangka-sangka. Berita yang memuat
kematiannya hanya ditempatkan di bagian dalam, bukan headline. Media pun
tak kenal jasa-jasanya semenjak menjadi mahasiswa dulu. Ia mati layaknya Abu
Dzar Al-Ghifari, sahabat Nabi yang zuhud itu, tak dikenal, sendirian.
Untuk mengenang namanya, beberapa aktivis gerakan 98 kemudian
meluncurkan sebuah buku: "Menyulut Lahan Kering Perlawanan, Gerakan
Mahasiswa 1990-an: Tribute to Andi Munajat". Tercatat beberapa nama
seperti Nezar Patria (Koordinator AJI), FX Rudy Gunawan, dan lain sebagainya.
Buku itu diluncurkan di Goethe Institute, September 2009.
****
Itulah Andi Munajat. Namanya mungkin melekat di hati aktivis
gerakan kiri, terutama gerakan kiri Yogyakarta, tapi mungkin tidak dikenal di
masyarakat banyak. Namanya kalah bersinar dibanding Fahri Hamzah, senior saya
yang sering mencuatkan kontroversi tak jelas untuk melindungi kepentingan
proyek partainya. Mungkin, namanya tidak banyak bersanding dengan Andi Arief
yang kini masuk dalam lingkar kekuasaan SBY. Dan lain-lain.
Saya memang bukan seorang aktivis gerakan kiri, walau dalam
beberapa kesempatan sering terlibat aksi bersama mereka. Usia akademik saya
amat jauh terpaut dengan beliau. Namun, bagi seorang aktivis
"kacangan" seperti saya, yang tak punya apa-apa selain
tulisan-tulisan jelek ini, beliau menjadi inspirator perjuangan yang kuat.
Rekam jejak kepahlawanan Andi Munajat -jika boleh saya menggunakan
istilah "pahlawan" sebagaimana sering digunakan Anis Matta- bukan
terletak pada hebatnya aktivitas pengorganisiran yang mampu menggerakkan
mahasiswa tingkat nasional di masa lampau. Kepahlawanan Andi Munajat -bagi
saya- terletak pada kesungguhan (mujahadah) untuk mengorganisir, dari
level bawah (akar rumput) hingga mahasiswa.
Di saat godaan kekuasaan menerpa alumnus gerakan mahasiswa 90an
(Fayyadl menyebutnya sebagai "migrasi para aktivis"), Andi Munajat
tetap tak dikenal dengan advokasinya di masyarakat Satui yang kaya tambang
namun tak banyak kenal pendidikan. Entah karena penyingkiran atau pelarian, tak
ada yang tahu mengapa Andi Munajat enggan tampil ke pentas politik nasional.
Padahal, saya yakin godaan itu begitu kuat melanda.
Migrasi aktivis mahasiswa ke lajur politik tak dapat disangkal.
Fenomena ini terjadi di KAMMI, organisasi yang saya pilih untuk digeluti di
masa kuliah. Ada yang dengan cepat menjadi elite di PKS -yang didirikan oleh
alumninya- dan menjadi anggota DPR, alias pemain dalam perburuan rente di
parlemen. Ada yang kurang sigap, lantas hanya menjadi staf ahli. Ada pula yang
memanfaatkan jaringan untuk mem-broker-i proyek anggaran. Sebagian lagi,
yang soleh-soleh itu, menjadi ustadz di partai, dengan segenap
kompartemennya.
Kendati demikian, ada yang berprofesi berbeda. Menjadi wartawan,
aktivis LSM, atau menggeluti dunia usaha "murni", bukan membroker.
Ada yang tampil di pentas birokrasi, menjadi penegak hukum, dan lain
sebagainya. Namun kekuatan mereka tak sekuat mereka yang di partai politik
-dengan segala perangkat sumber dayanya.
Andi Munajat mengajarkan sesuatu hal pada kita: keikhlasan dalam
bergerak. Ia "melawan" logika uang dan kekuasaan yang kini meliputi mainset
kawan-kawan gerakan mahasiswa. Organisasi intrakampus mungkin merapat ke
rektorat, lantas bermain dengan anggaran dan proyek-proyek gerakan dari
"alumni" atau broker gerakannya. Yang ekstrakampus tak kalah genitnya,
mencari proyek atas nama jalinan kuasa tertentu. Dan lain sebagainya.
Keikhlasan dalam bergerak bukan sekadar "apa yang bisa
diberikan untuk gerakan", tetapi juga "seberapa besar pengorbanan
untuk gerakan". Keikhlasan berarti siap berpeluh-darah mengorganisir di
tempat yang tak enak, menggerakkan yang sulit. Bukan sekadar mencari uang.
Tapi, tentu saja, hal yang tak enak itu tetap dijalani dengan lapang dada.
Dalam euforia sumpah pemuda, semangat Almarhum Andi Munajat
memberi kita inspirasi: Seorang penggerak tak harus melambungkan dirinya untuk
kepentingan pribadi. Seorang penggerak bisa jadi berjalan di tempat yang sunyi,
dalam keheningan, bekerja dalam diam, namun memberikan kebesaran pada
masyarakatnya. Ia tak perlu ketenaran, sebab ketenaran hanya melumpuhkan
sumpah. Seorang pemuda mesti menitahkan sumpahnya: bergerak dalam keikhlasan!
Dan sebab itu, dengan Sumpah Pemuda, yang mendeklarasikan beberapa
hal, perlu ada perluasan-perluasan. Sumpah Mahasiswa Indonesia tahun 1998 sudah
menegaskan hal ini: Kami, Mahasiswa Indonesia, Mengaku berbangsa satu: Bangsa
yang Gandrung Keadilan, berbahasa satu: Bahasa Kebenaran, dan bertanah air
satu: Tanah Air Tanpa Penindasan.
Dalam semangat Sumpah Pemuda, Andi Munajat mengajarkan pada kita:
perubahan itu tidak bermula dari Jakarta. Ia bermula dari desa-desa kecil,
jalan-jalan sempit, pedalaman yang tak terjamah. Dan itu artinya, tidak
berkelindan dengan kekuasaan. Juga tidak bercengkerama dengan uang yang
terlampau banyak
Sebagai aktivis, saya harus malu jika tak punya kehendak untuk
hidup bermasyarakat selepas lulus kuliah. Saya harus malu jika hanya
berorientasi "mencari uang" ketika lulus kuliah. Dan saya harus malu
jika kemudian berselingkuh dengan kekuasaan setelah menyelesaikan studi.
Dan Andi Munajat (almarhum) memesankan satu hal lain yang tak
kalah penting: idealisme.
****
Dalam syairnya, "Darah Juang", Andi Munajat (Alm)
berpesan: "Bunda Relakan Darah Juang Kami, Tuk Membebaskan Rakyat".
Pembebasan rakyat dari kemiskinan, kebodohan, dan ketertindasan adalah agenda
kolektif gerakan, dari Islam ataupun gerakan kiri. Rakyat sudah terlampau lama
dijajah oleh hegemoni modal, oleh tangan-tangan gaib yang menjamah pertambangan
kita. Perlu ada semangat pembebasan itu. Dan itu yang mesti kita pupuk selama
ini.
Andi Munajat boleh tak dikenal di daerahnya. Tapi namanya tetap
abadi dalam sejarah pergerakan mahasiswa. Sebab sejarah tak berdusta. Ia tahu
persis, mana kaum oportunis, dan mana yang bergerak atas dasar keikhlasan.
Dan saya akhiri tulisan ini, sebagai peringatan sumpah pemuda,
dengan kata-kata sederhana: Selamat Jalan! Semoga dari rahim sejarah yang baru
lahir tunas-tunas penggerak dan pemikir yang baru pula!
Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Bunda relakan darah juang kami
Tuk membebaskan rakyat
DARAH JUANG
Nuun Wal Qalami Wa Maa Yasthuruun. Billahi fii sabilil haq.
*Penulis adalah Aktivis KAMMI UGM
Sumber : http://ibnulkhattab.blogspot.com/2011/10/andi-munajat-refleksi-hari-sumpah.html
Sang Peletak Pondasi Telah Pergi
INMEMORIAM
ANDI MUNAJAD, (Wafat 27 Maret 2009) Friday, March 27, 2009 at 9:37pm
Saya memasuki koridor Rumah Sakit Bhakti Yudha Depok bersama beberapa orang
kawan . Saya masuk kedalam sebuah bangsal pasien kelas ekonomi yang berjejer
seperti ikan pindang. Mata saya memandang setiap tempat tidur pasien mencari
seseorang. Saya bola-balik untuk memastikan apakah pandangan saya yang salah.
Untuk lebih memastikan saya menuju kamar mandi pasien membuka pintunya dan
ternyata kosong. Saya lalu mendatangi seorang suster jaga di bangsal itu.
”Suster pasien yang dikasur sana, yang bernama Andi Munajad ada dimana?” tanya
saya sambil menunjuk kasur yang kosong. Kemarin andi Munajad kami bawa kesana
karena sudah beberapa hari demam tinggi sambil menggigil. Setelah dibawa
kerumah sakit dipastikan bahwa ia terkena Thyphus (tipus),sebuah penyakit yang
kerap kali menimpa aktivis dijaman itu. Andi Munajad sendiri kemudian terkena
Hepatitis B karena pekerjaan yang padat, gizi dan instirahat yang kurang. Suatu
kondisi yang lazim untuk aktivis dimasa itu. Setelah mendapatkan ruangan, obat
dan infus kami meninggalkan Andi Munajad dengan maksud untuk mencari dana untuk
biaya pengobatan.
Saya keluar dari rumah sakit dengan perasaan galau, kuatir dan cemas. Dengan
bergegas saya lalu menuju Jl. Fatimah di Pondok Cina, markas kawan-kawan FBB
untuk memberi kabar dan mencari tahu keberadaan kawan saya tersebut. Tiba di
Jl. Fatimah saya diberitahu oleh kawan-kawan bahwa Andi Munadjad ada di dalam
kamar, sedang tergeletak di atas tikar. Saya langsung menemuinya dan bertanya
mengapa dia sudah ada di sini bukankah baru kemarin masuk rumah sakit.
”Aku kabur dari rumah sakit semalam son,” ujar Munajad lirih.
”Kenapa pula kau harus kabur, kau kan baru masuk”, ujarku
” Saya tidak mau memberatkan kawan-kawan di Jakarta. Biaya rumah sakit pastilah
mahal, dan aku tahu kawan-kawan di sini juga tidak punya dana, lebih baik aku
dirawat di sini saja bersama kawan-kawan.”
Saya tidak tahu ingin marah atau sedih, bagaimanpun juga Munajad adalah orang
penting dalam organiasi kami, kesehatan dan kehidupannya nyaris berdampak pada
gerakan mahasiswa di jaman itu, paling tidak pada lingkaran dan jaringan
politik kami di berbagai kota yang saat itu sedang memasuki tahap konsolidasi.
Pembangunan Gerakan Mahasiswa Kerakyatan
Andi Munajad mungkin nama yang kurang akrab ditelinga generasi aktivis sekarang.
Jangankan mengenalnya, mungkin mendengar namanya saja banyak yang baru tahu.
Namun bila kita hendak membicarakan kebangkitan dan pengorganisiran gerakan
mahasiswa raikal, progresif-kerakyatan di akhit tahun 1980-an, maka Munajad
adalah salah SEORANG PELETAK PONDASINYA. Di atas pondasi yang dia bangun
bersama kawan-kawannya, bangunan gerakan mahasiswa raikal kerakyatan tumbuh dan
berkembang dan kemudian terkristalisasi dalam pembentukan Partai Rakyat
Demokratik.
Munajad tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Filsafat UGM (mungkin angkatan
1985) yang kemudian menjadi fakultas basis gerakan mahasiswa radikal seperti
SMID dan PRD hingga awal reformasi. Ia dikenal sebagai pendiri majalah filsafat
PIJAR, yang saat itu menjadi salahsatu terbitan radikal yang isinya memuat
sebuah bentuk oposisi dan perlawanan dari mahasiswa dan rakyat. Dari majalah
Pijar inilah proses pendidikan politik dan rekutmen aktiis di Filsafat UGM
tahap awal dilakukan, termasuk disini ada istri saya Nor Hiqmah atau Nezar
patria yang sekarang menjadi Ketua Umum AJI.
Gerakan mahasiswa di Yogya mulai tumbuh sebagai gerakan radikal sejak
pertengahan tahun 1980-an dan makin terkristalisasi ketika kasus pembangunan
waduk Kedung Ombo yang dibiayai World Bank mulai dilakukan oleh pemerintah Orba
dengan melakukan pengusuran paksa. Gerakan mahasiswa di Yogyakarta menjadi
basis solidaritas untuk mengorgansisir mahasiswa untuk menolak pembangunan
kedung Ombo baik dengan aksi-aksi di Yogya, Jakarta maupun di lokasi
pembangunan waduk di Kedung ombo sendiri. Munajad adalah salah seorang pelaku
utama dari aksi-aksi solidaritas ini. Solidarits Kedung Ombo menjadi penting
buat gerakan mahasiwa karena menyeret mahasiswa pada isu-isu
populis-kerakyatan, penentangan pada kapitalisme global dan menjadi alat konsolidasi
gerakan mahasiswa sekaligus.
Pada awal tahun 1990an tersebut bermunculan berbagai poros perlawanan gerakan
mahasiwwa dan rakyat yang saling terkait satu sama lain. Kelompok Rode yang
bermarkas di jalan Rode menjadi salah satu basis gerakan yang penting sat itu.
Dari sini juga lahir Budiman Sudjatmiko yang menjadi ketua PRD dan sekarang
aktivis PDIP hingga Ifdal Kasim yang menjadi Ketua Komnas Ham sekarang ini.
Basis lain adalah kelompok FKMY yang merupakan wadah gerakan mahasiswa
ditingkat lokal yang dipimpin oleh mahasiswa ISI Yogyakarta yaitu Seno dkk.
Munajad terlibat dalam awal-awal pementukan FKMY, namun kemudian ia keluar dan
mendirikan Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta, yang menjadi embrio dari SMID
Yogyakarta dimana dia sebagai koordinatornya. Selain itu juga muncul kelompok
Komite Rakyat (KR), sebuah organisasi yang mempunyai ikatan dan pengaruh di
gerakan mahasiswa untuk memberikan perspektif kerakyatan dan ideologis. Figur
yang dikenal luas di KR ini adalah Awang dan Webi Warouw. Dalam pembentukan dan
perjalanan kemudian antra KR dan SMID mempunyai keterkaitan politik dalam upaya
pembangunan gerakan-gerakan sektoral yang lebih luas dan pembentukan Persatuan
Rakyat Demokratik. Dalam konteks inilah Munajad tumbuh sebagai seorang
organiser dan tokoh gerakan mahasiswa tingkat lokal yang juga dikenal luas oleh
jaraingan gerakan di kota-kota lain.
Sejarah politik Munajad selanjutnya akan berkisar disekitar pembangunan gerakan
mahasiswa radikal progresif kerakyatan berwatak nasional bernaman Solidaritas
Mahasiswa untuk Demokrasi (SMID). Dan harus di akui SMID tidak hanya memberikan
dampak luas dalam gerakan mahasiswa tapi juga untuk gerakan buruh progresif,
gerakan tani, gerakan kaum miskin kota hingga pembentukan Partai Rakyat
Demokratik. Dari seluruh pembangunan organ gerakan rakyat tersebut PARA AKTIVIS
SMID MENJADI ORGANISER-ORGANISER HANDAL yang kemudian keluar dari gerakan
mahasiswa dan bertransformsi dalam pembangunan gerakan rakyat di basis-basis
perkotaan, industrial dn pedesaan.
Gagasan pembentukan SMID sudah dibicarakan sepanjang tahun 1992 untuk mengatasi
sektarianisme dan tidak adanya kesatuan aksi dan tindakan sebagai buah dari
perlawanan mahasiswa sejak akhir 1980-an. Akhirnya sekitar bulan November 1992,
dengan ’mendompleng’ pada workshop Asian Students Association di Cisarua,
Bogor, diadakan pertemuan perwakilan antar kota untuk mengatasi sektarianism.
Hasil dari pertemuan tersebut adalah dibentuk organisasi yang masih cair
berbentuk Presidium Nasional yang diwakili perwaklian tiap kota dengan nama
Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Terpilih sebagai
koordinator Presidium adalah Andi Munajad, wakil dari SMY yang dianggap bisa
diterima semua kelompok dan mewakili gerakan mahasiswa termaju dijaman itu.
SMID saat itu tak lebih kapsitasnya sebagai wadah komunikasi antar gerakan,
belumlah menjadi sebuah wadah unitaris seperti perkembangannya dikemudian hari.
Munajad menindak lanjuti hasil pertemuan Cisarua itu dalam suatu ikatan
organissasi dan program-program bersama dan pembentukan kepengurusan yang akan
menjadi mesin konsolidasi jaringan. Munajad lalu mengadakan Konfrensi
Yogyakarta pada tahun 1993 dirumah Danuri, aktifis SMY di sebuah desa yang kami
sambangi tengah malam buta dengan berjalan kaki.
Konferensi SMID di Yogyakarta di hadiri oleh perwakilan-perwakilan presidium
organisasi dari daerah yang saat itu masih menggunakan ’identitas lokal’
mereka. Perwakilan yang hadir antara lain dari Solidaritas Mahasiswa Jakarta
(SMJ), Solidaritas Mahasiswa Semarang, Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta,
perwakilan dari Solo, perwakilan dari Surabaya. Salah satu hasil penting dari
konferensi adalah mengukuhkan Andi Munajad sebagai Sekjen SMID dan membentuk
pengurusan organisasi. Hasil penting dari pertemuan adalah upaya untuk mengubah
’identitas organisasi lokal’ menjadi organisasi nasional dengan mengubah
organisasi lokal menjadi organisasi cabang-cabang SMID. Sejak itu
diisntruksikan agar aksi-aksi di lokal mulai menggunkana nama SMID. Status SMID
juga diputuskan berstatus semi-legal, artinya dalam aksi-aksi terbuka program
dan banner SMID dapat dikibarkan, namun kepengurusan dalam strukturnya tetaplah
tertutup kepada penguasa. Juga dibicarakan tentang perluasan kontak organisasi
SMID ke kota-kota lain seperti Manado, Palu, Makasar, Medan. Konfrernsi juga
memutuskan kepengurusan yang terbentuk ditugasi untuk mempersiapkan sebuah
Kongres Mahasiswa untuk pembentukan SMID secara lebih luas dan legitimate pada
tahun 1994. Dalam kepengurusan SMID tersebut saya duduk sebagai star Dept. Pendidikan
dan Propaganda dan Hubungan Internasional, sebab saat itu SMID sudah menjadi
anggota Asian Students Association yang bermasrkas di Hong Kong.
Konferensi Yogykarta menjadi penting karena mulai sat itu diletakan pondasi
gerakan mahasiswa radikal-progresif-kerakyat
an yang berwatak nasional untuk mengatasi
watak sektarianisme yang melekat pada organ-organ mahasiswa di tingkat lokal
jaman itu. Konferensi Yogyakata juga menjadi penting dalam perluasan geografi
perlawanan mahasiswa radikal kerakyatan yang saat itu sangat berpusat pada
jawa-sentris dengan membangun jaringan dengan gerakan mahasiswa di Manado,
Palu, Medan dan Makasar. Kota-kota yang dikemudian hari berdiri cabang-cabng
SMID . Munajad berperan bagaikan seorang ’konduktor’ yang sangat menentukan
dalam proses orkestra pembangunan gerakan mahsiswa radikal tersebut. Sebagai
Sekjen ia berkeliling ke berbagai kota untuk membangun jaringan SMID,
memberikan pendidikan politik, dan terlibat dalam berbagai aksi.
Boleh dikatatakan tidak ada waktu bagi Munajad untuk beristirahat. Saat itu
belum ada internet dan handphone untuk koordinasi. Semua harus dilakukan dengan
pertemuan fisik. Saya menduga semua pekerjaan besar tersebut menjadi salah satu
’sebab utama’ Munajad terkena thyphus dan kemudian Hepatitis B. Pekerjaan
tersbut sangat tidak diimbangi dengan istirahat dan cakupan gizi yang masuk
kebadan. Benda yang paling sering masuk ke dalam tubuhnya adalah kopi dan
tarikan asap rokok. Perjalanan antar kota juga tidak dinikmati dengan pesawat
seperti kemanjaan aktivis sekarang, tapi harus menjadi penumpang gelap kereta
ekonomi dan kucing-kucingan dengan kondektur dan Polsuska. Dalam urusan
penumpang gelap ini tampaknya hampir semua aktivis SMID dijaman itu terlatih
dengan baik. (he..he..he).
Pertemuan penting yang sangat menentukan strategi SMID adalah pertemuan
presedium Nasional dan cabang-cabang SMID di Jakarta, di kawasan Cilincing,
Jakarta Utara di rumah Ari Kumis, salah seorang anggota SMID dari ISTN.
Sekitar pertengahan April 1994, merespon pembentukan Persatuan Rakyat
Demokratik dan mulai merebaknya aksi-aksi perlawanan kaum buruh, kepemimpinan
SMID nasional di bawah Munajad memutuskan mengagendakan sebuah rapat Presidium
Nasional SMID yang dihadiri perwakilan dari Jakarta, Yogyakarta, Solo, Semarang
dan Surabaya.
Hasil rapat Presidium SMID yang dipimpin Andi Munajad ini ini menurut saya
menjadi penting karena MENJADI PONDASI BAGI GERAKAN MAHASISWA RADIKAL
KERAKYATAN UNTUK BERTRANSFORMASI MENJADI GERAKAN BERWATAK KELAS. Inilah pondasi
kedua yang dibangun SMID di bawah kepemimpinan Andi Munajad. Di atas pondasi
yang dia letakan ini tumbuh dan berkembnang gerakan buruh radikal seperti Pusat
Perjuangan Buruh Indonesia dan FNPBI sebagai suksesornya.
Melihat terus berlanjutnya perlawanan kelas buruh, kita sadar bahwa ANDI
MUNAJAD TIDAK PERNAH AKAN MATI, DIA ADA DITIAP LANGKAH PERLAWANAN KELAS
PEKERJA.
Ada baiknya kalau kita mengetahui sedikit konteks dan kontribusi dari SMID saat
itu pada pembangunan percepatan gerakan buruh dan memberikan orientasi ideologis
berbasis kelas pada gerakan mahasiswa jaman itu.
Dari Gerakan Mahasiswa menuju Gerakan Buruh
Keputusan penting dan monumental dari Rapat Presidium SMID di Cilincing adalah
interfensi gerakan mahasiswa dalam gerakan buruh, mendorong pembentukan serekat
buruh dan aksi-aksi aliansi antara buruh dan mahasiwa. Sebuah era baru dalam
strategi gerakan mahasiswa akarnya dapat ditarik dari keputusan organisasi SMID
pimpinan Munajad dalam rapat pleno Cilincing ini. Dari sinilah secara massif
para kader SMID terjun ke wilayah industri, membangun kontak dengan buruh,
berdiskusii, mencatat penindasan industrial dan lalu mengorganisir pemogokan.
Dari sinilah kristalisasi ideologisasi sosialisme di dalam SMID tumbuh meluas
dan menjadi keyakinan baru dengan kelas buruh sebagai pelopor utamanya.
Harus diakui salah satu pekembangan yang juga penting dalam sejarah gerakan
kiri Indonesia adalah peran yang diambil oleh gerakan mahasiswa untuk mendukung
perjuangan kaum buruh. Masuknya mahasiswa dalam perjuangan buruh terpolarisasi
dalam perjuangan moral dan perjuangan yang lebih ideologis untuk menghadapi
kapitalisme.
Sejak tahun 1990 hingga Juli 1996, tercatat 32 aksi buruh yang mendapatkan
dukungan dari mahasiswa. Aksi ini terjadi di Yogyakarta, Surabaya, Jombang,
Medan, Jabotabek, Solo, Palu dan Semarang. Kelompok-kelompok yang terlibat
dalam aksi tersebut meliputi Solidaritas Forum Komunikasi Mahaiasiwa Yogyakarta
(FKMY), Solidaritas Komite Mahasiswa Pembela Buruh Indonesia, Aksi Komite
Solidaritas Mahasiswa untuk Hak-Hak Pekerja, Aksi Doa Solidaritas Untuk
Marsinah, Komite Solidaritas Buruh-Mahasiswa Semarang, Solidaritas Mahasiswa
Indonesia untuk Demokrasi (SMID), Forum Solidaritas Pembelaan Hak-Hak Buruh dan
Aksi Solidairtas Buruh-Mahasiswa IAIN Semarang.
Selain terlibat dalam berbagai aksi, banyak pula kelompok studi ‘kiri’ yang
juga terkait dengan gerakan mahasiswa yang melakukan pengorganisiran ke buruh
dengan bekerjasama dengan LSM, yang bertindak sebagai fasislitator.
DI Jakarta kelompok Forum Belajar Bebas yang terdiri dari aktivis mahasiswa UI
melakukan pengorganisiran buruh di Jabotabek. Dari keompok ini kemudian lahir
salah seorang pimpinan perjuangan buruh Dita Sari yang saat itu masih menjadi
mahasiswa FHUI. Mayoritas anggot FBB adalah mahasiswa Fakultas Sastra. Dalam
pengorganisiran kelompok ini juga dibantu oleh Yayasan Maju Bersama, sebuah LSM
perburuhan yang dipimpin oleh para alumnus fakultas sastra yang aktif dalam
advokasi dan pendidikan perburuhan.
Di luar FBB juga terdapat kelompok studi kiri Wahana Pembebasan dan Depok
School yang melakukan pengorganisiran kaum miskin kota dan buruh dengan
difasilitasi oleh Yayasan Kepodang, sebuah yayasan yang bergerak dalam
pendidikan pembebasan bagi kaum miskin dan marginal. Para pendiri yayasan ini
adalah para alumnus FISIP UI. Mayoritas anggota kelompok ini adalah mahasiswa
FISIP UI. Beberapa pendiri Yayasan kepodang ini juga menjadi pendiri Yayasan
Maju Bersama.
Di Surabaya, Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya juga melakukan pengorganisiran
pada buruh industri dan truk di Tandes dan Surabaya. Kelompok inti dari FKMS
adalah para mahasiswa Fakultas Hukum Unair dan ITS Surabaya. Kelompok ‘kiri’
ini juga berhubungan dengan para senior mereka yang aktif di LSM Cakrawala
Timur (CT). CT bergerak dalam pendidikan dan advokasi perburuhan.
Di luar FKMS, kelompok PMII Surabaya juga melakukan pengorganisiran buruh di
kawasan Rungkut, Surabaya. Sementara di Solo beberapa mahasiswa HMI juga
terlibat dalam pengorganisiran dan pendidikan perburuhan. Di Medan para
mahasiswa juga terlibat dalam pengorganisiian dan pendidikan kaum buruh. Salah
satu LSM yang menjadi fasilitator adalah Yayasan KPS.
Dari semua kelompok di atas, SMID adalah organisasi mahasiswa yang secara
tegas, teroganisir dan ideologis dalam memberikan dukungan kepada gerakan
buruh. SMID dideklarasikan pembentukannya sebagai organisasi legal yang terbuka
pada tanggal 3 Agustus 1994 di Jakarta. Organisasi ini mempunyai cabang
diberbagai kota besar di Jawa, Sumatera dan Sulawesi.
Dalam program perjuangan SMID dikatakan persoalan mahasiswa tidak dapat
dipisahkan dari persoalan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Masyarakat
Indonesia menurut SMID adalah masyarakat kapitalis yang didominasi oleh
konglomerat dan kaum imperialis. Untuk mendukung kapitalisme tersebut digunakanlah
sebuah pemerintahan yang otoriter. Semua partisipasi rakyat dalam politik di
tindas dan dibungkam. Dengan Dwi Fungsi ABRI rejim militer menindas seluruh
ruang demokrasi.
Dalam program politik SMID juga dikatakan “Mendukung dan terlibat dalam
perjuangan buruh, petani, dan sector rakyat tertindas lainnya”. Pada alinea
pertama butir satu dikatakan bahwa SMID “Memperjuangkan terbentuknya serikat
buruh yang demokratis, melakukan aksi bersama-sama buruh, mengkampanyekan
isu-isu buruh.” Dalam sebuah diskusi tentang gerakan buruh yang didakan oleh
SMID dan YLBHI di Depok, salah seorang panelis yang mewakili SMID, Jacobus
Kurniawan (dikenal dengan sebutan Iwan pilat) menulis:
“ Tidak ada persepsi yang mayoritas dari mahasiswa bahwa gerakan buruh adalah
gerakan yang mempelopori atau merebut demokrasi. Saya pikir gerakan protes dari
mahasiswa itu harus kita dorong untuk kepentingan kelas pekerja. Kita harus
memanfaatkan radikalisme aksi-aksi protes dari gerakan mahasiswa dengan
mengangkat sentimen-sentimen kerakyatan ini… Adalah dari hasil gerakan
mahasiswa yang kita dorong untuk melahirkan kader atau pimpinan yang militan
dan tangguh serta teruji dalam praktek untuk menceburkan atau dicemplungkan ke
massa kualitiatif atau buruh, dimana dia bisa mengalami secara riil, dimana dia
bisa menggunakan senjata bertempurnya yang selama ini dipelajari kedalam
gerakan buruh…Dari mahasiswa yang sudah teruji dan organisasi buruh yang sudah
teruji bisa dipertemukan sebuah agenda politik bersama dimana tuntutan untuk
kebebasan berorganiasi disetiap sector masyarakat akan diperjuangkan.
Kenapa Kelas buruh atau gerakan buruh menjadi kiblat kita?
Sejarah mencatat dari negara yang benar-benar demokratis bahwa kepeloporan yang
demokratis yang dipimpin atas inisiatif dari gerakan buruh yang diwarnai oleh
ilmu-ilmu atau teori-teori yang maju, yang berangkat dari kaum terpelajar atau
mahasiswa. Artinya kita bisa lihat atau kawan-kawan yang sudah berpengalaman
dalam mengorganisir pemogokan di pabrik kita bisa lihat bahwa kekuatan buruh
adalah riil, dia bisa menjatuhkan keuntungan pabrik yang selama satu hari bisa
100 juta lebih. Dari situ kita bisa lihat kepeloporan atau pondasi riil secara
politik dan secara ekonomi… Kita bisa membayangkan jika bisa mengorganisir
buruh disetiap kota untuk melakukan pemogokan, tuntutan yang dilakukan terhadap
pemerintah, terhadap negara yang kapitalis, akan kita uji dari pengorganisiran
pemogokan yang selama ini kiat lakukan.”
Pertarungan internal didalam SMID untuk memberikan kepemimpinan ideologis
apakah SMID akan memprioritaskan kepada kelas buruh atau kaum tani terjadi
dalam pertemuan Presidium Nasional SMID di Jakarta pada bulan April 1994.
Dalam pertemuan tersebut terdapat dua kubu utama, yaitu kubu Jakarta’ yang
terinspirasi dengan taktik-strategi kaum Bolshevik berhadapan dengan ‘kubu
Yogyakarta’ yang terinspirasi dengan perjuangan kaum tani di RRC. Kubu Jakarta
ini mendapatkan dukungan penuh dari SMID Semarang yang juga mempelopori gerakan
buruh di Semarang. Kubu Yogyakarta sendiri akhirnya terbelah menjadi dua, sebab
beberapa orang pimpinannya kemudian mendukung strategi dari ‘kubu Jakarta”.
Akhirnya pertemuan Presidum Nasional SMID memutuskan bahwa SMID akan memberikan
dukungan prioritas dan mengintegrasikan taktik-strategi perjuangannya untuk
mempercepat perlawanan dan pengorganisiran kaum buruh.
Untuk sampai pada tahap menjadi bagian dari gerakan buruh SMID memutuskan suatu
propaganda nasional untuk mensosialissikan persoalan dan perjuangan kaum buruh
di Indonesia melalui serangkaian diskusi/seminar dan terbitan. Untuk itu semua
terbitan SMID atau terbitan kampus yang dipengaruhi SMID harus berinisitaif
menjadikan isu perburuhan sebagai isu utama, atau menyediakan rubrik khusus
untuk mempropagandakan perjuangan kaum buruh.
Dalam terbitan-tebitan mahasiswa tersebut juga mulai dimasukan tulisan-tulisan
yang ditulis oleh kaum buruh yang sudah maju. Dalam majalah Vokal, IKIP
Semarang, Februari 1995 dimuat sebuah tulisan dari seorang buruhyang berjudul
“Mengapa Aku Sebagai Buruh Butuh Demokrasi?”
“Dari semua itu, aku sebagai buruh sadar akan arti pentingya demokrasi bagi
kaum buruh, sebab dengan demokrasi aku bisa membentuk organisasi buruh yang
demokratis juga. Artinya organisasi yang dibentuk dan dikelola oleh buruh untuk
memperjuangkan kepentingan menjadi hidup yang lebih baik. Tidak menutup untuk
bekerja bersama dengan mahasiswa yang pro demokrasi”
Setelah tahapan propaganda dilakukan, tahapan berikutnya adalah program
eksposure atau live in dilingkungan kaum buruh. Program ini merupakan sebuah
seleksi penting, dimana aktivis mahasiswa harus tinggal dipemukiman buruh,
mencari kontak, mengetahui persolan di pabrik dan mencatat kehidupan buruh.
Dengan cara ini keperpihakan mahasiwa kepada buruh menjadi tidak sebatas teori.
Tujuan eksposure ini menurut SMID mempunyai tiga tujuan yaitu:
“Pertama; menghancurkan watak borjuis kecil yang arogan, kelewat teoritis dan
oportunis. Dengan hancurnya watak borjuis kecil ini diharapkan para aktivis
mahasiswa dapat melakukan bunuh diri kelas dan sadar akan pentingnya kekuatan
buruh.
Kedua; Mengetahui secara langsung kehidupan kaum buruh dari hari kehari. Dengan
mengetahui kehidupan sehari-hari kaum buruh, para mahasiswa dapat mematerialkan
yang dia dapat dari buku-buku dan diskusi.
Ketiga; Melatih mahasiswa untuk paham persoalan buruh dan mampu memblejetinya
secara makro/ekonomi-politik.” (Wilson, pamflet, hlm 29).
Bagaimanakah pengalaman sosiologis seorang aktivis gerakan mahasisiwa ketika
harus hidup ditengah-tengah kaum buruh? Seorang peserta eksposur perempuan dari
SMID Jabotabek, Linda Christanty menuliskan pengalamannya;
“ Bulan Desember tahun lalu curah hujan menggasak sekujur tubuh dan malam
menjadi lebih dingin. Aku memasuki lorong sempit gelap yang merupakan pintu
gerbang ke sebuah pemukiman buruh yang menyerupai labirin. Bau pesing bercampur
tanah menguap dari permukaan jalan setapak yang licin. Bau khas kotoran manusia
ikut menguap dari lubang-lubang kakus yang terbuka. Di muka pintu-pintu barak
yang terbuat dari kayu kasar murahan dikapur putih, satu dua orang buruh
berdiri sambil bercakap dan cekikikan. Musik dangdut terdengar samar-samar,
sehingga tak sanggup menghapuskan kesan sunyi di dunia yang satu ini. Seorang
nenek tengah meninabobokan cucunya dalam buaian di muka barak yang lain. Ketika
aku menanyakan nama seseorang dalam bahasa Indonesia, ia hanya tersenyum dan
menjawab dalam bahasa Jawa yang tak ku pahami.
Aku berjalan terus, mengikuti petunjuk peta yang diberikan kepadaku. Lorong
yang bercabang-cabang dan pengab itu membuat perutku terasa mual. Sinar
Mataharipun tidak dapat leluasa menerobos kedalam, sedangkan lampu listrik
kamar 5 watt baru menyala pada pukul lima sore dan dimatikan alirannya pada
pukul delapan pagi. Lorong-lorong tersebut diberi atap anyaman bambu, tanpa
lubang-lubang udara, membuat siang hari tidak pernah hadir benar disini.
Barak-barak berukuran 2 X3 meter persegi diisi oleh tiga sampai empat orang
buruh pabrik garmen dan tekstil dikawasan tersebut, dengan uang sewa Rp. 20.000
sebulan. Mereka bekerja sesuai shift yang ditetapkan perusahaan (shift 1: pukul
07.00-15.00, shift 2: pukul 15.00-23.00, shift 3” pukul; 23.00-07.00). dan
sering ditambah kerja lembur yang diwajibkan. Upah mereka sangat rendah,
sehingga mereka hanya mempunyai anggaran Rp 700-setiap hari untuk tiga kali
makan. Utang yang tidak ada habis-habisnya (gali lubang, tutup lubang) sudah
menjadi bagian hidup sehari-hari.
Orang yang belum pernah tinggal dan hidup bersama buruh-buruh tentu mempunyai
gambaran dramatis bahwa mereka pasti selalu nampak murung,loyo dan merintih
dalam kemiskinan. Gambaran ini setidaknya diyakini sebagai bukti betapa
tertindas dan menderitanya kaum buruh dikalangan awam.” (Wilson, hlm 30).
Epilog
Andi Munajad adalah contoh terbaik dari seorang aktivis yang mengabdikan
seluruh hidupnya untuk pembangunan gerakan demokrasi dan kekuatan rakyat.
Ketika transisi demokrasi terjadi di tahun 1998, ia merupakan ’unsing hero’
yang mempunyai peran besar didalamnnya. Dengan pondasi gerakan yang ia bangun
sejak akhir 1980an, Munajad akan terus kita kenang sebagai kawan, sahabat, ayah
dan pejuang yang sederhana, tanpa pamrih dan selalu mengedepankan orang lain
dan gerakan diluar kepentingan pribadinya. Sikap-sikap seperti ini justru makin
langka kita temui dalam praktek dan kehidupan nyata sekarang ini. Kehilangan
sosok sepertinya adalah kehilangan besar buat kita semua, namun dengan pondasi
yang ia bangun, maka kita layak untuk berkata bahwa Munajad tidak akan pernah
mati, ia akan selalu hidup dalam hati, kenangan dan tiap langkah gerakan yang
sampai sekarang terus berlanjut.
SELAMAT JALAN KAWAN ANDI MUNAJAD !
WILSON
*) Tulisan ini untuk mengenang sahabat, kawan, ayah dan pejuang rakyat Andi
Munajad yang wafat pada hari Jumat, 27 Maret 2009
(dicuri dari http://www.facebook.com/note.php?note_id=72654311418&id=726175644&ref=mf)
Andi Munadjat versi Pinggiran oleh Ragil
Nugroho
PEMULA YANG DISINGKIRKAN (Catatan Kaki Tentang
Andi Munadjat)
Catatan:
Kalau Wilson di FB menuliskan sejarah Andi Munadjat versi Jakarta/keraton yang
penuh puja-puji, aku akan menuturkan sejarah Andi Munadjat versi pinggiran.
***
aku menatapmu terbungkus lumut
lupa kau pernah ada
hanya jejak samarmu yang pernah kulihat
di antara reruntuhan puing masa silam
sejarahmu tragis,
kau dikuburkan oleh zamanmu sendiri
dan,
sang penguburmu kini berpesta menjadi badut-badut
memungkiri cita-citamu
kini,
kau telah pergi dengan sederhana
tanpa prasasti dan tabur bunga
sekarang,
setelah kepergianmu,
ada yang ingin menjadikanmu sebagai berhala
tapi,
aku hanya ingin mencatatmu
sebagai pemula yang dilupa!
(Mengantar Kepergianmu, Jogja, 30 Maret 2009)
Tembang Kenangan di Halaman Fakultas Filsafat UGM
Malam itu, tanggal 2 April 2009, halaman Fakultas Filsafat UGM dipayungi langit
yang hamil hujan. Sebuah banner, kira-kira berukuran 2 X 6 meter, terpasang
menghadap ke arah barat dan bertuliskan: Peletak Pondasi. S. Hamzah/Hamcrut
(seorang perupa kiri yang sedang memperdalam seni rupa kerakyatan ala Basuki
Reksobowo) sibuk ke sana kemari mengatur persiapan acara. Dia memang sebagai
penggagas acara malam itu: Peringatan 7 Hari Meninggalnya Andi Munadjat.
“Ini persis dengan acara mogok makan dulu, Ndog. Aku mengerjakan sendiran,”
ujar Hamcrut kepadaku. Setelah berkata begitu, kuperhatikan Hamcrut langsung
merapal mantra agar hujan tak mengguyur halaman Fakultas Filsafat malam itu
(aku sudah hapal bagaimana Hamcrut menyiapkan mantranya karena beberapa kali
pernah diajak ketika dia sedang bertugas “menyediakan payung” untuk berbagai
event). Orang sudah banyak tahu, selain sebagai perupa kiri, Hamcrut juga dikenal
dengan pawang hujan kiri (artinya, dia mampu menjelaskan bagaimana cara
mencegah turunnya hujan dengan analisa MDH).
Sekitar 11 tahun silam, Hamcrut bersama Manik Widjil Sadmoko (Admo) memang
menggagas acara mogok makan di halaman Fakultas Filsafat UGM. Dari mogok makan
inilah kemudian lahir KPRP (Komite Perjuangan Rakyat untuk Perubahan), salah
satu organisasi mahasiswa-rakyat yang memelopori aksi radikal di Jogjakarta
untuk menggulingkan Soeharto. KPRP inilah yang melambungkan nama Haris “Aples”
Moti yang dulu bukan siapa-siapa (seorang laki-laki berkulit hitam legam,
selegam sejarahnya, yang selalu datang ke acara mogok makan dengan membawa
koran yang digulung), namun sekarang telah menjadi selebriti politik di
Jakarta. Bila sejarah bisa memakai kata “seandainya”, maka seandainya KPRP
tidak melahirkan orang seperti Haris “Aples” Moti, bisa dibilang sejarah KPRP
akan “bersih” dari “kotoran”.
Waktu terus menanjak menuju malam. Satu persatu undangan mulai datang. Ada yang
datang sendiri, ada pula yang datang bersama keluarga. Terlihat nama-nama beken
seperti Awang Krisna Mukti—aktivis tua yang malam itu kembali masuk kampus—Hari
“Beggy” Subagyo—ideolog kaum tani yang sekarang berselingkuh dengan
buruh/aktivis LSM berbakat/staf ahli Menkes Fadilah Supari —Kiswondo—sastrawan
kiri yang kini menekuni penulisan sejarah—Etsar—Dekan Fakultas Filsafat/adik
kelas Andi Munadjat—Damai Pakpahan, Nico Warow, Erna “Bono”, dan PRD versi PBR
dari Solo seperti Kelik Ismunanto, Nandar, Sindu, Onong, serta undangan lain. Mereka
duduk menyebar sambil menikmati wedang ronde dan nasi kucing yang telah
disediakan panitia.
Sekitar pukul 20.20 acara dimulai—terlambat sekitar 50 menit dari jadwal
semula. Keterlambatan ketika aku tanyakan ke panitia terjadi salah satunya
karena Hari “Begy” Subagyo datang terlambat, padahal dia salah satu pengisi
acara kunci dalam acara malam itu. Dia datang pukul 19.50, sehingga panitia
yang terdiri dari anak-anak muda mahasiwa Fakultas Filsafat harus menunggu
kedatangan “seniornya” terlebih dahulu.
Sebagaimana lazimnya acara yang difasilitasi pihak kampus, sambutan dari
birokrat kampus/Dekan menempati posisi pertama, setelah pembukaan. Dekan
Fakultas Filsafat “agar dikesankan revolusioner” dan pernah mencicipi dunia
aktivis, mengawali pidatonya dengan Sumpah Mahasiswa. Tapi, karena dia membaca
Sumpah Mahasiswa dengan sikap “jaga imej”, maka Sumpah Mahasiswa yang
diucapkannya penuh kesalahan sana-sini. Setelah itu, dia mengudar pengalamannya
ketika masih bersama Andi Munadjat. Mirip dengan upacara sambutan penguburan,
yang selalu mengungkapkan hal yang baik-baik tentang almarhum/almarhumah, sang
Dekan pun menyampaikan hal serupa.
Setelah Dekan lengser dari panggung, Awang Krisna Mukti mendapat giliran
selanjutnya. Dia maju dengan menenteng sebuah map. Sebelum naik pentas, dia
sempat memamerkan padaku kalau tulisan di bagian luar map itu adalah tulisan
tangan Andi Munadjat. Awang—begitu dia disapa—memaparkan riwayat singkat
kehidupan Andi Munadjat. Namun mungkin karena terharu, pada saat dia menuturkan
kisah Andi Munadjat yang sering “berjudi” catur untuk menambah uang makan,
tiba-tiba Awang menangis. Tangis itu semakin memuncak ketika dia memaparkan
kalau setiap bulan Andi Munadjat hanya mendapat kiriman Rp. 25.00,-. Karena
berbicara sambil menangis, beberapa bagian kata-katanya tak terdengar jelas.
Awang kelihatannya lupa membawa sapu tangan, sehingga dia biarkan air mata
menggarisi pipinya.
Kenangan yang disampaikan Awang tentang sosok Andi Munadjat adalah kenangan
yang “indah-indah” dan bisa menarik simpati pendengar yang mulai memadati
halaman tengah Fakultas Filsafat UGM. Walau pun begitu, tetap saja ada beberapa
orang yang tampak sibuk mengobrol sendiri dengan teman di sebelahnya, seperti
Nico Warow yang entah mengobrol apa dengan teman di sampingnya.
Puas mengungkapkan kenangannya pada sosok Andi Munadjat, Awang pun lengser dari
panggung. Selanjutnya, yang didaulat naik ke atas pentas adalah Kiswondo dan
Hamcrut. Kiswondo membacakan cerpen Andi Munadjat yang berjudul “Tak ada
Pilihan Lain”. Cerpen tersebut dibukukan dalam sebuah antologi berjudul
“Bersama Juga Sama”, yang diberi kata pengantar oleh Hilmar Farid. Sebelum
Kiswondo naik pentas, sempat kubolak-balik antologi cerpen “Tak Ada Pilihan
Lain”. Di dalamnya terdapat nama-nama beken yang ikut memberikan kontribusi,
seperti Linda Christanty dan Sihar Ramses Simatupang. Cerpen Andi Munadjat
tersebut berkisah tentang pemberontakan nelayan di Pelabuhan Ratu. Seperti
biasanya, Kiswondo membacakan cerpen dengan suara baritonnya yang khas dan
penuh tekanan, sehingga suasana pemberontakan nelayan di Pelabuhan Ratu dalam
cerpen Munadjat seolah-olah pindah ke halaman Fakultas Filsafat. Sementara itu,
Hamcrut dengan khusyuk mengiringi pembacaan cerpen Kiswondo dengan petikan
gitar. Namun entah gitar atau sound system-nya yang jelek, petikan gitar
Hamcrut tak terdengar jelas di telingaku.
Setelah selesai “bertugas”, Kiswondo dan Hamcrut langsung lengser. Acara
berikutnya—inilah sebetulnya acara yang kutunggu-tunggu—testimoni dari
kawan-kawan Andi Munadjat. Kebetulan sekali, Hari “Begy” Subagyo yang bertindak
sebagai pemandu. Kak Begy—begitu dia sering disapa oleh teman-temannya di
Jogja—mulai memanggil beberapa nama untuk maju. Yuli Eko Nugroho—layaknya
pejabat LSM lokal yang merasa sok terkenal, menganggap tak masalah datang
terlambat ke sebuah acara (termasuk acara mengenang sosok almurham Munadjat,
yang katanya “kawan dekatnya” itu) datang dengan mengendarai Suzuki APV
berwarna silver—adalah yang maju perrtama. Berikutnya, Damai Pakpahan,
Herlambang dan Agung yang dipanggil bersamaan. Anehnya, dari keempat orang yang
namanya disebut Kak Begy, semuanya adalah “tokoh-tokoh tua”, tanpa satupun
“tokoh muda”. Padahal kulihat ada banyak para pelanjut Andi Munadjat yang
berkiprah di Pijar hadir pada malam itu, namun nama mereka tak satu pun
dipanggil. Aku sempat mengajukan tanya dalam hati, “Apakah Andi Munadjat ini
peletak pondasi bagi ‘tokoh-tokoh tua’ saja?”
Dari sini, aku mulai melihat pengkerdilan sosok Andi Munadjat. Andi Munadjat
seakan ingin “dipeluk rapat-rapat” oleh “kami”, para tokoh tua. Mereka ingin
menjadikan Andi Munadjat sebagai milik generasi “kami”, generasi para sesepuh.
Sementara itu, mereka yang bukan “angkatan kami” lebih baik jadilah pendengar
yang baik; yang duduk manis sambil mendengarkan dengan baik dan tenang ketika
“kami” memuja-muji “berhala” dan tokoh “idola” kami. Dia yang telah
menyelamatkan muka “kami” sebab hanya dia aktivis yang lurus, jujur dan berbeda
dari kami; angkatan tua yang penuh belang-bonteng. Begitulah, jika sejarah telah
dirumuskan menjadi “sejarah angkatan”, maka hanya mereka yang “seangkatan” yang
dipersilakan bicara.
Terhadap testi yang diberikan Kak Begy dan lainnya, sebagai tanggapan, aku
kutipkan saja penggalan puisi Taslim Ali yang berjudul “Sanjak Liar”:
“aku telah muak
bau bangkai kata-kata
memoles bingkai-bingkai tua
dari cermin omong kosong”
Karena muak itulah aku meninggalkan acara. Dalam perjalanan pulang, Hamcrut
meng-sms-ku: Kau di mana, Ndog? Aku jawab: Pulang. Telingaku gatal mendengar
tembang kenangan tentang Andi Munadjat.
Ya, acara malam itu seharusnya bertajuk: Persembahan Dari Teman-teman
Seangkatan, dengan judul kecil: Tembang Kenangan untuk Andi Munadjat! Walau pun
begitu, kupikir Andi Munadjat termasuk orang yang beruntung, Mengapa? Sebab
masih ada Hamcrut yang mau bersusah-payah menggagas dan mengadakan acara khusus
untuk mengenang sosoknya. Yang tidak beruntung mungkin saja orang-orang semacam
Taufik “Lombok” dan Sadam Husain, yang kepergiannya berlalu begitu saja tanpa
ada tembang kenangan ataupun buku untuk mengenang mereka—sebab mereka bukanlah
“angkatan kami”.
Pemula yang Samar-Samar
Andi Munadjat lahir pada tanggal 1 Nopember 1966. Dia terdaftar sebagai
mahasiswa Fakultas Filsafat UGM angkatan 1986 dengan NIM (Nomor Induk
Mahasiswa) 1785/FI. Bagi mahasiswa Filsafat UGM yang masuk mulai tahun 1993,
sosok Munadjat tidak terlalu dikenal. Tulisan Eka Kurniawan menggambarkan hal
itu:
“Satu-satunya ingatan samar saya hanyalah mengenai seorang lelaki asing yang
tiba-tiba masuk ke kantor Pijar. Itu nama majalah mahasiswa Fakultas Filsafat,
tempat saya berakti[v]itas semasa kuliah. Tiba-tiba, ada lelaki asing masuk dan
tidur di ruangan Pijar. Ia tak bicara, tidak memperkenalkan diri, dan langsung
tidur di pojok.”
Pada acara tanggal 2 April 2009 di Fakultas Filsafat UGM, Awang bertanya
padaku, “Angkatan berapa, Mas?”
“1996,” jawabku.
Dengan yakin Awang berkata, “Pasti tak kenal Andi Munadjat.”
Mendengar keyakinan Awang itu, aku tertawa geli dalam hati. Secara fisik, aku
memang tak pernah bersitatap muka dengan Munadjat. Tapi sejak bergabung dalam
dunia gerakan, aku selalu berusaha mencari tahu siapa sebenarnya Andi Munadjat.
Faisol Reza, Nining, Nur Hiqmah, Hamcrut, Aris Botol, Pius Sapi, Kiswondo
adalah orang-orang yang pernah kutanyai tentang sosok Munadjat yang misterius.
Pun, pada Anom, ketika aku bertemu dengannya di Jakarta. Sebagai jawaban, Anom
berkata bahwa Andi Munadjat adalah seorang organisator andal yang mendapat
julukan “5 hari 5 kota”. Dari beberapa penjelasan itu, walaupun masih samar-samar,
aku telah berhasil merekontruksikan sosok Pak Item—demikian Andi Munadjat
dipanggil oleh kawan-kawannya—dalam benakku.
Hal lain yang membuatku ingin tahu lebih banyak tentang aktivis yang satu ini
adalah pesan moral yang ingin disampaikannya. Dia berpesan: sebagai aktivis,
seseorang haruslah sederhana, lurus dan egaliter (menjauhi feodalisme). Ketika
pesan moral itu kukonfirmasi ke Hamcrut, dia membenarkan. “Memang itulah sikap
moral yang ingin dibangun oleh gerakan di Filsafat,” begitu katanya. Dan ketika
kucek sekali lagi pada Aris Botol, dia juga mengiyakan.
Problem feodalisme ini (atau Bapakisme, menurut istilahku) memang selalu
menjadi belukar dalam gerakan. Dan tentang hal tersebut, Andi Munadjat telah
berpikir jauh ke depan; bahwa apabila feodalisme telah mengakar, maka sebuah
gerakan tak akan pernah bisa membesar. Namun saying, pesan yang digariskan oleh
Andi Munadjat justru hanya menjadi pajangan indah di tembok gerakan kiri,
karena setelah dia “menghilang”, justru feodalisme yang mewarnai gerakan kiri,
yaitu menguatnya “bapakisme”.
Disingkirkan dan Dikucilkan
Bagi aktivis yang bergerak antara kurun pertengahan 80-an sampai 90-an, sosok
Andi Munadjat tentu taka sing lagi. Sejak mula kuliah, Andi Munadjat sudah
menceburkan diri berjuang untuk melawan kediktoran Orba. Dia ke sana kemari
membangun kantong-kantong perlawanan. Embrio gerakan berlawan pun semakin
membesar. Mengkristal dalam ujud SMID. Namun, sosok yang begitu dikenal ini
tiba-tiba raib. Ketika kongres SMID di Jakarta sekitar pertengahan 1994, Andi
Munadjat tak terlihat. Sejak saat itu, angkatan kemudian tak pernah lagi tahu
siapa sebenarnya dirinya. Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan besar. Kenapa
dia tak datang ke konggres SMID? Apa yang terjadi dengannya?
Sebelum dia benar-benar menghilang pasca kongres SMID tahun 1994, Andi Munadjat
sempat berbicang dengan Hamcrut di selasar ruang dosen kampus Fakultas Filsafat
UGM, tak jauh dari toilet. Pada Hamcrut, dia bertutur kurang-lebih begini:
“Biar saja statusku, Zah. Toh, aku bisa berjuang di medan yang lain.”
Lewat kalimat “Biar saja statusku, Zah”, yang diucapkan Andi Munadjat kepada
Hamcrut di atas, terkesan bahwa sejak saat itu (sebelum kongres SMID 1994)
“statusnya” dalam gerakan sudah bermasalah. Inilah yang membuat beberapa orang,
termasuk Hamcrut, yakin kalau Andi Munadjat sudah disingkirkan sebelum konggres
SMID 1994. Keyakinan Hamcrut diperkuat oleh penuturan Anom yang menyatakan
bahwa dalam persiapan pra kongres SMID (termasuk dalam setting penentuan
pengurus SMID), Andi Munadjat sudah tak tampak.
Penyingkiran Andi Munadjat sebelum kongres SMID 1994 menjadi jawaban mengapa
dia tak hadir dalam pertemuan tersebut. Dan, setelah Andi Munadjat
disingkirkan, muncul sosok Munif Laredo dan Nando Manulang sebagai ketua dan
sekjen SMID.
Kepergian Andi Munadjat memang begitu tiba-tiba. Ibarat purnama yang ditelan
selapis mendung pekat musim hujan. Dia seolah pergi begitu saja, meninggalkan
kerja keras yang telah dimulainya, seolah lupa bahwa ia telah memulai sesuatu.
Dia seolah ditelan bumi. Terakhir kali wawancaranya dimuat di Majalah Linus
edisi Oktober 1994. Setelah itu tak terdengar kabar beritanya.
Tentu pertanyaan yang harus dijawab: Mengapa dia disingkirkan?
Dalam sebuah acara peringatan kepergian Andi Munadjat di Jakarta, Weby Warow,
sambil menangis sesengukan berkata, “Kalau saja Andi Munadjat tak dipecat, maka
PRD pasti masih utuh.” Maka, ketika acara yang sama dilakukan di Jogja, aku
menunggu penjelasan tambahan tentang mengapa Andi Munadjat dipecat, dan kapan.
Sayang, Kak Begy—sebagai sahabat karib Weby Warow—tak menyebutkan soal itu
dalam acara di Jogja. Padahal, hal itulah yang sebenarnya sangat kutunggu
sehingga aku rela meninggalkan lereng Merapi. Anehnya lagi, Kak Begy justru
menceritakan persoalan remeh temeh yang tak perlu, semisal, kenangannya saat
bersama Andi Munadjat melakukan wawancara dengan pengamat politik “bule” di
Hotel Ambarukmo. Persoalan pokok tentang mengapa Andi Munadjat dipecat dan
menghilang tak sepatah kata pun terlontar dari bibir Kak Begy. Aku tak tahu pasti
apa yang terjadi dengan Kak Beggy malam itu. Dia kelihatan sedikit resah dan
gugup. Seolah ada kata-kata yang tertahan di ujung tenggorokannya.
Ah, Kak Begy. Mengapa kau tak mau jujur tentang zamanmu sendiri? Padahal agar
kau tahu, malam itu aku menaruh harapan yang besar padamu, jika saja kau
memilih menjadi seorang Mas Marco yang berani mengatakan dengan jernih siapa
sebenarnya Pemula itu— yang kemudian disingkirkan dari pentas sejarah. Atau
apakah kau termasuk tipe manusia Jawa yang penuh ewuh pa kewuh?
Kak Begy memang tidak mempunyai kualitas seperti Mas Marco. Rupanya malam itu
aku terlalu berharap terlalu besar padanya. Sebagi aktivis LSM berbakat dan
staf ahli Menkes mungkin dia merasa tak perlu membuka sejarah masa silam,
karena bisa jadi ketika sejarah itu terkuak justru akan membuka aibnya sendiri.
Oleh karena itu, sampai kini ia tetep kekeh tak mau membuka tabir penyingkiran
itu. Dia lebih memilih menjadi Rinkes yang suka menggelapkan sejarah daripada
menjadi Mas Marco yang bicara apa adanya.
Malam itu, Awang pun, yang mengaku “kawan dekat” Andi Munadjat, bersikap setali
tiga uang dengan Kak Begy. Ia tidak menyingung soal pemecatan Munadjat,
sebaliknya justru bercerita tentang sebuah “tugas” yang diberikan padanya untuk
menjemput Andi Munadjat di Kalimantan. Sebuah tugas yang gagal dilaksanakannya
karena Andi Munadjat tak mau meninggalkan tanah Boreo itu. Cerita Awang ini
sama persis dengan penuturan Jayadi ketika terlibat obrolan denganku. Awang
juga tak menjelaskan lebih terperinci kenapa setelah “ tugas” itu dia justru
malah tersingkir dari pentas gerakan kiri. Entahlah, apakah Awang memang
benar-benar buta masalah itu atau malah pura-pura tidak tahu. Mungkin hanya
seekor anjing yang sedang bermalas-malasan di sudut utara Fakultas Filsafat UGM
malam itu yang bisa menjawabnya.
Sebelum acara berlangsung, sempat kusorongkan sebuah tanya pada Hamcrut, “Crut,
setelah Andi Munadjat menghilang, apakah ada kesan dia memang disingkirkan dan
dikucilkan?” Pertanyaan ini sengaja kuajukan karena sebelum acara Hamcrut
pernah mengatakan lewat sms kalau Andi Munadjat bukan dilupakan, melainkan
DI-SING-KIR-KAN! Dari kata-katanya, Hamcrut begitu yakin kalau Andi Munadjat
memang disingkirkan.
“Terlepas dari kendala komunikasi pada waktu itu yang memang belum secanggih
sekarang, “jawab Hamcrut, “memang ada kesan dia disingkirkan dan dikucilkan.”
Sejak itu, berdasarkan penuturan Hamcrut, keberadaan Andi Munadjat tidak lagi
diketahui secara pasti. Beritanya simpang siur. Ada yang mengatakan ia sedang
berada di tempat A, sementara yang lain mengatakan ia berada di tempat B, C dan
entah di mana lagi. Sosok yang selalu tampil bersahaja dan low profile itu
telah berubah menjadi misteri.
Zul Amrozi/ Ojik (Ketua SMID Jogja), dalam tulisannya yang berjudul Andi
Manujat Yang Ku Kenal, juga menyatakan bahwa ia tak mengetahui keberadaan Andi
Munajat:
“Sesudah Andi membuat laporan muhibah itu, dia kemudian tidak pernah lagi
sempat kembali ke Jetis [.] Ada yang bilang bahwa Andi berada di Kalimantan
karena sedang melakukan pengorganisiran buruh kelapa sawit atau entah apa.”
Keberadaannya barulah terdengar kembali ketika dia melakukan aksi pemogokan
buruh kayu di Kalimantan. Lagi-lagi, berdasarkan penuturan Hamcrut, pemogokan
itu terjadi atas inisiatifnya sendiri, tidak ada hubungannya dengan organisasi.
Pernyataan Hamcrut tersebut juga dikuatkan oleh pernyataan Anom.
Anom bercerita, ketika itu tahun 1995. Ia tengah berada di Jogja, tepatnya
kantor SMID Jogja. Saat itu, ia sempat menerima telepon dari Andi Munadjat,
yang meminta dukungan terhadap aksi buruh yang sedang digalangnya di
Kalimantan. Masih lewat telepon, Munadjat berkata bahwa ia sudah mengirim fax
ke Jakarta, tapi tak ada tanggapan apapun. Cerita Anom tersebut mengesankan
satu hal; tak ada lagi komunikasi dan koordinasi antara Andi Munadjat dan
organisasi yang dulu dirintisnya. Tidak adanya respon tersebut menunjukkan Andi
Munadjat tak dianggap lagi. Dia sudah dilupakan dari pentas gerakan kiri.
Begitulah Pemula itu disingkirkan dan dikucilkan. Namun sampai sekarang belum
terjawab mengapa Andi Munadjat disingkirkan. Apakah agar tak ada “dua matahari”
dalam tubuh gerakan kiri waktu itu? Apakah agar “klik Jakarta” bisa leluasa
menentukan arah gerakan kiri? Atau oleh sebab-sebab yang lain?
Dongeng Berkalung Dusta
Dongeng “versi resmi” tentang proses menghilangnya Andi Munadjat adalah sebagai
berikut:
Andi Munadjat ditangkap di Banjarmasin tahun 1995. Ketika ditangkap dia membawa
dokumen-dokumen penting. Sebagai kompesasi atas penangkapan tersebut, Andi
Munadjat diminta menyusup ke gerakan kiri. Dia kemudian pergi ke Jakarta untuk
melapor pada organisasi, kemudian dia diputuskan keluar dari organisasinya.
Setelah itu, dia konon membuat restoran di Pangandaran.
Benarkah dongeng tersebut adalah sebuah kebenaran?Namun bagaimana jika dongeng
itu justru berkalung dusta dengan tujuan sebagai usaha cuci tangan?
Selama bertahun-tahun dongeng itu dianggap sebagai kebenaran. Agar semakin kuat
maka ketika di Jakarta diadakan acara untuk mengenang Andi Munadjat, dongeng
itu dimunculkan lagi. Karena dongeng sudah dianggap sebagai kebenaran, maka
daya kritispun menjadi tumpul. Tak mengherankan seorang Wibowo Arif (Jemek)
menerima dongeng itu begitu saja. Pada Jemek kemudian kukirimkan sms: Kau ini
orang Filsafat kenapa bisa dibodoh orang UI. Dia tak memberikan jawaban.
Mungkin malu.
Di Jogja, oleh sebagian kawan, dongeng itu sekarang dianggap sebagai dagelan.
Tak ubahnya dagelan para caleg dan partai. Sementara seorang kawan dari Jakarta
berkomentar lebih sadis: Hah, itu hanya untuk cuci tangan!
Ada benarnya kalau dongeng itu diramu sebagai upaya untuk cuci tangan. Dongeng
itu mengandaikan tidak ada yang tahu kalau Andi Munadjat sudah disingkirkan
sejak 1994. Padahal serapi-rapinya kebusukan ditutup-tutupi, waktu akan
membukanya.
Dongeng itu memang penuh kejanggalan. Pertama, dongeng itu berandai-andai
setelah Andi Munadjat menghilang masih ada koordinasi antara dirinya dan
organisasi. Hamcrut menekankan lewat sms: Andi bergerak di Kalimantan bukan
atas tugas organisasi, tapi kemauan dia setelah ‘menghilang’. Kedua, dongeng
itu tampak konyol. Mengapa orang yang jujur justru dikeluarkan dari organisasi?
Ketiga, yang terpenting, dongeng itu tak menjawab pertanyaan mengapa Andi
Munadjat tak datang ke kongres SMID. Andi Munadjat yang “menghilang” pra
kongres SMID pada tahun 1994, sedangkan pengakapan itu terjadi pada tahun 1995.
Dari semua kekoyolan dan ketidak masuk akalan itu, dongeng tersebut jelas
mengada-mengada; persis dongeng untuk meninak bobokkan agar orang tak kritis
pada sebuah epik sejarah.
Apa gunanya dongeng itu perlu diciptakan?
Tujuannya utama jelas untuk menutupi jejak “Si Penipu”. Sebagai orang yang
sejak mula berada di dunia aktivis, Andi Munadjat tentu banyak mengetahui. Oleh
karena itu, gerak Andi Munadjat harus dibatasi agar tak banyak ngomong setelah
dia disingkirkan. Maka, perlu dibuat dongeng yang mengesankan seolah-olah Andi
Munadjat hendak dijadikan “agen” oleh rezim. Dikesankan pula setelah itu
demoralisasi dengan membuka restoran di Pangandaran. Tapi Banjarmasin Post
menelanjangi dongeng itu dengan mencacat kalau Andi Munadjat sebelum ajal
menjemput masih berlawan.
Tujuan lain dari dongeng tersebut adalah untuk “bersih-bersih” diri. Agar
orang-orang yang menyingkirkan Andi Munadjat tersebut merasa “tidak terlalu berdosa”
atas apa yang telah mereka lakukan di masa lalu. Oleh karena itu, dibuatlah
alasan pembenar kenapa Andi Munadjat disingkirkan. Alasan itu berupa Andi
Munadjat akan dijadikan “agen” oleh kekuasaan waktu itu. Sehingga sah kalau
Andi Munadjat kemudian disingkirkan. Sekarang, di Jogja timbul pertanyaan:
kalaupun dongeng itu benar, siapa sebanarnya yang menjadi “agen”, yang
“dilapori” atau “yang melapor”?
Begitulah dongeng berkalung dusta itu sampai sekarang terus-menerus
direproduksi agar muncul sebagai kebenaran dan mengaburkan peristiwa yang
sebenarnya terjadi.
Hendak Dijadikan Berhala
Tanggal 13 Desember 1918, Mas Marco menulis di Koran Djawa Iswara halaman 1,
kolom 1-2, tentang kematian Tirto Adhi Soerjo. Tanggal 27 Maret 2009, Koran
Banjarmasin Post menuliskan berita kematian Andi Munadjat. Kematian kedua
Pemula ini sama-sama diketahui baik oleh kawan maupun lawannya melalui surat
kabar. Apakah takdir sejarah seorang Pemula memang sudah seperti itu? Entahlah.
Belum kutemukan jawabannya.
Tirto Adhi Soerjo meninggal dalam kondisi patah arang; terasing dari
kawan-kawan seperjuanganya dan terkucil di pojok sepi. Namun ia masih
beruntung. Ada Mas Marco dan Pramoedya yang mengangkat kembali sejarahnya.
Serupa tapi tak sama, Andi Munadjat pun mengalaminya. Ia yang begitu populer
awal tahun 90-an tiba-tiba raib. Kehadirannya kembali barulah diketahui melalui
sebuah berita yang ditulis Banjarmasin Post tentang kematiannya. Mengapa ironi
ini kembali terulang?
Setelah Andi Munadjat menghilang, memang tak ada lagi yang mengubris
keberadaannya. Kalau pun dia melakukan aktivitas politik, semua itu atas
inisiatifnya sendiri. Keberadaannya dianggap tiada. Sejarahnya pun tak pernah
disebut dengan jelas, bahkan ketika membicarakan sejarah gerakan perlawanan
terhadap Soeharto. Ketika diklat Pijar pasca 1996, misalnya, nama Andi Munadjat
hanya disebut sebagai pendiri dan PU(Pimpinan Umum) Pijar. Wajarlah jika
generasi Pijar angkatan 1996 hingga angkatan paling anyar tak mengenal
sosoknya, apalagi di luar itu (misalnya di LMND, FNPBI, SMRK dan lainnya).
Sosok Andi Munadjat benar-benar ditenggelamkan.
Pernah suatu ketika, pada tahun 1998, Andi Munadjat datang kembali ke Filsafat.
Dia menuturkan pada Kiswondo, yang menemuinya saat itu, kalau dirinya masih
dikejar-kejar. Dia juga bercerita tentang pengusiran dirinya dari Kalimantan
oleh aparat keamanan di sana (beberapa tentara bersenjata mengantar
pengusirannya hingga naik kapal yang akan membawanya ke Jawa). Berdasarkan
penuturan Kiswondo menunjukkan Andi Munadjat pada periode 1995-1998 masih
melakukan kerja-kerja perlawanan. Itulah cerita terakhir tentang Andi Munadjat
yang sempat terdengar, sebelum kemudian sosoknya muncul kembali lewat goresan
tinta dalam halaman koran Banjarmasin Post yang mengabarkan bahwa dia telah pergi
untuk selama-lamanya.
Sekarang, setelah kematiannya, Andi Munadjat hendak dijadikan berhala oleh
angkatannya yang sekarang sudah membusuk. Pada acara di Jogja malam itu, Yuli
Eko Nugroho, dengan lantang memuji-memuji Andi Munadjat setinggi langit (sampai
langit tingkat 8). Padahal ketika Andi Munadjat masih bergiat membangun gerakan
kiri, dia salah satu yang membenci Andi Munadjat sampai tulang sumsum. Tingkah
laku “omong kosong” seperti yang ditunjukkan Yuli Eko Nugroho memang sungguh
memuakkan. Pujian tak akan menggelembungkan makna Andi Munadjat. Pun, caci maki
tak akan mengerdilkan peranannya. Lantas untuk omong kosong itu terus-menerus
dimamah biak?
Setelah kematiannya, konon kabarnya sejarah Andi Munadjat akan dituliskan.
Semua yang berkaitan dengan Andi Munadjat dikumpulkan. Segala sesuatu tentang
Andi Munadjat yang dulu dianggap tidak penting, sekarang menjadi berharga
(kalau perlu celana dalam Andi Munadjat yang dulu dipakai dalam aksi-aksi
penting dicari, setelah itu dipamerkan keliling kota dengan tajuk: Pameran
celana dalam aktivis yang lurus dan jujur. Fotonya sekarang bertebaran di Kitab
Tampang (Face Book). Diserukan pada siapa saja yang mengetahui informasi
tentang Andi Munadjat untuk angkat bicara.
Begitulah pondasi berhala bernama Andi Munadjat mulai dibangun. Berhala itu
memang perlu dibangun. Tujuanya agar angkatan Andi Munadjat yang sekarang telah
busuk bisa tertolong. Paling tidak mereka bisa berkata: Kami memang telah
busuk. Ada di antara kami yang dekat dengan Bais. Ada di antara kami yang dekat
dengan jendral penculik. Ada di antara kami jadi gigolo politik. Tapi tunggu
dulu. Lihatlah kawan kami, Andi Munadjat. Dia aktivis yang lurus dan jujur.
Lihat saja. Sampai ruhnya meninggalkan raga dia masih setia dengan
cita-citanya, membela yang tertindas. Oleh karena itu, namanya akan kami pigura
dengan pigura bersepuh emas. Jejak langkahnya akan kami abadikan dengan buku
yang penuh puja-puji dan karangan bunga anggrek putih.
Selama ini, selain para raja, Orde Baru-lah yang paling gemar membuat berhala.
Berhala-berhala Orba bisa berwujud patung, monumen sampai buku. Tujuanya, agar
sejarah kelam mereka bisa tertutupi dengan berhala itu. Sekarang, rupanya
orang-orang yang seangkatan dengan Andi Munadjat juga memerlukan berhala. Tentu
saja berhala itu akan mereka poles dengan indah dan penuh kemegahan agar semua
orang bisa melihat “pancaran suci” sosok Santo Andi Munadjat, sementara
kawan-kawan angkatanya yang telah busuk berdiri di belakangnya. Aih. Aih….
Entah mengapa. Sosok Andi Munadjat tiba-tiba berubah menjadi Soe Hok Gie. Dia
dibutuhkan agar angkatannya yang kini penuh belang bonteng, terselamatkan.
Kita tunggu bagaimana ujud berhala itu akan dibentuk dan diramu.
Penutup
Sekedar pertanyaan penutup:
Apakah sejarah “versi Jakarta” yang akan ditulis Wilson dkk akan menempatan
Andi Munadjat sebagaimana tempatnya? Atau, apakah sejarah yang disusun itu
hanya sejarah basa-basi saja; sejarah tipu muslihat untuk menyelamatkan sebuah
angkatan yang sekarang telah membusuk; sejarah amputasi, memotong sana-sani
bagian yang akan mengungkap kebobrokan sebuah angkatan?
Lereng Merapi, 5 April 2009
@Ragil
(Juru Tulis Pinggiran/Penggemar Valentino Rosi dan Maradona)
(dicuri dari http://www.facebook.com/note.php?note_id=83650773160&ref=mf)
Andi Munajat yang Ku Kenal
Monday,
March 30, 2009 at 3:58am
oleh : Yul Amrozi
Pertengahan tahun 92, di Jetis Cokrodiningratan Jogjakarta aku bertemu dengan
Andi Munajat. Namanya jelas, Andi Munajat dengan wajah yang terlihat kuyu dia
adalah laki-laki bermata tajam dengan kulit gelap dan aksen sunda kental dari
mulutnya, saat itu dia adalah penghuni kamar ketiga dari depan bersebelahan dengan
kamar Johnsony Tobing. Kami adalah penghuni rumah itu. Rumah itu besar dengan
luas bangunan 8 x 15 m2, Cokrodiningratan JT II 217 (nomor bisa salah) dengan 6
kamar dan satu pavilyun.
Rumah itu tempat kami menimba ilmu dan meretas jalan hidup, kami adalah satu
Group diskusi mahasiswa yang bernama Keluarga Mahasiswa. Saat aku pertama di
sana aku tidak cukup tahu bahwa Keluarga Mahasiswa adalah salah satu group
gerakan mahasiswa yang merintis perlawanan terhadap rejim Suharto sejak akhir
80-an hingga pertengahan 90-an. Yang kutahu adalah Andi Munajat adalah salah
satu penghuni tetap Jetis Cokrodiningratan dan hampir dipastikan dia sering
berada di sana.
Selain Andi Munajat, di rumah itu tinggal juga Johnsony Tobing, yang belakangan
baru dikenal sebagai pencipta lagu pergerakan mahasiswa Darah Juang. Dengan
rambut keriting gondrong ala Iwan Fals dia sering memainkan gitar listrik di
kamarnya yang jarang dia buka pintunya. Hanya Andi Munajat yang kamarnya tidak
pernah dia tutup, mungkin karena memang kamarnya hanya berisi kasur butut dan
satu lemari plastik tempat pakaian Andi. Kamar Andi hanya akan dia tutup kalau
pacar dia, Kiki, datang. Tentu saja kami penghuni rumah Jetis maklum dengan
kedatangan orang spesial Andi dan sudah dipastikan kami para penghuni tidak
akan mengganggu Andi jika saat-saat berharga itu datang.
Di belakang kamar Andi Munajat adalah bekas dapur yang oleh pemilik rumah
diluaskan dengan tiga kamar tambahan dengan dua kamar mandi dan dua toilet.
Perlu diingat bahwa kamar mandi maupun toilet hanya ditutup dengan lembaran
karpet plastik yang dulu berwarna merah. Di depan kamar mandi terdapat satu
kompor minyak tanah butut dengan sumbu yang nyaris selalu tandas gosong karena
anak-anak biasa memasak di sana tanpa pernah rajin memeriksa minyaknya. Sering
Si Sugeng Kecil, anak STM Jetis yang kos juga di sana ketiban sial harus
memperbaiki sumbu kompor yang dengan semena-mena selalu dipaksa memasak air
untuk dibikin kopi bagi para tukang diskusi seperti Andi Munajat, Sugeng
Bahagijo, Satya Widodo, Ngarto Februana, Hari Subagyo, Budiman Sujatimiko, Weby
Warrow, dan Dadang Yuliantoro (dia sudah sangat jarang kelihatan waktu aku
kenal Andi di Jetis).
Aku beruntung bisa menempati satu kamar belakang bersama dengan Sugeng Kecil,
di sana aku bisa menitipkan barang-barangku yang juga tidak seberapa. Di
sebelah kamarku tinggal Fajar Pratikto, anak Sejarah UGM yang sama-sama berasal
dari kampungku Brebes. Di sebelahnya lagi tinggal Eddy Haryadi, dengan alis dan
kumis tebal, tubuh cukup besar dengan kulit terang mirip keturunan cina, dia
jarang sekali memakai baju atas, dalam keseharian dia biasanya hanya memakai
celana panjang di bawah lutut berwarna hijau tentara yang entah sudah berapa
lama tidak pernah dia cuci.
Mereka semua adalah mahasisa UGM, yang kebanyakan berasal dari fakultas
Filsafat dan Sastra. Aku, mahasiswa baru 92 yang datang dengan lugu sepertinya
saat ini harus merasa beruntung karena bisa bertemu dengan mahluk-mahluk kumuh
dan jorok tetapi otaknya terang benderang seperti matahari pagi. Untung saja
aku juga mahluk yang jorok dan tahan kotor hahaha perpaduan yang pas dengan
orang-orang jarang mandi tetapi mulutnya bau asap rokok . Andi Munajat adalah
salah satunya.
Dia dengan sarung putih tenun yang lusuh dan hampir-hampir berwarna krem karena
jarang dicuci, dengan bau mirip jok becak, dia biasa duduk di karpet ruang
tengah berwarna hijau depan kamarnya menghadap ke sebuah meja kecil tanpa TV
yang berserakan koran-koran lokal seperti Bernas dan Kedaulatan Rakyat. Yang
tidak pernah lupa di karpet itu adalah asbak yang selalu penuh dan gelas-gelas
kopi bekas diminum yang selalu tidak pernah diurus sisa-sisa pembuangannya. Di
sana berlaku hukum siapa yang ingin minum harap mencuci gelas yang masih ada,
setelah minum biarkan saja toh nanti juga akan dicuci sama yang butuh.
Andi Munajat boleh dibilang adalah penghuni tetap Karpet Hijau, di karpet yang
penuh dengan noda kopi ini dia biasa mengajak bicara penghuni Jetis ataupun
tamu-tamu yang kerap kali hilir mudik ke tempat itu. Aku adalah sasaran empuk
Andi Munajat, dia tahu betul bahwa aku adalah seorang yang datang ke Jogja
dengan latar belakang Islam perkotaan yang kuat. Aku masih ingat bahwa aku
membawa satu kotak Indomie yang penuh dengan majalah Al Muslimun (sekarang gak
tahu masih ada atau tidak, mirip Sabili saat ini) saat aku pertama datang ke
Jogja. Andi Munajat tahu betul bahwa dalam otakku telah terpatri dengan kuat
ideologi Islam pantai utara Jawa yang identik dengan kalangan Muhammadiyah.
Andi Munajat dengan mata sayu kemerah-merahan akan selalu mengganggu aku dengan
berbagai cara dia bertanya atau berbagai argumentasi dia yang akan selalu
membuat aku pusing dan terpaksa berpikir dan membaca banyak.
Itulah Andi Munajat, mungkin kalau orang pernah membaca riwayat Socrates, Andi
Munajat adalah Socrates dari Pangandaran, dia akan bertanya padaku apa yang
disebut dengan keadilan, bagaimana dengan kepedulian, apakah kemiskinan itu
takdir, bagaimana dengan ketidakadilan, apakah pendidikan saat ini sudah
membawa pada kemajuan, apakah pendidikan bisa membebaskan, bagaimana sosok
Muhammad dalam islam menghadapi penindasan, bagaimana dengan ide-ide perjuangan
keadilan, apakah sejarah saat ini memang benar-benar menceritakan hal yang
sesungguhnya, bagaimana dengan tragedi politik dalam sejarah, pendek kata Andi
Munajat selalu tahu bagaimana cara mengajukan pertanyaan yang tepat bagi
orang-orang dengan isi kepala yang berbeda-beda.
Dalam hatiku kubilang, sialan, anjing, si Andi ini selalu saja membuat aku
tidak nyaman, membuat aku berpikir keras sampai aku mencret-mencret. Belakangan
baru aku tahu bahwa setiap orang yang sudah melewati fase "Andi
Munajat" selalu mendapatkan ritual mencret-mencret itu. Mereka yang
mungkin satu angkatan mencret itu adalah Danuri Susetro, Suyanto, dan Nuraini.
Oh ya saking lihainya Andi Munajat dalam mengajak diskusi yang luar biasa
"menyakitkan" kalau dalam istilahku, dia bahkan punya seorang
"pacar' tetap dalam diskusi yang selalu berkunjung ke Jetis
Cokrodiningratan hanya untuk bertemu dengan Andi. Dia bernama Ipun, entah
sekarang dia berada di mana, aktivis kalau tidak salah dari Janabadra atau
Uncok aku tidak tahu pasti. Dia selalu berkunjung minimal seminggu sekali dan
pasti menanyakan keberadaan Andi Munajat untuk bertanya dan bertanya tentang
hal-hal yang membuat dia resah sampai si Andi perlu membuat permintaan khusus
buat kawan-kawan di Jetis untuk membohongi Ipun bahwa Andi tidak ada di tempat
karena Andi sudah tidak tahan lagi dengan keluhan dan pertanyaan-pertanyaan
Ipun yang tatapan matanya melihat Andi seperti Dewa Filsafat.
Tapi harus diakui Andi Munajat adalah pemecah otak, siapa yang tidak terteror
dengan pertanyaan Andi barangkali hanya orang yang benar-benar Bodoh atau
mungkin sama sekali Ignorance. Kata-kata dalam mulutnya seperti tusukan jarum
yang memecah otak, permintaan-permintaan sepelenya akan membuat kau jengkel,
bau badannya membuat kau muak, tapi kegigihannya dalam diskusi dan kemudian
dibuktikan dalam perjuangan gerakan radikal hingga saat ini barangkali tidak
ada tandingannya.
Andi Munajat adalah peretas jalan dan penjahit pola gerakan yang mendirikan
SMID atau SSDI, Andi Munajat dalam muhibah dari kota-kota di Jawa dia bisa
menghubungkan gerakan mahasiswa Jogjakarta, Solo, Semarang, Surabaya dan
Jakarta menjadi cikal bakal berdirinya SMID. Dengan gigihnya dia mengalahkan
macan-macan forum di kota-kota itu, dengan perkawanannya dia membangkitkan
semangat kolektif di masing-masing kota, dengan kegigihan dan pengorbanannya
dia mengilhami setiap kawan bahwa perjuangan yang ditempuh memang mengorbankan
semuanya bahkan nyawa.
Militansi, kesabaran intelektual, keuletan, dan disiplin organisasi adalah yang
paling terlihat dalam sosok Andi Munajat di era 90-an awal. Tanyakan pada
aktivis mahasiswa Jogjakarta tahun 90-an mereka pasti tahu seorang Andi Munajat.
Dari Andi Munajat juga aku menerima tips yang mungkin terlalu sederhana pada
waktu itu, dari Andi Munajat aku mengenal dunia komputer, jujur saat itu Andi
Munajat sudah cukup canggih dalam memahami dunia komputer sekalipun dia mungkin
tidak punya skilnya. Andi Munajat bisa menunjukkan padaku tempat-tempat untuk
bisa mencetak komputer dengan harga miring dan kualitas cukup bagus dengan
teknologi komputer terbaru waktu itu. Dari Andi Munajat aku kemudian belajar
sendiri tentang Software-software grafis karena aku ingin membuktikan kepada si
Andi ini bahwa aku bisa menerima petunjuk dari dia.
Satu setengah tahun mungkin aku mengenal Andi Munajat, di akhir 93 Andi Munajat
melakukan Muhibah yang kemudian mampu mendirikan SMID dan belakangan PRD.
Sesudah Andi membuat laporan muhibah itu, dia kemudian tidak pernah lagi sempat
kembali ke Jetis ada yang bilang bahwa Andi berada di Kalimantan karena sedang
melakukan pengorganisiran buruh kelapa sawit atau entah apa. Rumah Jetis
kemudian berpindah ke Sendowo FI52, tapi entah kenapa dalam benakku rumah Jetis
adalah rumah Andi Munajat rumah kami Keluarga Mahasiswa yang pernah bermimpi
tentang Indonesia yang lebih berkeadilan.
(dicuri dari http://www.facebook.com/note.php?note_id=76825147570&ref=mf)
Mengais Jejak Langkah Anak Muda Fakultas
Filsafat UGM era 80an
Andi Munajat
Oleh: Arinto Nurcahyono
Andi Munajat. Lalu kita tanyakan pada anak-anak filsafat tahun
80an, Jawabannya akan terucap yach, dia seorang aktivis. Sosok hitam yang
berasal dari daerah yang pernah terkena bencana yakni Pangandaran Ciamis Jawa
Barat. Berbicara sosok aktivis lalu gambaran yang muncul adalah sosok mahasiswa
yang memiliki aras perjuangan.
Pada tahun 1987 saya adalah mahasiswa baru fakultas filsafat UGM, saya masih
ingat pertama kali masuk pas tanggal 17 Agustus 1987. Sebagaimana kegiatan awal
seorang mahasiswa baru adalah diwajibkan mengikuti penataran P4 Pola 100 jam.
Gila 100 jam ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan pada saat itu begitu kuat
sampai pada masuk pada wilayah indoktrinasi pada kalangan mahasiswa. Saya yakin
sang Andi juga mengikutinya. Barangkali memang tidak punya pilihan lain untuk
mengikutinya. Andi sendiri adalah kakak kelasku angkatan 1986. Soal penataran
P4 jadi aku ingat sama mas Herlambang (Kalau ndak salah Ang 85) yang dia selalu
bolong alias tidak mengikuti penuh kegiatan P4, akibatnya dia harus mengulang
lagi dari awal pada tahun berikutnya berbarengan dengan angkatanku.
Suasana pada era itu memang terselimuti oleh kabut kekuasaan yang sentralistik,
penuh dengan aroma nama Soeharto. Dan dari aroma yang berbau menyengat inilah
tumbuh sosok-sosok anak muda yang melalukan perlawanan. Sebagaimana jiwa anak
muda, terlebih lagi mahasiswa. Tampaknya menjadi sebuah keharusan sejarah bahwa
setiap zaman pasti muncul orang-orang yang merasa gerah atas nasib bangsanya.
Kegerahan mereka tak terkecuali hinggap pada sosok –sosk muda mahasiswa
filsafat.
Pertama kali memasuki ruang kuliah fakultas filsafat aku merasakan adanya
suasana keangkeran. Yach gedung pusat yang begitu megah dan konon yang
diarsiteki Soekarno, memang menyambut aku dengan segala kekokohannya, kuliah di
UGM. Sebelum memasuki ruang kuliah aku teringat melewati ruang yang namanya
senat mahasiswa. Mataku disuguhi pemandangan yang terasa aneh bagi mahasiswa
seperti aku, terlihat di dalam ruangan sosok muda berambut gondrong berkaca
mata ala John Lenon yang sedang bermain gitar menyanyikan lagu Leo Kristi. dan
yang khas adalah terlihat kumuh lalu aku bertanya dalam diriku sudah berapa
hari dia ndak mandi. Aku sendiri tidak asing dengan lagu Leo Kristi karena
bapakku punya kasetnya. Spontan saja pikiranku memunculkan pertanyaan inikah
sosok yang namanya mahasiswa filsafat. Hal itu semakin menguatkan pengetahuanku
jangan-jangan kalau sudah kebanyakan memori dijejali filsafat aku aku seperti
dia. Di kemudian hari aku baru tahu sosok itu mahasiswa filsafat bernama Yayan
Sopyan anak muda dari Kerawang Jawa Barat.
Jejak langkah dunia kampus ternyata bukan dunia satu dimensi, Bukan cuma urusan
di bangku kuliah. Kaya warna, kaya pilihan, dan tentu saja kaya akan pemikiran.
Kekayaan pemikiran disamping di ruang kuliah, kudapati ruang lain yang lebih
cair, tak bersekat, dan dipenuhi manusia-manusia petualang. Mengantarkan pada
dunia yang penuh petualangan memberi aku keluasan. Aku menapaki dunia itu
berangkat dari pengenalan rekan-rekanku satu angkatan, dan pada perjalanku
kemudian memberikan wajah diriku yang tidak hanya sosok mahasiswa yang berkutat
pada persoalan kuliah.
Nama rekan seangkatan seperti Lukman cah Delanggu, Si Kriting Item
Genot , Si Grondrong Bogel cah Malang, Satya Widodo, Agung cah Prambanan, dan
Sylvi Maria cewek super aktif mengantar aku masuk pada orang-orang yang
mewarnai kehidupan kampus.
Dalam dimensi ruang dan waktu tepatnya tahun 1987 dalam ruang fakultas filsafat
ada mahasiswa yang bagiku tercatat yang mengawali pengenalanku pada pembelajaran,
bahwa perubahan memiliki faktor kedekatan dengan agen perubahan alias ada
manusia-manusia yang berpikir melampaui zamannya. Pada awal itu nama Edi Heri
(Sekarang Dosen Sospol Unair) Yayan Sopyan, Hegel Tarome, Badrus, Untoro
memberi jejak-jejak pemikiran akan penting arti perubahan. Jangan bicara dulu
soal perubahan kekuasaan. Aroma itu masing terlalu asing. Dunia filsafat adalah
dunia pemikiran, dunia pemikiran harus identik dengan teks. Pengenalan awal
pada karya tulis di luar tugas kuliah diperkenalkan mas Yayan dengan majalah
mahasiswa filsafat Dialektik majalah dengan penampilan yang sangat sederhana
bercover kuning. Tidak banyak yang bisa dicatat untuk dunia pers pada awal aku
masuk kuliah.
Namun pada saat itu ada catatan momen sejarah sangat penting di kampus
filsafatku. Dimotori mas Edi Heri dengan pemikiran akan kesadaran bahwa
mahasiswa memiliki HAK. Untuk mengaktulisasikan akan kesadaran hak yang
dimiliki setiap mahasiswa maka perlu ada wadah yang dijadikan kartasis jika ada
hak-hak yang dilanggar. Maka dibentuklah Biro Pembelaan Hak-hak Mahasiswa
(BPHM). Berangkat dari wadah inilah ada momen sejarah yang dalam dimensi
kenormalan tidak mungkin terjadi yakni “Mahasiswa Mengadili Dosen”. Kejadian
ini dipicu ketika temanku Sylvi Maria Watania pada kuliah Logika 1 yang diampu
oleh Drs Ary Sukowati diposisikan tidak sebagaimana mestinya. Ucapan-ucapan
selalu bersifat menyudutkan. Sebagai salah satu faktor yang dialami oleh Sylvi
inilah maka dengan upaya negoisasi dengan pimpinan fakultas dilakukan. Sampai
pada akhirnya digelarlah pengadilan mahasiswa yang dikomandoi Edi Heri
menghadapkan Dosen Ary Sukowati. Hasil yang mencengangkan sang dosen disuruh
menandatangani semacam surat yang intinya bahwa sang dosen tidak akan melalukan
lagi hal-hal yang menyangkut pelanggaran hak-hak mahasiswa.
Awalnya kejadian ini hanya diketahui kalangan dalam fakultas filsafat, namun
bisa menjadi geger sejagat UGM ketika diulas oleh Majalah Balairung. Momen
kejadian ini bagiku sangat memiliki nilai sejarah dunia kemahasiswaan, dan
terasa tidak mungkin terjadi di dunia mahasiswa Indonesia dimanapun dan
kapanpun juga. Dasyat, tidak ada kekerasan, tidak berdasarkan suka atau tidak
suka, dan terselesaikan dalam suasana yang mencerminkan dunia yang beradab,
yakni dunia dialog.
Memasuki dunia pergerakan mahasiswa bagiku tercatat dimulai pada saat memasuki
pers mahasiswa fakultas filsafat. Seperi biasa ada penjaringan bagi mahasiswa
yang ingin terjun, aku ditanyai soal mengapa dan bagaimana soal pers mahasiswa
oleh mas yayan. Selanjutnya untuk mengarah pada dunia pers maka dilakukan
pendidikan dasar jurnalistik. Pendidikan sendiri dilakukan di sebuah wisma di
Kaliurang. Orang – orang yang berkompeten memberikan pelatihan. Diundanglah
nama-nama senior-senior di dunia pers yang berasal dari alumni fak filsafat UGM
sendiri. Memang tradisi dunia pers dengan fakultas filsafat memang melahirkan
para jurnalis handal. Pada waktu itu kami para peserta dibekali oleh Mayong
Surya Leksono dari Intisari, Mas Faisal dari Harian Pelita dan tokoh pers UGM
pada saat itu yakni pemred Majalah Balairung M Thoriq.
Dari situlah aku mulai intens dengan dunia diskusi, bertemu orang-orang yang
dikatakan sebagai aktivis. Memasuki perjalanan waktu maka memasuki dunia yang
semakin bertambah wawasan, bertambah agen dimana orang-orang yang berpetualang
dalam kancah pemikiran maupun pergerakan dilekatkan oleh magnet kesadaran bahwa
dunia mahasiswa bukan hanya dunia ruang kuliah.
Memasuki tahun 88 muncul manusia-manusia pemberontak yang lebih berenergi. Jika
ditilik dari dimensi waktu mereka-mereka lahir dari angkatan 1986, tercatat
nama Sugeng Bahagijo, John Soni Tobing, Andi Munajat, Webi Warow. Dari mereka
inilah dimulainya wajah pergerakan mahasiswa yang lebih berenergi, lebih
memberikan wajah yang jelas apa artinya perubahan, artinya pergerakan dan
artinya perlawanan.
Aroma yang lebih berenergi, memberikan kejelasan artinya perubahan, saya
menempatkan pada sosok Sugeng sebagai motor konseptor, dan lebih terkuatkan
pada saat dia menjadi Ketua Senat Mahasiswa Periode 1987-1989.
Pada era Sugeng, UGM dan juga Universitas di Indonesia pada waktu itu tidak
mengenal adanya Senat Mahasiswa Universitas dan sekarang dikenal dgn nama BEM.
Pada waktu itu aturan negara mengharamkannya, pengharaman itu dikenal dengan NKK/BKK.
Dari ruang senat mahasiswa fakultas filsafat itulah pengharaman itu ingin
didobrak. Maka dimulailah menyatukan dalam gerak wadah dengan merangkul semua
fakultas yang ada di UGM.
Diawali dengan persiapan menyambut kedatangan mahasiswa angkatan 1989, dibentuklah
panitia yang menghimpun semua fakuktas. Dibuatlah buku saku semacam buku
sambutan mahasiswa baru. Soal buku ini ada cerita yang bagi saya sebagai perang
perebutan pengaruh, perang ideologis. Mohon dimahfum fakultas filsafat
dibandingkan dengan fakultas lain di UGM keilmuwannya mengantarkan mahasiswanya
untuk berpikir radikal, bebas, dan tidak bersekat.
Senat Mahasiswa Filsafat pada era Sugeng adalah Senat yang meyakini bahwa dunia
kampus harus bersifat independen. Pun ketua senatnya haruslah dari kalangan
independen bukan yang memiliki bendera. Bendera di sini adalah organisasi
mahasiswa intra kampus, baik itu berdasarkan agama yakni HMI, ikatan mahasiswa
berbendera NU, IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) atau GMKI maupun berbendera
Nasionalis GMNI.
Keyakinan itu memang berhasil di fak filsafat, tapi tidak di fakultas lain yang
didominasi oleh HMI. Sehingga dapat dikatakan satu-satunya fakultas di UGM yang
tidak memiliki komisariat HMI hanyalah filsafat. Kembali pada masalah buku tadi
masalah ideologis ini membawa konsekuensi, salah satu artikel dalam buku saku
itu bagi kalangan HMI berbau aroma kiri dan itu harus dihilangkan. Padahal buku
itu sudah dicetak.
Semangat untuk menyatukan pergerakan mahasiswa tetap terus
dilakukan, maka digagaslah pembentukan wadah yang dinamakan Keluarga Mahasiswa
(KM) UGM. Namun untuk urusan ideologis tetap tak terselesaikan. Tetap dalam
kubu yang berbeda. Pertanyaan yang menggelitik lalu apa ideologi rekan-rekan
pergerakan di fakultas filsafat. Awalnya tidak menjadi suatu hal yang penting.
Kegiatan-kegiatan diskusi ngobrol-ngobrol antara kami lebih disemangati
pemikiran-pemikiran filosofis, baik dari segi pemikiran tokoh maupun aliran.
Hal ini juga sangat terwarnai oleh majalah PIJAR majalah mahasiswa fak filsafat
yang dikomandai oleh Yayan Sopyan. Warna filsafat dengan bahasa yang bagi orang
awam sangat membuat kening berkerut mendominasi majalah PIJAR.
Namun perjalanan sebuah pergerakan tentu harus memiliki basis ideologis, ini
mudah dimengeri bahwa perjuangan akan lebih terarah jika dia di topang oleh
garis perjuangan yang jelas. Maka isu-isu kerakyatan menjadi pilihan bagi
aktivis di filsafat pada saat itu .Motornya dikumandangkan dari angkatan 86
misalnya John Soni, Andi Munajat maupun Webi dan sang konseptor Sugeng. Dan isu
kerakyatan melahirkan semangat perlawanan terhadap kekuasaan Soeharto. Maka
pada era 89 mulailah jargon-jargon anti Soeharto mulai dikumandangkan. Dari isu
kerakyatan inilah maka secara teoritis orang menamainya dengan mahasiswa kiri.
Atau kalau diantitesakan perjuangan mereka tidak berlandaskan semangat
keagamaan. Hal ini juga akan mudah terlihat ketika melihat sosok-sosol yang ada
di dalamnya. Urusan ritualitas keagamaan tidak pernah akan ditemui, misalnya
sholat wajib 5 waktu, puasa atau pergi ke gereja.
Menebar bibit pemikiran-pemikiran yang kritis dilakukan dengan diskusi yang
cukup intens, seringkali dilakukan dengan nongkrong di kantin gedung pusat
sambil ngecengin mahasiswa psikolgi yang kebanyakan cewek. Juga dilakukan sore
atau malam hari. Sekali-kali mendatangkan nara sumber, saya masih ingat ketika
Pak Soejono Soemargono diminta jadi pembicara. Sebetulnya ada keberatan dari
kerabatnya kalau Pak Jono jadi pembicara, karena kalau ada apa-apa dengan
beliau dan diajak diskusi sore hari. Beliau dikenal sebagai dosen fakultas
filsafat yang memiliki integritas, kaya pengalaman dan memiliki wawasan
pengetahuan yang mumpuni, apalagi ketika diajak bicara tentang sejarah
Indonesia.
Ada satu kegiatan yang juga dijadikan ajang penebaran pemikiran –pemikiran
perlawanan . Yakni kegiatan opspek bagi mahasiswa baru, kami menamakannya
dengan “operasi spektakuler” . diadakan di pantai Parang Tritis. Pada waktu itu
mahasiswa barunya angkatan 1989. Panitianya banyak amir, dari angkatan 85
misalnya mas Badrus Salam, angkatan 86 john soni yang ditinjuk sebagai ketua
pelaksana, dan tentu saja ada Andi, Webi. Angakatan 87 aku sendiri Bogel,
Genot, dan sekitar lebih dari 10 mahasiswa angkatan 87, juga angkatan 88 aku
ingat ada Seno Joko Suyono, Bram, Firman. Acara memang difokuskan pada
membentuk daya kritis mahasiswa baru. Tak dinyana dalam perjalanan waktu 10
tahun kemudian dari angkatan 89 ini lahir manusia-manusia muda yang menghiasi
halaman media nasional dalam kasus korban penculikan sebut saja nama Waluyo Jati,
Nezar Patria.
Ruang lingkap ranah pergerakan semakin hari semakin meluas, digerakkan oleh
motor-motor lapangan yang memiliki energi lebih, sebut saja sang angkatan 86
Jon Soni, Andi, Webi, serta sang konseptor Sugeng menembus batas fakultas
filsafat, juga UGM sendiri. Intensitas isu dikobarkan, terlebih isu-isu
kerakyatan. Apa yang mereka lakukan bukannya tanpa resiko, apalagi suasana
represif kekuasaan masih mencengkeram. Yang namanya intel selalu menjadi
menapakkan gaungnya ketika misalnya berdiskusi di kampus.
Pada tahun itulah satu kata muncul manampakkan wujudnya yang asli, yakni
demonstrasi. Bukan hal yang sederhana untuk memulainya. Jangan harap
demionstrasi bisa dilakukan pada saat itu. Dilarang keras. Yang nekat
berhadapan dengan militer.
Ada sosok seorang bapak yang memberikan kontribusi penting bagi ruang gerak
pergerakan mahasiswa UGM pada waktu itu Seorang Rektor yang sangat disegani,
dan dicintai mahasiswanya, baik kalangan aktivis jalan, aktivis gelanggang
(tempat kegiatan seni dan olah raga UGM serta pers juga keagamaan). Pak Kus
panggilaan akrabnya. Pak Koesnadi lah satu-satunya rektor yang mau mengantarkan
mahasiswanya ke DPRD Jogya untuk berdemo menentang undian (Sumbangan Dana
Sosial Berhadiah (SDSB).
Intensistas pergerakan semakin meluas, tidak hanya dari kandang Filsafat yang
menjadi pelopornya namun hasil energi kemudian disebar seantero jogja, maka
bermunculan kaum muda progresif dari UII, UMJ dan IAIN. Dan itu tergambarkan
bagaimana fakultas filsafat dijadikan markas para kaum pergerakan. Dari situlah
digagas wadah mahasiswa Yogyakarta maka terbentuklah Forum Komunikasi Mahasiswa
Yogyakarta (FKMY).
Demonstrsi demi demonstrasi digelar. Salah satu ajang upaya perlawan mahasiswa
Jogjakata pada waktu itu adalah perlwanan terhadap pembangunan Waduk Kedungombo
Boyolali. Mahasiswa Jogja bergerak, menggelar aksi perlawanan ke gedung DPRD
Jateng di Semarang, juga demonstrasi ketempat lokasi kedungombo walau saat itu
kami hanya berdemonstra di jalan menuju waduk karena di hadang aparat.
Pada moment lain demonstrasi intens dilakukan, dan suatu ketika korban-korban
kekeran militer mulai berjatuhan, salah satunya Webi Warow yang diharajar
militer dan sampai terkapar di rumah sakit.
Seiring perjalanan waktu, semangat perlawanan mengarah pada ruang yang sangat
dekat dengan kekuasaan yakni Jakarta, dari anak – anak muda fakultas
filsafatlah kemudian lahir embrio yang namannya Partai Rakyat Demokrat (PRD).
Dan sampai pada akhirnya Gelombang Reformasi tahun 1998 bergulir, Soeharto
terdepak dari kursi kekuasaan.
Dan kalau mau dirunut dari sudut ruang dan waktu yang namanya fakultas
filsafatlah semuanya itu bisa jadi bermula pada tahun 1988. Dan Andi Munajat
hadir sebagai salah satu anak muda yang selalu konsisten, memiliki energi
lebih. Dan berjuang demi tegaknya keadilan bagi rakyat penghuni negeri ini.
Selamat jalan Andi Munajat.
Ziarah Gerakan Mahasiswa: Tribute To Andi
Munajat
Annida-Online-Ada pendapat yang mengatakan bahwa mahasiswa adalah sebuah
entitas dari perubahan suatu bangsa: agent of change. Dalam sebuah
pergantian kekuasaan di Indonesia, misalnya, banyak diwarnai oleh peran aktif
mahasiswa. Mulai dari gerakan mahasiswa di era penjajahan, kemerdekaan, tahun
1966-an, hingga gerakan mahasiswa tahun 1999. Serangkaian aksi menjadi bukti
jatuh-bangunnya sebuah rezim yang berkuasa.
Sayangnya, saat ini pergerakan mahasiswa
dianggap tumpul oleh banyak kalangan, khususnya para aktivis senior yang dulu
bergiat menyuarakan kritik pada pihak-pihak yang terlampau zhalim, dalam hal
ini biasanya penguasa. Bertempat di Goethe Institute Jakarta, pada Rabu (26/8)
lalu, Ziarah Gerakan Mahasiswa digelar bersamaan dengan peluncuran buku Membakar
Lahan Kering Perlawanan: Gerakan Mahasiswa 1990-an yang ditujukan untuk
mengenang (alm) Andi Munajat.
Para penulis buku tersebut, antara lain FX
Rudy Gunawan, Wilson, Yayan Sopyan, dan Nezar Patria, meyakini bahwa ada banyak
perbedaan antara pergerakan mahasiswa yang terjadi saat ini dengan era mereka
dulu. Sejak pembrangusan "pemerintahan mahasiswa" (student
government) di kampus-kampus perguruan tinggi, politik mahasiswa kehilangan
orientasi. Apalagi kondisinya kini idealisme para mahasiswa telah banyak
ditunggagi oleh politik praktis.
Ziarah Gerakan Mahasiswa ini bukan sekadar
dalam rangkaian acara peluncuran buku tersebut di atas dan diskusi tentang
pergerakan mahasiswa dari masa ke masa. Acara ini juga ditujukan untuk
mengenang (alm) Andi Munajat, seorang aktivis kampus era 1990-an yang
menciptakan lagu Darah Juang, bersama rekannya, John Sonny Tobing.
Andi dikenal sangat kritis dan vokal dalam menyuarakan hak-hak rakyat,
mengktitisi kebijakan para penguasa. Lagu Darah Juang yang diciptakannya
sebagai pemacu semangat saat melakukan berbagai aksi turun ke jalan, menjadi
bukti eksistensi dan keseriusan seorang Andi Munajat berjuang di jalur
pergerakan dengan teman-temannya. [nyimas]