Ada
fenomena sepele yang menarik perhatian setelah beberapa tahun penulis
menempuh masa studi di Perguruan Tinggi, yakni kebiasaan mahasiswa
mencium tangan dosennya. Tentu saja terdapat komentar pro-kontra terkait
hal ini. Kebanyakan orang menganggap itu hal lumrah yang harus
dilakukan seorang murid kepada gurunya sebagai bentuk penghormatan.
Sedangkan yang kontra menganggal hal itu sebagai tindakan yang
bertentangan dengan manner masyarakat modern.
Menurut
penulis, pola relasi dosen dan mahasiswa di perguruan tinggi semestinya
berbeda dengan pola relasi guru dan siswa di sekolah dasar maupun
lanjutan yang bersifat patron-client. Sebagaimana pengertian awalnya, scola in locco parentis,
sekolah merupakan lembaga yang menggantikan peran orang tua dalam hal
pembinaan anak-anaknya, sehingga terminologi guru kerap dimaknai sebagai
sosok yang harus digugu dan ditiru, perkataan guru merupakan petuah
yang harus direnungi, perilaku guru adalah suritauladan yang harus
dicontoh setiap siswanya (Roem Topatimasang, 2006).
Sedangkan pola relasi dosen dan mahasiswa sebagai sesama orang dewasa haruslah bersifategaliter, sejajar sebagai mitra dalam berfikir. Lembaga pendidikan tinggi itu ibarat kawahcandradimuka tempat digodoknya Gatot Kaca hingga ia memiliki kekuatan sakti mandraguna yang
mampu mengalahkan para pendahulunya. Dalam pengertian ini, pendidikan
tinggi merupakan lembaga belajarnya orang dewasa, yang diharapkan mampu
terus menerus melahirkan para ahli dengan teori mutakhirnya yang mampu
mengembangkan ilmu pengetahuan dan membawa manfaat praktis bagi
peradaban manusia yang begitu dinamis ini.
Tinjauan Teori
Penulis mengkategorikan perilaku ‘cium tangan’ itu sebagai salah satu bentuk tradisi feodal.
Fenomena ini dapat dikaji melalui dua konsep tahap perubahan masyarakat
menurut sosiolog Jerman Ferdinand Tonnies dalam tesisnya berjudul Community and Society, pertama gemeinschaftatau paguyuban, merupakan ciri masyarakat feodal bercorak
produksi agraris – pedesaan yang berdasar pada hubungan status seperti
keluarga, tradisi ataupun adat. Sementara itu, saat ini bentuk
masyarakat sudah bergerak menjadi gesellschaft atau patembayan
sebagai ciri masyarakat modern bercorak produksi industrial – perkotaan
yang berdasar pada hubungan kemitraan dan sejajar.
Tesis
Tonnies ini muncul sebagai reaksi atas Revolusi Industri di Inggris,
pada akhir abad ke-18 Masehi. Revolusi tersebut telah merombak corak
produksi masyarakat agraris yang berbasiskan pada pertanian di desa
untuk bermigrasi menuju pusat-pusat industri di perkotaan, sekaligus
merubah basis kultural masyarakat tradisional menuju masyarakat modern.
Menurut Tonnies, corakgemeinschaft (paguyuban) itu homogen,
karena pada umumnya budaya dan tradisi pedesaan itu bercorak monokultur,
berasal dari nenek moyang yang sama, dengan latar belakang yang relatif
seragam. Sedangkan corak gesellschaft (patembayan) itu
heterogen, merupakan ciri masyarakat perkotaan yang plural dan
multikultur, karena warga masyarakatnya itu berasal dari berbagai macam
penjuru daerah, dengan latar belakang kultur yang relatif beragam.
Sosiolog
positivistik Amerika, Talcott Parsons, pernah berhipotesis bahwa jika
suatu masyarakat ingin bertahan dan keberlanjutan, ada empat hal yang
mutlak harus dipenuhi, salah satu yang terpenting adalah ‘kemampuan
beradaptasi’. Masyarakat harus mempunyai kemampuan beradaptasi dengan
dunia yang terus bergerak dinamis. Sejarah mencatat, banyak bangsa yang
musnah karena ketidakmampuan masyarakatnya dalam menyesuaikan diri dalam
beradaptasi dengan gerak sejarah (Zainuddin Maliki, 2003).
Menempatkan Posisi
Benar memang, dalam tatanan masyarakat gemeinschaft mengharuskan
seseorang untuk berlaku sopan santun, termasuk mencium tangan kepada
seseorang yang lebih tinggi statusnya, semisal orang tua, kakak, guru,
atau tokoh adat. Karena kelompok masyarakat tersebut masih termasuk
dalam kategori intra-relasional. Akan tetapi ketika kita berada
di luar kelompok tersebut, terlebih di lingkungan kampus, secara
sosiologis kita sedang berada dalam situasi transisi, dari polagemeinschaft ke pola gesellschaft, dimana hubungan berdasarkan status yang hierarkis itu harus berubah bentuk menjadi hubungan inter-relasional yang egaliter.
Dalam pola masyarakat gesellschaft ini,
kita diharuskan bersikap menghargai dan menghormati secara proporsional
atau seimbang. Sebagai individu manusia yang bermasyarakat, kita
mempunyai beberapa peran yang dijalankan dalam satu waktu yang hampir
bersamaan namun dalam konteks yang sama sekali berbeda, maka kita harus
jeli menerapkan tradisi dan perilaku yang berbeda di setiap tempatnya.
Mahasiswa
jelas akan menjadi ragu dan segan untuk mengkritisi dosen atau sekedar
mengemukakan gagasannya di kelas, karena dari kebiasaan cium tangan itu
secara tidak langsung dapat ‘membunuh’ nalar kritis mereka. Nyaris akan
menjadi suatu bentuk pengkultusan seperti pada rasa segan dan hormat
yang berlebihan dalam komunitas tradisional dan fundamentalis. Hal ini
akan cukup memberi pengaruh bagi terhambatnya perkembangan iklim
akademik dan budaya intelektual dalam sebuah kampus.
Dosen
bukanlah tokoh agama ataupun sesepuh adat yang punya kuasa dogmatis,
melainkan berperan sebagai fasilitator belajar bagi setiap mahasiswa
dalam lembaga pendidikan tinggi. Dosen merupakan kaum intelektual
yang berwawasan luas dan ahli di setiap bidang ilmunya, sedangkan
mahasiswa adalah generasi penerus dan pengganti mereka yang harus
ditempa agar memiliki kapasitas pengetahuan dan keterampilan yang lebih
maju.
Dalam
konteks cium tangan ini, tentu penulis tidak bisa mengatakan bahwa itu
mutlak salah, mungkin lebih tepat jika perilaku mahasiswa mencium tangan
dosen di kampus itu tidaklah pada tempatnya. Memang, de gustibus non est disputandum, Ibarat
selara makanan, orang Minang yang suka pedas akan menganggap masakan
orang Jawa itu manis. Namun selera juga tidak menutup kemungkinan untuk
ditafsirkan, agar sebuah teks itu dapat berlaku sesuai konteksnya.
Fenomena
ini merupakan bentuk penerapan teks tertentu yang tidak sesuai pada
konteksnya, Teks yang dimaksud adalah ajaran etis nenek moyang tentang
penghormatan. Bayangkan jika tradisi cium tangan ini berlanjut ketika si
mahasiswa sudah bekerja di perusahaan, yang tentu menuntut
profesionalisme, misalkan seorang staf mencium tangan manajernya, tentu
saja ini akan berdampak buruk pada kinerja perusahaan secara
keseluruhan.
Harus
diakui bahwa lingkungan modernis umumnya lebih maju dari lingkungan
tradisionalis dalam banyak hal, terutama kualitas sumberdaya manusianya.
Mengacu pada tesis Parsons tentang fungsionalisme tadi, seharusnya
mahasiswa itu diajari tentang manner masyarakat modern, agar
terlatih dan memiliki kemampuan beradaptasi dengan budaya persaingan
khas korporasi yang menuntut profesionalisme dan egalitarianisme di
peradaban kapitalisme global yang agresif ini.
*) Diedit dan ditulis ulang oleh : Saddam Cahyo, Sekretaris Wilayah LMND Lampung untuk diterbitkan dalam rubrik opini di media massa Berdikari Online ( http//berdikarionline.com ) pada 30 November 2012.
Digagas dan ditulis pertama kali oleh : Eko Winarno, S.Fil, Direktur Eksekutif Aking Saputra Institute/ASI, Karawang-Jawa Barat. Pertama
kali diterbitkan oleh media cetak KORAN KARAWANG Edisi ke-40, 16-22
November 2012 dengan judul "Dilarang Cium Tangan !" dalam bentuk yang
sedikit berbeda.
Berikut ini dilampirkan tulisan versi asli penulisnya ;
Berikut ini dilampirkan tulisan versi asli penulisnya ;
Dilarang Cium Tangan !
Muncul
polemik saat menulis status di akun Facebook saya. Status yang dimaksud; “di
sebuah kampus, tadi siang saya liat mahasiswa mencium tangan dosen. Saya baru
‘ngeh’, ini budaya feodal yang bersumber dari tradisi yang disebut sosiolog
Ferdinand Tonnies sebagai ‘gemeinschaft’, yang merupakan ciri masyarakat
agraris pedesaan. Bahaya, karna mahasiswa itu tidak tau akan ‘gesellschaft’ sebagai
ciri masyarakat industrialis. Sifat ‘gemeinschaft’ itu berdasar pada hubungan
‘status’ (keluarga, tradisi, adat). Nah, kalo ‘gesellschaft’ itu berdasar pada
hubungan ‘kontrak’ (mitra sejajar). Ini akibat dosen yang bodo, dia ndak ngerti
Manner masyarakat industri! Feodal!”. Muncul berbagai komentar. Yang kontra
menganggap itu hal lumrah, yang harus dilakukan seorang murid kepada gurunya,
sebagai bentuk penghormatan. Sedangkan yang pro, umumnya dapat menalar maksud
argumen saya. Dalam jawaban status, saya jelaskan mengapa saya tidak setuju
dengan tradisi mencium tangan dosen di kampus. Karena seyogyanya, antara dosen
dan mahasiswa itu harus dalam posisi sejajar, sebagai mitra dalam berpikir.
Pola relasi dosen dan mahasiswa di perguruan tinggi, itu berbeda dengan pola
relasi guru dan siswa (murid) di sekolah. Di sekolah, terminologi guru itu
sering diartikan sebagai seseorang yang harus digugu dan ditiru. Kata-kata
guru, itu merupakan petuah yang harus direnungi. Sedangkan perilaku guru, itu
merupakan suritauladan yang harus dijadikan contoh bagi setiap siswa. Saya
setuju, jika seorang siswa di sekolah itu mencium tangan gurunya.
DASAR PEMIKIRAN
Seperti
saya nyatakan, bahwa relasi dosen dan mahasiswa itu harus sejajar. Saya
mengklasifikasikan cium tangan itu sebagai bentuk tradisi feodal. Ferdinand
Tonnies, mengklasifikasikan masyarakat ke dalam dua bentuk. Yakni,
‘gemeinschaft’ (komunitas) dan ‘gesellschaft’ (masyarakat). Tesis Tonnies ini
muncul sebagai akibat Revolusi Industri di Inggris, pada akhir abad ke-18.
Revolusi Industri tersebut telah berhasil merubah tradisi masyarakat yang
semula agraris, berbasiskan pada pertanian di desa untuk bermigrasi menuju
pusat-pusat perkotaan, sekaligus merubah basis kultural masyarakat menuju
masyarakat industri. Menurut Tonnies, corak ‘gemeinschaft’ (komunitas) itu
homogen, karena pada umumnya budaya dan tradisi pedesaan itu bercorak monokultur,
karena tradisi tersebut berasal dari nenek moyang yang sama, dengan latar
belakang yang relatif seragam. Sedangkan corak ‘gesellschaft’ (masyarakat,
dalam pengertian Tonnies) itu heterogen. Masyarakat yang heterogen ini
merupakan ciri masyarakat perkotaan yang plural dan multikultur, karena warga
masyarakatnya itu berasal dari berbagai macam penjuru daerah, dengan latar
belakang kultur yang relatif beragam.
MENGAPA
DILARANG?
Dalam konteks cium tangan, tentu
saya tidak bisa mengatakan bahwa itu salah. Yang paling “pas”, bahwa konteks
cium tangan di kampus itu kurang tepat atau tidak pada tempatnya. Memang, di
satu sisi ini adalah soal selera, yang tidak bisa diperdebatkan (de gustibus
non est disputandum). Ibarat selara makanan, orang Batak akan menganggap
masakan orang Jawa itu manis, orang Bugis akan menyebut masakan orang Sunda itu
asin, atau orang Banjar pasti mengatakan masakan orang Minang itu pedas. Ini
bukan pula soal benar atau salah, sehingga etika berhak menilai suatu tindakan
moral tertentu itu benar atau tidak. Dengan analogi selara masakan, dalam hemat
saya ini merupakan bentuk penerapan teks tertentu yang tidak sesuai pada konteksnya.
Teks yang dimaksud adalah ajaran etis nenek moyang tentang penghormatan. Memang
betul, dalam tatanan masyarakat ‘gemeinschaft’ yang homogen mengharuskan
seseorang untuk berlaku sopan terhadap seseorang yang lebih tinggi. Contoh;
orang tua, kakek, paman, guru, ustad. Di dalam konteks keluarga, jika kita
seorang anak maka kita pun harus mencium tangan orang tua kita. Karena,
keluarga itu merupakan bentuk ‘gemeinschaft’ (bukan masyarakat). Akan tetapi
ketika kita berada di luar, terlebih di kampus, secara tidak disadari
sabetulnya kita sedang berada dalam posisi transisi, dari pola ‘gemeinschraft’
ke pola ‘gesellschaft’. Dalam situasi transisi menuju ‘gesellschaft’ demikian,
hubungan status itu akan berubah bentuk menjadi hubungan mitra. Dalam pola hubungan
mitra, maka tidak dikenal tradisi anak dan orang tua layaknya dalam hubungan
komunitas.
Dalam pola ‘gesellschaft’, kita itu diharuskan
bersikap proporsional (seimbang). Dalam status saya, saya menyebut cium tangan
sebagai bentuk sikap feodal. Alasannya, karena jelas itu merupakan produk
budaya ‘gemeinschaft’ yang bercorak tradiosionalis. Sebagai seorang yang aktif
di dunia pergerakan, secara tidak sengaja saya sering mencermati gaya diskusi di komunitas
mahasiswa Islam tradisionalis dan komunitas mahasiswa Islam modernis. Disadari
atau tidak, coba saja cermati dialektika diskusi di internal komunitas mahasiswa
Islam yang modernis itu nampak lebih “hidup”, dari pada diskusi di komunitas
mahasiswa Islam yang tradisionalis. Mengapa? Karena, sikap egalitarianisme itu
betul-betul dihayati oleh komunitas Islam berhaluan modernis. Sedangkan di
komunitas Islam tradisionalis, seperti kita ketahui, itu sangat mengkultuskan
sosok Kyai. Terkadang, kebiasaan cium tangan ini terbawa ke dalam lingkungan
masyarakat modern. Oleh karena itu, maaf, lingkungan modernis umumnya lebih
maju dari lingkungan tradisionalis dalam banyak hal, terutama dalam hal
sumberdaya manusia. Dalam tulisan saya lalu, ‘Kritik Ideologi Pancasila’
(19/10), saya mengutip Talcott Parsons, yang pernah berhipotesis bahwa jika
suatu masyarakat ingin eksis dan memiliki keberlanjutan, ada empat hal yang
mutlak ada. Salah satu diantaranya adalah “kemampuan beradaptasi”. Masyarakat
harus mempunyai kemampuan beradaptasi dengan dunia yang bergerak dinamis.
Sejarah mencatat, banyak bangsa yang musnah karena ketidakmampuan masyarakatnya
dalam menyesuaikan diri dalam beradaptasi dengan gerak sejarah. Tesis Parsons
ini tentu tidak bisa dijadikan argumen untuk menentang cium tangan, sebagai
bagian dari budaya feodal.
Setiap kita, sebagai manusia yang
bermasyarakat, itu mempunyai beberapa peran yang kita jalankan dalam satu waktu
yang hampir bersamaan, namun dalam konteks yang berbeda. Contoh; Si A, adalah
seorang kepala keluarga di rumah, dosen di kampus, dan anak bungsu di keluarga
besarnya. Ini yang saya maksud sebagai proses transisi. Si A, itu mutlak
menerapkan tradisi dan perilaku yang berbeda di setiap tempatnya. Karena si A
itu seorang ayah, tentu dia harus menyambut ciuman tangan istri dan anaknya.
Tapi, ketika si A sedang melakoni profesinya di kampus, seharusnya dia segera sadar
bahwa secara sosiologis dia sedang berada di masa transisi. Rumah dan keluarga itu
merupakan bentuk ‘gemeinschaft’, karena lingkungannya yang homogen. Sedangkan
kampus, itu merupakan bentuk ‘gesellschaft’ yang heterogen. Ciri utama
‘gesellschaft’ itu menempatkan setiap manusia dalam posisi sejajar, sebagai
mitra. Jika di kampus, tentu pola relasi dosen dan mahasiswa itu sebagai mitra
dalam berpikir. Oleh karenanya, cium tangan di kampus itu kurang tepat
konteksnya. Mahasiswa jelas akan segan untuk mengkritisi dosen di kelas, karena
dari kebiasaan cium tangan itu secara tidak langsung “membunuh” nalar kritis
mahasiswa. Seperti rasa segan dan hormat yang berlebihan di dalam tradisi
komunitas Islam tradisionalis. Sebaliknya, ketika si A sedang berada di
keluarga besarnya, sebagai anak bungsu tentu dia wajib mencium tangan orang
tua, paman dan kakaknya karena dia sedang bertransisi kembali dalam pola ‘gemeinschraft’.
Dosen itu bukan Kyai. Dengan aksi
cium tangan mahasiswa kepada dosen, sebetulnya kita bisa melihat sejauh mana
iklim akademik dan budaya intelektual sebuah kampus itu berkembang. Berdasarkan
pengalaman dan pengamatan saya, walau tidak didukung hasil survey ilmiah, saya
berkeyakinan bahwa aksi cium tangan mahasiswa kepada dosen di kampus itu
merupakan salah satu faktor penghambat nalar kritis mahasiswa untuk berkembang.
Dengan mencium tangan dosen, secara psikologis bisa menanamkan perasaan segan,
‘ewuh pakewuh’ dan rasa hormat yang berlebih. Jika berlebihan, ini bisa
berdampak pada pengkultusan personal, seperti halnya seorang santri yang amat
mengkultuskan Kyai. Bayangkan jika tradisi cium tangan ini berlanjut ketika si
mahasiswa sudah bekerja di perusahaan, yang tentu menuntut profesionalisme dan
harus mengerti ‘manner’. Bayangkan jika seorang staf mencium tangan manajernya?
Setiap kita, kapan pun mengalami masa transisi sosiologis dalam waktu yang
hampir bersamaan. Di rumah, kita ada dalam posisi ‘gemeinschaft’ dengan pola
relasi kekerabatan dan adat istiadat yang didasarkan kepada hubungan status. Di
kampus (kantor), kita itu ada dalam posisi ‘gesellschaft’ dengan pola relasi
berdasarkan kontrak, sebagai mitra yang sejajar. ‘De gustibus non est
disputandum’, akan tetapi selera juga tidak menutup kemungkinan untuk
ditafsirkan, agar sebuah teks itu berlaku sesuai konteksnya. Mengacu pada tesis
Parsons, seharusnya mahasiswa itu diajari tentang ‘manner’, agar dia terlatih dan
memiliki kemampuan beradaptasi dengan budaya korporasi yang menuntut
profesionalisme dan egalitarianisme.