Oleh : Rolip Saptamaji*
BELUM genap setahun perjanjian damai antara etnis Lampung dan etnis Bali disepakati kedua belah pihak, konflik disertai kekerasan kembali pecah di Lampung Selatan. Kerusuhan bermotif konflik komunal antar etnis yang terjadi di desa Balinuraga, Desa Patok dan Sidoreno, adalah yang terparah dari rangkaian kerusuhan sebelumnya karena mengakibatkan jatuhnya belasan korban jiwa dan ribuan lainnya terpaksa mengungsi.
Sebenarnya, kerusuhan dan kekerasan komunal bukanlah hal yang mengejutkan di Lampung Selatan. Seorang akademisi dari Universitas Lampung menyebutkan, konflik komunal di Lampung Selatan sudah terjadi sejak tahun 1990an yang setidaknya telah terjadi lima kasus serupa (Kompas/2/11/2012). Dalam setahun ini, Lampung Selatan memang kerap dilanda kerusuhan baik yang bercorak komunal yang terlihat ‘horisontal’ maupun yang bercorak politis yang terlihat ‘vertikal.’ Setidaknya terdapat tiga kasus kerusuhan bercorak komunal dan dua kasus kerusuhan bercorak politik yang terjadi di Lampung Selatan sepanjang tahun 2012.
Diawal tahun, tepatnya pada 24 Januari, terjadi konflik komunal yang melibatkan warga Desa Kotadalam yang mayoritas adalah etnis Lampung dengan warga Desa Napal yang etnis Bali. Konflik ini diselesaikan dengan perjanjian perdamaian antra kedua etnis. Beberapa hari kemudian, pada 31 januari, terjadi kerusuhan di Gedung DPRD II Lampung Selatan, akibat serbuan dari massa pendukung salah satu calon Bupati.
Tiga bulan kemudian, pada 2 April, warga Dusun Sidodadi dan Dusun Induk Negara Saka, saling bacok karena kesalahpahaman tentang pejabat sementara kepala desa. Empat minggu kemudian, pada 30 April, ribuan orang pengunjuk rasa membakar patung Zainal Abidin Pagaralam di jalan lintas Sumatera. Masa damai pun hanya berlangsung beberapa bulan saja, karena tak lama setelah hari raya Idul Adha, bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda, kerusuhan kembali pecah di Desa Balinuraga, Desa Patok dan Sidoreno. Kali ini, kerusuhan menelan belasan korban jiwa dan menjadi isu kemanusiaan tingkat nasional yang berkelindan dengan eskalasi politik nasional.
Berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya, kasus 28 Oktober mencuat ke permukaan bahkan terus dibahas media massa hampir tanpa jeda. Banyak spekulasi bermunculan mengenai factor pemicu konflik ini, beberapa diantaranya diterima oleh public. Perlu dipahami bahwa spekulasi ini pada umumnya muncul hanya sebagai reaksi dari kejadian yang ditampilkan di permukaan oleh media massa.
Spekulasi yang muncul didominasi oleh tiga pihak, yaitu pihak akademisi yang berorientasi pada penyelesaian konflik, kemudian pihak politisi atau pejabat lokal yang juga berorientasi pada penyelesaian konflik secepatnya sekaligus menakar peluang politik yang muncul dari kerusuhan, dan terakhir adalah pihak aktivis prodemokrasi yang menghubungkannya dengan rencana undang-undang keamanan nasional (RUU Kamnas). Spekulasi dari ketiga pihak tersebut didukung oleh pengumpulan fakta lapangan yang dipublikasikan oleh media massa, sehingga dapat dikatakan masing-masing memiliki argument yang kuat.
Kekerasan komunal seperti yang terjadi di Lampung Selatan merupakan eskalasi kekerasan yang tidak terjadi oleh satu unsur pemicu. Menganggap kekerasan komunal berakar pada satu kausal saja hanya akan menjerumuskan kita pada simpulan yang menjauhkan kita dari akar konflik yang berpotensi di replikasi di daerah lain. Kekerasan komunal semacam ini tidak hanya terjadi di Lampung Selatan, namun juga terjadi di daerah-daerah lain dengan pola eskalasi yang hamper serupa. Asumsi bahwa kekerasan hanya bersifat horisontal atau hanya bersifat vertikal, juga adalah spekulasi yang kurang tepat karena sesungguhnya kekerasan komunal menghadirkan dimensi sosial dan politik secara bersamaan.
Penyematan istilah ‘Konflik Horisontal’ berorientasi pada terbentuknya opini bahwa konflik tersebut berada di luar kekeuasaan Negara, karena hubungan antara Negara dan masyarakat adalah hubungan vertikal. Pemisahan domain konflik pada garis linear vertikal dan horisontal, wacana ini menghasilkan tirai samar peran Negara dalam dinamika masyarakat. Dengan menyematkan status ‘konflik horisontal’ pada kasus kekerasan komunal, eskalasi politik yang terjadi di lokasi konflik berlangsung seringkali diabaikan. Pengabaian ini memang menguntungkunan kelompok yang kepentingannya disamarkan oleh kasus bombastis semacam kekerasan komunal. Oleh karena itu utuk mengurai permasalahan di Lampung Selatan, saya kembali menggunakan model Dinamika Perseteruan seperti yang telah saya gunakan pada tulisan sebelumnya mengenai politik kekerasan komunal.
Mengapa Lampung Selatan?
Pertanyaan ini mungkin terdegar sepele, namun bagaimanapun juga belum ada analisa yang mencoba menjawab mengapa kekerasan komunal pada 28 oktober lalu dapat terjadi di Lampung Selatan. Faktanya, masyarakat Bali di Provinsi lampung tidak hanya berada di Lampung Selatan, melainkan hampir di semua kabupatendan kota di provinsi Lampung. Etnis Bali di Bandar lampung, misalnya, berbaur dalam satu pemukiman yang sama dengan etnis lain, sekolah di sekolah yang sama dan sebagainya. Komposisi etnis di Lampung Selatan menunjukkan bahwa etnis Bali juga bukan etnis yang terlalu minoritas, sebaliknya etnis Lampung juga bukan etnis mayoritas. Pertanyaan mengapa kekerasan komunal terjadi di lampung Selatan tidak mungkin dijawab hanya dengan memberikan deskripsi konfigurasi sosial di Lampung Selatan.
Secara geografis, Lampung Selatan merupakan wilayah strategis ekonomi di provinsi Lampung. Kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi di Lampung Selatan yang menurun pada tahun ini, hanya 5,9 persen dibandingkan pertumbuhan ekonomi provinsi Lampung yang mencapai 6,3 persen tidak dapat mengubah kenyataan potensi ekonominya. Kabupaten ini merupakan gerbang penghubung pulau Sumatera dan pulau Jawa yang dilengkapi oleh dua pelabuhan laut yaitu Bakauheni dan Panjang. Selain itu, Lampung Selatan juga sentra produksi pertanian Jagung dan Pisang di Propinsi Lampung. Luas lahan yang digunakan oleh aktivitas pertanian dan perkebunan di kabupaten ini mencapai puluhan ribu hektar. Potensi pertambangan mineral juga terdapat di kabupaten ini.
Potensi lain adalah potensi pariwisata dan mega proyek infrastruktur jembatan Selat Sunda, yang diperkirakan mencapai 200 Triliun rupiah. Proyek infrastruktur lain seperti pembangunan jalan tol Sumatera dan pembangunan jalur lintas pesisir, juga memenuhi portofolio investasi kabupaten ini. Tentu saja potensi ekonomi dengan nilai transfer yang begitu besar ini membuat banyak pihak tergiur. Sayangnya, seiring dengan mencuatnya kasus kekerasan komunal informasi mengenai megaproyek tersebut mulai luput dari perhatian.
Konfigurasi politik di kabupaten ini tidak kalah unik dengan potensi ekonominya. Kasus kerusuhan pembakaran patung ZAP pada bulan April, membuka mata publik bahwa kabupaten ini sedang dilanda krisis politik. Pembakaran patung ZAP dimaknai oleh masyarakat dan aktivis gerakan sosial di Lampung sebagai penghancuran simbol oligarki di provinsi Lampung. ZAP tidak lain adalah kakek dari Bupati Lampung Selatan sekaligus ayah dari Gubernur Lampung. Pembakaran yang dimotori oleh konsolidasi masyarakat adat yang bekerjasama dengan elemen gerakan sosial lainnya ini merupakan pertanda krisis politik di kabupaten tersebut.
Setali tiga uang dengan kondisi politik di Lampung Selatan, kondisi politik di provinsi Lampung sendiri mulai memanas menjelang pemilihan kepala daerah yang masih belum tentu jadwalnya. Uniknya, ketidakpastian jadwal pemilihan gubernur tersebut tidak menghalangi kampanya para bakal calon Gubernur. Upaya kontoversial gubernur Lampung untuk memperpanjang jabatannya hingga 2015, memancing kontroversi luas di kalangan politisi lokal dan aktivis daerah yang menganggap gubernur menerapkan politik dinasti.
Sementara perseteruan politik ditingkat elit meningkat, kerusuhan-kerusuhan terus terjadi dalam berbagai level di tingkat massa. Konfigurasi dan dinamika ekonomi-politik di privinsi Lampung semakin menambah kerumitan penyelesaian konflik-konflik yang terus terjadi di Lampung. Dalam konteks ini, konfigurasi ekonomi-politik tidak dapat dipisahkan dari analisa mengenai kasus kerusuhan Oktober atau bahkan semua kasus kerusuhan yang melanda provinsi Lampung sepanjang 2012. Kerusuhan Oktober tentunya tidak dapat dipisahkan dari konfigurasi tersebut karena semenjak terjungkalnya orde baru, krisis politik selalu berbarengan dengan kekerasan komunal. Kejadian di Poso, Ambon, dan Maluku Utara merupakan refleksi yang tidak dapat dilepaskan ketika kejadian konflik komunal berulang di daerah lain.
Menambah spekulasi: peluang politik yang muncul dari kerusuhan Oktober
Hingga saat ini kasus kekerasan komunal selalu membuat kita terkejut dan tidak habis pikir, karena pemicunya yang sepele dan tidak terduga. Seperti kasus Poso yang katanya disulut oleh pertengkaran antara dua pemuda di terminal, kasus kerusuhan Oktober di Lampung dipicu oleh kejadian dua gadis Agom pengendara sepeda motor yang dihadang pemuda Balinuraga bersepeda hingga terjatuh. Siapa sangka kejadian ini memicu kerusuhan yang melibatkan mobilisasi ribuan warga dari desa Agom. Gelombang kerusuhan ini bahkan tidak terjadi satu kali, gelombang kedua yang terjadi dalam hitungan 12 jam dari penyerangan pertama melibatkan mobilisasi yang lebih banyak lagi, hingga warga Balinuraga terkepung oleh ribuan massa penyerang yang disinyalir berasal dari berbagai etnis lampung.
Belum jelas siapa yang memobilisasi ribuan orang dalam waktu singkat untuk melakukan penyerangan sistematis seperti ini. Seorang saksi yang saya wawancara menceritakan kecurigaannya ketika kerumunan massa penyerang berhenti sejenak dan salah satu anggota kerumunan massa tersebut berteriak ‘Tanya Abang,Tunggu komando Abang .’ Entah siapa “Abang” yang ia maksud, namun sudah cukup menjelaskan bahwa penyerangan ini terorganisir. Kerusuhan ini berakhir dengan evakuasi warga desa Balinuraga dan menelan 14 korban jiwa. Meskipun begitu perdamaian antara kelompok yang bertikai baru tercapai seminggu kemudian, itupun baru pada tingkatan elit.
Menemukan korelasi ekonomi politik pada kekerasan komunal, memang bukan perkara gampang. Terlebih informasi mengenai keterkaitan kekerasan komunal dengan dinamika politik hampir mustahil akurat karena dinamika sosial tidaklah seperti deretan angka statistik. Meskipun begitu upaya menemukan korelasi politik terhadap kasus kekerasan komunal penting untuk dilakukan untuk mengurai kekerasan komunal tersebut. Model analisa dinamika perseteruan dapat digunakan untuk menguji korelasi politik dengan kerusuhan/perseteruan komunal seperti yang terjadi di Lampung.
Dinamika perseteruan mengidentifikasi lima indikator untuk menganalisa perseteruan politik yaitu; pembentukan identitas, eskalasi konflik, polarisasi politik, mobilisasi dan pembentukan aktor. Kelima indikator ini dapat mengurai kusutnya fakta yang muncul di sekitar kasus kerusuhan komunal yang seringkali terjadi tak terduga. Dalam tulisan sebelumnya, saya telah mengurai operasional kelima indikator ini.
Pembentukan identitas dalam konteks ini bukanlah pembentukan identitas budaya sebagai budaya melainkan pembentukan identitas politik. Identitas komunal pasca orde baru selalu bereskalasi pada identitas etnis dan relijius. Kedua identitas ini secara efektif mampu mengumpulkan solidaritas massa dari berbagai kalangan sekaligus dapat dimanfaatkan dalam mobilisasi politik. Asumsi ini dapat dibuktikan dengan banyaknya kandidat politik yang menyematkan gelar relijius (mis, Haji, Pendeta, dll) dan gelar etnis (mis, Sultan, Raden, marga, dll) untuk mendapatkan dukungan dari komunitas yang berkaitan dengan identitas tersebut.
Pembentukan identitas politik juga terjadi di Lampung Selatan. Gelar-gelar adat yang sebelumnya tidak digunakan kini mulai direstorasi, identitas-identitas lokal yang beragam seperti perbedaan antara saibatin, pepadun dan paksi di suku Lampung kembali muncul. Berbeda halnya dengan etnis Bali yang identitas komunal melalui gelar-gelar adatnya memang tidak pernah ditinggalkan karena terintegrasi dengan ritual-ritual keagamaannya. Pembentukan identitas ini tidak menimbulkan masalah selama tidak berubah menjadi kampanye diferensiasi identitas yang mengarah pada provokasi penolakan terhadap komunal tertentu.
Namun, pada konteks transisi politik yang sedang dijalani oleh Indonesia, dengan munculnya desentralisasi/otonomi daerah yang memungkinkan daerah memiliki kekuasaan maksimal terhadap sumber daya dan keuangan di daerahnya, pembentukan identitas komunal seringkali diarahkan pada kepentingan politik elit lokal. Terbukanya kran kekuasaan finansial yang besar di daerah, selalu menciptakan motivasi politik para elit lokal. Elit lokal tersebut tidak hanya berasal dari sipil, mungkin juga muncul dari pihak militer atau purnawirawan militer atau siapapun patron lokal yang mampu membaca peluang politik tersebut.
Peluang politik yang disediakan oleh otonomi daerah memang menjanjikan harapan yang besar pada jumlah potensi finansial daerah, namun juga berwajah putus asa oleh ketidakpuasannya dengan penguasa lokal dan nasional. Dalam kondisi tersebut, patron-patron lokal yang sebelumnya tidak bersikap sebagai oposisi dapat bermanuver untuk memperbesar peluang politiknya. Manuver tersebut dapat menghasilkan krisis politik jika penguasa lokal mulai pudar pengaruhnya. Situasi krisis politik inilah yang sedang terjadi di Lampung Selatan atau mungkin provinsi Lampung.
Eskalasi konflik di Lampung Selatan yang terhitung sejak Januari tahun ini kemudian memuncak pada kerusuhan Oktober. Setiap episode konflik memiliki domain yang berbeda-beda, namun dapat terintegrasi pada puncak konfliknya meskipun belum sepenuhnya mencapai titik didih. Secara dramatis, legitimasi politik Bupati Lampung Selatan semakin menurun karena kegagalannya menangani kerusuhan di wilayahnya, begitu juga dengan sang Ayah yang mulai mendapat kecaman. Bahkan, para pejabat lain ikut tertimpa dampaknya seperti Kapolda Lampung yang gagal menjadi Kapolda Jawa Barat karena terpotong kasus ini.
Setelah eskalasi konflik memanas, polarisasi politik dengan segera muncul seiring dengan peluang politik yang didapat dari peristiwa. Polarisasi politik ini menunjukkan peta perseteruan kekuasaan yang menentukan pada kontestasi kekuasaan lokal atau secara simultan juga berpengaruh pada dinamika kontestasi kekuasaan nasional. Polarisasi politik tidak berjalan statis dan merupakan akhir, namun masih terus berkembang hingga kontestasi dalam arena demokrasi lokal ataupun nasional terjadi.
Dua indikator terakhir dinamika perseteruan adalah yang paling berkaitan yaitu mobilisasi dan pembentukan aktor. Mobilisasi yang dimaksud tidak terbatas pada mobilisasi massa pada saat kekerasan komunal terjadi, namun serangkaian kejadian yang secara eskalatif melahirkan peluang politik yang akan membentuk aktor-aktor baru dalam kontestasi politik. Kekerasan komunal dalam bentuk kerusuhan antar etnis selalu didahului oleh sederetan perubahan sosial yang mendahului konflik. Perubahan konfigurasi ekonomi politik sangat berpengaruh pada perubahan ini. Di Lampung Selatan, misalnya, yang harus diperhatikan adalah bagaimana perubahan pemilikan lahan, pembangunan infrastruktur baik swasta maupun Negara yang mengubah pranata sosial seperti terjadinya deagrarianisasi dengan munculnya industri manufaktur atau industri perkebunan dan tingkat pendapatan masyarakat.
Perubahan sosial ini seringkali dibarengi dengan pembentukan identitas komunal tertentu yang kemudian menjadikan komunal-komunal tersebut semakin waspada akan ancaman dan peluang yang menguntungkan mereka. Di Lampung Selatan, proses ini dapat terlihat ketika orang Lampung menyebut etnis Bali sebagai ‘Pendatang’ yang berkonotasi liyan terhadapnya. Pemisahan identitas ini kemudian mendorong terbentuknya organisasi-organisasi untuk menangani ancaman tersebut. Organisasi yang dimaksud bukan hanya dalam bentuk ormas yang dikenal secara luas, namun juga dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan yang bersifat territorial yang longgar.
Pada saat konflik memuncak atau menemukan momentumnya untuk pecah, organisasi-organisasi tersebut melancarkan aksi kolektif menentang pihak lain. Pada kerusuhan Oktober, tersebar pesan pendek gelap yang isinya memprovokasi kedua belah pihak. Selain itu lansiran opini-opini mengenai kerusuhan Oktober di berbagai media internet bernada provokatif, bermunculan dari kedua belah pihak yang bertikai. Keadaan ini terus terjadi hingga puncak kerusuhan dan menghasilkan eskalasi ketidakpastian yang memperbesar ancaman dan peluang tadi, persis seperti yang sedang dihadapi oleh etnis Bali dan Lampung setelah kerusuhan ketika kesepakatan perdamaian belum juga tercapai.
Dalam kondisi ini tentu saja dibutuhkan orang-orang yang mampu memastikan keadaan dan mencegah konflik berkelanjutan. Kondisi ini mendorong munculnya aktor-aktor baru yang sebelumnya tidak pernah terdengar atau tidak dikenal luas dan dinilai lebih netral. Pada kasus kerusuhan Oktober di Lampung ini, nama-nama baru mulai mencuat di media massa nasional. Tidak itu saja, lembaga-lembaga komunal pun bermunculan secara bertahapk, baik yang mengambil sikap untuk menegaskan demarkasi komunal maupun yang berusaha mendamaikan konflik.Terlepas dari penilaian normatif baik atau buruknya kemunculan para aktor tersebut, mereka kini merupakan aktor-aktor kunci yang mampu menengahi konflik yang sedang terjadi.
Meskipun begitu, kemunculan para aktor ini tidak akan berarti apapun jika konsensus antara kedua pihak yang bertikai gagal diperoleh. Apalagi jika permasalahan yang muncul di lapisan bawah hanya diendapkan. Persoalan lain yang masih kabur seperti korelasi luas pada keadaan ekonomi masyarakat dengan kerusuhan, juga perlu diteliti lebih mendalam.
Korelasi vertikal dengan politik nasional yang dilontarkan oleh aktivis pro-demokrasi mengenai kaitan rangkaian kekerasan komunal sepanjang 2012 dengan pembahasan RUU Kamnas (Rancangan Undang-Undang keamanan Nasional), pun perlu diperhatikan secara serius. Sangat tidak menutup kemungkinan isu keamanan dijadikan landasan untuk memeroleh pembenaran kembalinya rezim stabilitas ala Orde Baru yang dimuat dalam RUU Kamnas yang menguatkan kembali peran militer. Namun, dalam konteks kerusuhan Lampung asumsi ini hanya memiliki korelasi luas yang lemah, kecuali secara simultan mampu mendukung opini stabilitas nasional.
Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa secara strategis, Lampung Selatan memiliki potensi ekonomi yang begitu besar sehingga pertaruhan kekuasaan di tingkat lokal dapat lebih berperan ketimbang pembentukan opini nasional. Selain itu, peluang pengesahan RUU yang kontroversial tersebut tidak seterang kepastian mega proyek Jembatan Selat Sunda yang sudah ditaksir oleh dua puluh calon investor dari Cina, Korea, Jepang ,dan Amerika Serikat. Indikator lain adalah kampanye ‘Damai Itu Indah’ Komandan Korem Garuda Hitam, yang kini sedang mencoba peruntungan pada pemilihan gubernur Lampung, juga menunjukkan tingginya pertaruhan kekuasaan lokal di Lampung. Dalam dinamika perseteruan, massa digerakkan oleh ketakutan-ketakutan politik sementara elite membuat perhitungan sendiri berdasarkan peluang politik.
Simpulan
Kekerasan komunal yang terjadi di Lampung Selatan bersifat lokal dan menemukan bentuknya dalam konfigurasi sosial yang ada di Lampung Selatan. Dengan demikian, peristiwa ini tidak memiliki penyebab tunggal melainkan irisan dari berbagai permasalahan yang saling berkaitan. Analisa mainstream yang menempatkan konfigurasi sosial sebagai akar permasalahan kekerasan komunal di Lampung Selatan, bukan saja meleset namun mengabaikan unsur-unsur ekonomi politik yang membentuk potensi konflik.
Konflik kekerasan komunal seperti yang terjadi di Lampung Selatan dan daerah lainnya di Indonesia, selalu memiliki korelasi dengan perseteruan politik di tingkat lokal dan potensi ekonomi yang bakal muncul di daerah tersebut. Korelasi luas kekerasan komunal di Lampung Selatan, dapat dilacak dari keluhan ekonomi dan konstelasi politik nasional bukan terletak pada konfigurasi sosialnya. Konflik secara vulgar memisahkan kelompok pendukung dan penentang penguasa lokal karena dapat dengan mudah menunjukkan keberpihakan penguasa. Setiap tekanan ataupun simpati dapat terekam dengan jelas dalam ingatan massa yang sedang mengalami eskalasi konflik.
Korelasi luas pada politik nasional tidak tepat jika hanya diarahkan pada RUU Kamnas, namun yang harus diwaspadai adalah meluasnya wacana persetujuan depolitisasi ala Orde Baru. RUU Kamnas hanyalah instrumen bagi bergeraknya pendulum demokrasi ke arah otoritarianisme dengan alasan meluasnya sentimen primordialisme dan merebaknya kerusuhan ‘horisontal’ yang mengancam integrasi bangsa. Tapi saya setuju bahwa dalam konteks penyelesaian kekerasan komunal, pendekatan keamanan harus dihindari.***
Daftar Pustaka
Buku:
Addison, Michael. 2002. Violent Politics; Strategies of Internal Conglict. Palgrave. London
Davidson, James S., David Henley dan Sandra Moniaga. 2010. Adat dalam Politik Indonesia. Penerbit KITLV Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Klinken, Garry. V. 2007. Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Kriesberg. L. 1998. Constructive Conflicts from Escalation to Resolution. Boulder Rowman and Liftfield Publisher. Inc. New York
McAdam, D., Tarrow, S. dan Tilly, C. 2001. Dynamics of Contention.Cambridge University Press. New York.
Ritzer, George, Douglas J. Goodman. 20011. Teori-Teori Sosiologi Modern.Penerbit Kencana. Jakarta.
Surat Kabar:
Kompas/3/November/2012. Konflik Lampung: Perdamaian Antarwarga terus Diupayakan.
Kompas/2/November/2012. Kasus Lampung: Harus bangkit bangun Potensi.
Internet:
_______________________________-
*) Mahasiswa pascasarjana Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Bandung,
Koord. kajian politik kontemporer, Forum Studi Ilmu Politik (FORSIP)
Dimuat dalam jurnal indoprogres.com pada 5 November 2012