Oleh : Hidayaturrohman*
Seperti
diketahui bersama, provinsi Lampung sedang sibuk mempersiapkan
mekanisme suksesi kepemimpinan daerah pada tahun 2013 ini. Kepastian itu
ditandai oleh terbitnya Surat Edaran No. 270/2305/SJ tanggal 6 Mei 2013
dari Mendagri Gamawan Fauzi dengan payung hukum UU No.32 Th.2004
Tentang Pemerintah Daerah, maka menurut rencana, prosesnya akan berjalan
sesuai dengan Surat Keputusan KPU Lampung No.75/Kpts/KPU-Prov-008/2012
tentang penetapan Hari Pemungutan Suara Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur Tahun 2013, yakni Pilgub akan diselenggarakan pada 2 Oktober
dan putaran keduanya disiapkan pada 4 Desember.
Namun, polemik
panjang tentang Pilgub Lampung nampaknya belumlah final dan masih akan
terus bergulir mengenai kepastian jadwal pelaksanaannya. Pasalnya,
sampai bulan Juni ini Pemprov Lampung belum juga memberi kepastian akan
memasukan usulan anggaran pelaksanaan Pilgub dalam APBD Perubahan 2013.
Spekulasi pun berkembang bahwa kemungkinan nantinya Pilgub Lampung akan
berbarengan dengan Pileg dan Pilpres pada April 2014, Hal ini mencuat
setelah Mendagri Gamawan Fauzi berkomentar jika KPU setempat menyatakan
sanggup maka khusus untuk Lampung bisa saja dilakukan sebagai opsi
terakhir agar tak menyalahi perundang-undangan yang berlaku (Suara
Pembaruan, 23/5).
Di samping itu, tanpa terlalu menghiraukan polemik
kepastian jadwal pelaksanaan, sejumlah tokoh pun semakin gencar
mempublikasikan diri sebagai bakal calon pemimpin daerah yang siap
bertarung di arena Pilgub Lampung nanti. Beragam strategi pemenangan pun
mulai nampak semarak dilakukan demi merebut perhatian publik, semisal
pemasangan spanduk, baliho, poster, sticker, iklan, hingga pembangunan
posko berikut tim suksesnya disetiap sudut wilayah Provinsi ini. Tak
kalah penting adalah munculnya jargon-jargon politik populis dari setiap
calon yang seolah memberi kesan positif sebagai pembawa perubahan yang
lebih baik.
Sederetan nama calon tersebut bukanlah pendatang baru
dalam kancah politik daerah kita, mereka tokoh yang cukup dikenal
diberbagai kalangan, namun hal ini belum dapat menjadi jaminan bahwa
merekalah sosok pemimpin ideal yang masyarakat harapkan mampu mewujudkan
perubahan. Perlu disayangkan, sejauh ini kita hanya sekedar disuguhi
jargon, bukanlah tawaran gagasan yang solutif berupa program kerja
konkret guna membangun Provinsi dan masyarakatnya. Strategi politik
citra seperti ini memang kerap mengilusi publik, namun setelah melalui
beberapa pengalaman pemilu sejak reformasi, strategi ini justru telah
melahirkan kekecewaan publik yang berdampak luas seperti mewabahnya
pragmatisme politik hingga yang terburuk adalah menjadi golongan putih.
Bahaya Golput
Golongan
putih atau Golput merupakan fenomena politik yang penting dijadikan
perhatian bersama, di Indonesia pertama kali muncul pada pemilu 1971
sebagai gerakan protes terhadap otoritarianisme Orde Baru sekaligus
pendidikan politik kritis bagi masyarakat umum, dan secara prinsip sikap
ini adalah ekspresi ketidakpuasan publik terhadap sistem politik yang
berlaku. Dengan kata lain, munculnya fenomena golput merupakan pertanda
bahwa sistem politik demokrasi kita sedang sakit (Arbi Sanit, 1992).
Hingga
sekarang, golput masih menjadi momok bagi kehidupan politik Bangsa
kita, bisa diamati dari tingginya angka golput pada beberapa pilkada
terbaru di Indonesia, yakni Jawa Barat mencapai kisaran angka 36 %,
Sumatera Utara kisaran 50 %, dan Jawa Tengah berkisar 47 %. Sementara
itu, jika berkaca pada Pilgub Lampung tahun 2008 lalu, menurut data
Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebut angka golput mencapai 33 %,
tentu saja fakta ini sangat memprihatinkan.
Perbedaan mendasar dari
fenomena golput era Orba dengan sekarang adalah, bukan lagi menjadi
sebuah gerakan protes yang sengaja diorganisir untuk melawan
kesewenangan rezim. Melainkan, golput terjadi secara sporadik sebagai
ekspresi puncak dari kejenuhan, kebingungan dan melunturnya kepercayaan
publik kepada mekanisme pemilu yang tak kunjung mewujudkan perubahan dan
dirasa tak berhasil menghasilkan pemimpin yang kredibel. Disadari atau
tidak, kondisi ini jauh lebih berbahaya ketimbang yang terdahulu,
minimnya partisipasi politik publik bisa berpotensi menimbulkan krisis
legitimasi bagi pemimpin terpilih, ini akan mengganggu kinerja dan
produktivitas kepemimpinannya di daerah.
Golput pada dasarnya
merupakan wujud partisipasi politik yang negatif bagi sistem demokrasi
yang kita anut, maka sangatlah perlu ada upaya serius dan sistematis
dari seluruh stakeholder untuk meminimalisir sikap golput pada pemilu
mendatang. Terutama Pemerintah Daerah dan KPU agar memberikan kepastian
kepada publik tentang jadwal pelaksanaan Pilgub yang final. Selain itu
para calon kandidat pun harus mempraktekkan kampanye yang sehat dan
mencerdaskan dengan berkomitmen menawarkan program kerja yang solutif,
guna memajukan masyarakat Sai Bumi Ruwa Jurai ini.
______________
*) Penggiat Komunitas Sosiolog Muda Lampung
Mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas lampung
Bandar Lampung, 16 Juni 2013.
Diedit oleh Saddam Cahyo.
Selamat membaca !
"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."
Rabu, 19 Juni 2013
Sabtu, 15 Juni 2013
Foto : Juara I Essay Online HMJ Sosiologi FISIP Unila 2013
Saddam Cahyo, saat menerima piagam dan paket hadiah setelah memenangkan lomba essay online dalam rangka peringatan Hari Kartini 2013 yang diselenggarakan oleh HMJ Sosiologi FISIP Universitas Lampung.
Tulisan dapat dilihat disini : http://bengkeltulissaddamcahyo.blogspot.com/2013/04/opini-memaknai-kembali-seorang-kartini.html
Minggu, 02 Juni 2013
Opini : Menggugat Konsep 4 Pilar Kebangsaan
Oleh :
Saddam Cahyo*
Membicarakan
tentang Pancasila mungkin dianggap sudah begitu klasik dan membosankan bagi
sebagian besar kalangan masyarakat Indonesia. Sejak runtuhnya kekuasaan rezim
otoritarian Orde Baru oleh gerakan reformasi yang memuncak di pertengahan Mei
1998 lalu, Pancasila memang nyaris dilupakan dan secara sadar mulai dikubur dalam-dalam
dari ingatan kita sendiri. Termasuk pada peringatan kelahirannya yang ke-68
tahun ini, pun terasa begitu biasa-biasa saja, seakan tidak ada urgensinya sama
sekali untuk dirayakan atau sekedar direfleksikan dan menjadi perhatian
bersama.
Lika-Liku Sejarah
Perjalanan
hidup Pancasila sebagai falsafah dasar kemerdekaan Bangsa Indonesia memang
begitu panjang, berliku, tidak semulus citra yang selama ini senantiasa
disematkan kepadanya. Selama pemerintahan Soeharto yang berkuasa lebih dari 32
tahun, Pancasila telah “diperkosa” dan secara esensial dipelintir sedemikian
rupa untuk hanya sebagai senjata hegemonik menghantam para penentangnya demi
melegitimasi kelanggengan kekuasaan. Pengebirian sejarah pun dilakukan melalui
program penataran P-4 dengan menegasikan peranan Soekarno sebagai penggali
Pancasila dari kubur ingatan kolektif Bangsa setelah beberapa abad lamanya terjajah
Bangsa asing.
Orde
Baru merekayasa versinya dengan menyatakan bahwa Muhammad Yamin adalah tokoh
penemu Pancasila yang otentik. Sementara, Bung Hatta yang notabene secara
politik pun tengah bertentangan dengan Bung Karno, justru tegas menyatakan bahwa
“andai mendiang Muh. Yamin belum wafat (beliau wafat di tahun 1962, sebelum
Orde Baru terbangun), mesti dapat pula menegaskan bahwa penggali Pancasila
pertama kali memang Soekarno lewat satu jam pidato di sidang BPUPKI tanggal 1
Juni 1945, baru beberapa hari kemudian ia berpidato di Panitia Kecil yang
dibentuk khusus untuk merampungkan naskah tersebut dan mengajukan teks yang
sekarang dipergunakan.
Namun
sayangnya, konsekuensi logis yang harus kita terima setelah lama dikekang
pemaksaan azas tunggal di era Orde Baru itu, adalah fakta bahwa generasi Bangsa
yang hidup pasca reformasi telah kehilangan pegangan ideologi nasional yang
kukuh. Kita mulai mendekat pada kelumpuhan dihadapan gempuran ideologi asing
berjuluk neoliberalisme yang sangat bertentangan dengan ruh Pancasila itu
sendiri, yakni berwujud dalam segala pandangan tentang globalisasi, pasar
bebas, kebebasan individual, konsumerisme, kebergantungan pada hutang luar
negeri, kebergantungan pada investasi modal asing yang makin menguasai sumber daya
alam, dan mulai absennya peran negara dalam menjamin kesejahteraan rakyat.
Dasar Kehidupan Bangsa
Bila
dicermati, kini muncul pula permasalahan baru tentang pengukuhan Pancasila
sebagai falsafah dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Maret 2013 lalu,
ketua MPR RI Taufiq Kiemas mewakili lembaga negara yang dipimpin, memperoleh
gelar kehormatan doctor honoris causa (H.C)
dari Universitas Trisakti atas jasanya telah melahirkan gagasan sosialisasi
empat pilar kebangsaan Indonesia, yakni Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, Undang
Undang Dasar (UUD) 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Gagasan
yang gencar disosialisasikan sejak 3 tahunan lalu oleh lembaga MPR RI tersebut
dinilai sangat efektif guna menanamkan kembali nilai-nilai luhur yang perlu
dijadikan acuan dan pedoman bagi setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Secara
awam, mungkin kebijakan MPR itu perlu diapresiasi sebagai inovasi jitu
mengatasi disorientasi Bangsa yang sedang berlangsung. Namun ternyata, masih ada
banyak pihak yang cermat dan peduli, mereka segera merespon untuk mengoreksi
langkah inovatif tersebut. Sejumlah ormas, elemen mahasiswa, LSM, partai
politik, hingga tokoh nasional pun muncul dengan penolakan keras menuduhnya
sebagai bentuk kesesatan berfikir, dan menuntut untuk tidak memposisikan
Pancasila sebagai pilar dan disejajarkan dengan nilai-nilai lainnya.
MPR RI melalui wakil ketuanya Lukman Hakim
Saifudin, mengklarifikasi agar masyarakat jangan salah mengerti, dalam KBBI
pilar itu juga bisa diartikan sebagai dasar, maka juga berarti dasar penyangga kehidupan berbangsa untuk
konteks Pancasila dalam konsep sosialisasi 4 pilar tersebut. Dalam artikel
opininya di harian KOMPAS (1/6) kemarin, guru besar UI Prof. Sri-Edi Swasono,
kembali mengulas gugatannya, ia menegaskan sebaiknya MPR RI yang bekerja
berdasarkan amanat UU no 27 Tahun 2009 tersebut harus lebih bijaksana dan
berani mengoreksi kesalahan sekecil apapun termasuk pada gagasan sosialisasi 4
pilar yang justru kembali mengkebiri peranan Pancasila.
Menurutnya,
Pancasila tak boleh diganggu gugat sebagai dasar negara, sementara 4 pilar yang
lebih tepat yaitu : 1. Proklamasi kemerdekaan (sebagai pesan eksistensial
tertinggi), 2. UUD 1945, 3. NKRI, 4. Bhineka Tunggal Ika sedangkan atap yang menaunginya
adalah cita-cita nasional dalam teks pembukaan UUD 1945. Dengan demikian
bangunan negara dan Bangsa Indonesia tersebut akan senantiasa kokoh di tengah
iklim borderless state sekarang ini.
Saya pribadi merasa polemik ini akan membawa manfaat, setidaknya publik yang
kian apatis ini dapat turut memperhatikannya melalui perantara media massa,
terlebih kalau lembaga MPR RI tersebut benar-benar bijak mau menyempurnakan
ulang kebijakan inovatifnya tersebut.
Bangsa
kita sedang terkoyak, dari luar kita dijadikan sasaran penghisapan oleh
kepentingan asing, sementara di dalam, kita masih terpuruk dengan benang kusut
budaya korupsi anggaran negara, kerusuhan sosial dan konflik horizontal,
lemahnya taraf hidup masyarakat, minimnya akses pendidikan dan kesehatan, juga
belitan persoalan lainnya. Pancasila sebagai gagasan pencerah semestinya
dapatlah kembali menginsprasi jiwa kita secara utuh sebagai Bangsa merdeka yang
punya kemampuan untuk mewujudkan cita-cita nasional tentang Bangsa Indonesia
yang berdaulat, mandiri, berkepriadian, adil dan makmur.
_____________________________
Bandar
Lampung, 1 Juni 2013.
*)
Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung
Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila.
Dimuat di portal media Berdikari Online (BO) pada 2 Juni 2013. http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20130602/polemik-seputar-4-pilar-kebangsaan.html
Dimuat di portal media Berdikari Online (BO) pada 2 Juni 2013. http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20130602/polemik-seputar-4-pilar-kebangsaan.html
Langganan:
Postingan (Atom)