Oleh : M.
Saddam SSD. Cahyo*
Buku :
RISALAH
URAT TUNGGANG PANTJASILA
karya
HAMKA
Terbitan
Pustaka Keluarga Djakarta, Tahun 1952.
Buku berjudul Risalah
Urat Tunggang Pancasila ini merupakan salah satu karya klasik yang sangat
penting dalam sejarah pergulatan wacana ideologi Pancasila di Indonesia. Hamka,
salah seorang tokoh intelektual muslim yang paling berpengaruh itu memulainya
dengan penegasan urutan sila KETUHANAN YANG MAHA ESA dengan cetakan huruf besar
sebelum sila lainnya yang ditulis wajar: Peri-kemanusiaan; Keadilan Sosial;
Kedaulatan Rakyat; dan Kebangsaan (hal.4).
Penyusunan risalah ini sendiri dibuat Hamka dalam rangka merespon dorongan kaum pergerakan Islam di tanah air yang merasakan sentimen atas pidato Presiden Sukarno saat peringatan Isra Miraj di Istana Negara Jakarta tanggal 8 Mei 1951. Pada momentum itu, Bung Karno, sapaan akrabnya, menyerukan kepada kaum muslimin pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya agar berjuang menegakkan negara dalam semangat persatuan yang kokoh dan tidak bercerai-berai serta menjadikan Pancasila sebagai dasar perjuangannya.
Menurut Bung Karno, saat itu masih
terdapat ragam golongan pergerakan nasional yang berjuang
masing-masing dan saling memunggungi,
lantaran memakai dasar yang Keadilan Sosial saja, atau memakai Ketuhanan Yang
Maha Esa saja, dan seterusnya. Padahal
semestinya Pancasila itu diperjuangkan ibarat Rukun Islam, yang tak
boleh satu mengabaikan lainnya dan tak bisa
dikerjakan secara parsial, melainkan serentak keseluruhannya patut
diposisikan sebagai dasar perjuangan untuk mencapai cita-cita kemerdekaan bangsa
Indonesia yang seutuhnya.
Asas Tauhid dalam Pancasila
Hamka secara objektif paham betul maksud pidato Bung Karno, bahwa
tak ada maksud untuk menyinggung kaum pergerakan berlatar agamis, baik kalangan
Islam, Protestan, maupun Katolik. Ia kemudian merasa tergerak untuk
menjernihkan pandangan kaum pergerakan Islam di tanah air tentang hal ihwal
Pancasila itu. Menurut Hamka, menjadi
wajar jika kaum muslimin mendasari
perjuangannya dengan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa saja, karena selaras
dengan asas Tauhid. Hal ini dimaknai sebagai pengakuan atas satu kepercayaan
Kesatuan Allah baik dalam ketuhanannya, perbuatannya, maupun kekuasaannya.
Ketuhanan Yang
Maha Esa mencakup tiga perkara kepada yang satu, yakni manusia, seisi kehidupan
manusia, dan seluruh semesta alam, baik yang bernyawa maupun tidak, merupakan
satu kesatuan Makhluk, yang diciptakan oleh sang Khalik. Tuhan Yang Maha Esa
atau Rabbun itu senantiasa memelihara dan menjaga tiap-tiap Makhluknya dengan
sifat Rahman dan Rahim, pengasih dan penyayang, sehingga Qudrat dan Iradat-Nya
lah yang berlaku dalam pertalian Makhluk dengan Tuhan.
Bagi kaum
pergerakan Islam, seluruh hidup ini berlangsung atas kehendak Allah, inilah
Rahmat Ilahi itu, dan berpegang pada prinsip berasa Rahimlah terhadap sesuatu
di Bumi agar dirahimi pula oleh yang di langit, karena setiap insan diciptakan
untuk mengabdi pada Tuhan Yang Maha Esa. Tampak jelas betapa besarnya rahmat
Ilahi itu atas manusia dan semesta alam beserta isinya, sehingga tak ada
kesempurnaan makhluk, keindahan alam, keteraturan hidup dan kepastian jalan
tanpa-Nya.
Karenanya seorang
muslim selalu mempertinggi nilai hidupnya dengan beribadat dan berbakti kepada
Allah. Ibadat sendiri tak sekedar terpaku pada ritual semata, melainkan seluruh
segi kehidupan, karena hubungan manusia dan Tuhan tidaklah berjarak dan berperantara.
Keyakinan pada Ketuhanan Yang Maha Esa itu kemudian diimani sebagai Sabilillah
atau jalan Tuhan. Maka tak heran jika dijumpai suatu perkara yang dirasa tak
selaras dengan jalan Ilahi itu, kaum muslimin kerap meluap naik semangatnya
untuk bereaksi, sebab hidupnya adalah bakti dan matinya itu syahid.
Keteguhan pada
dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu dalam rentang perjalanan sejarah bangsa ini
telah mendorong lahirnya tokoh-tokoh besar yang merintis perjuangan kemerdekaan
dari kondisi keterjajahan bangsa asing. Ia menumbuhkan nyala jiwa yang
berapi-api pada sosok heroik seperti Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol,
Teuku Cik Ditiro misalnya. Bahkan pada masa meletusnya revolusi kemerdekaan
Indonesia, Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi satu-satunya tempat bergantung bagi
hati Bung Karno dan Bung Hatta, para pemimpin maupun seluruh rakyat dalam
perjuangan yang penuh pengorbanan itu.
Pada masa-masa
genting dalam menghadapi berbagai macam halang rintang perjuangan kemerdekaan
baik dari masanya kolonial Belanda sampai bengisnya fasisme Jepang, dan
ditangkap serta diasingkannya pucuk kepemimpinan nasional Bung Karno dan Bung
Hatta, perjuangan seluruh rakyat tidaklah kunjung padam dan mereda. Hal itu
semata-mata karena bukan kepada Sukarno atau Muhammad Hatta atau manusia
pemimpin lainnya yang mereka jadikan sandaran, melainkan dasar Ketuhanan Yang
Maha Esa itulah yang menjadi bekal ketulusan dan kokohnya mentalitas manusia
Indonesia untuk merebut kemerdekaan bangsanya.
Urat Tunggang Pancasila
Hamka kemudian
menegaskan bahwa lantaran sepenuh hati berjuang dengan sila Ketuhanan Yang Maha
Esa, maka dengan sendirinya akan dimiliki pula Sila Peri-kemanusiaan.
Sebabnya manusia dan kemanusiaan yang setinggi-tingginya, pada keyakinan dan
kepercayaannya, ialah yang paling dekat hubungannya dengan Tuhan. Sabda Tuhan
sangatlah jelas bahwa kemanusiaan itu satu, sebagaimana hadis Rasul perihal
yang sebaik-baiknya manusia ialah yang banyak manfaatnya kepada sesama.
Peri-kemanusiaan
itu sendiri bukanlah barang baru dibuat, direncanakan, atau difilsafatkan,
melainkan bagian tak terpisahkan dari keimanan yang tumbuh langsung dari sila
paling pokok Ketuhanan Yang Maha Esa itu. apabila ada yang melanggar batas
perikemanusiaan, ia tidaklah bertanggungjawab di hadapan sesama manusia, bukan
pula di hadapan Bung Karno yang dikenal sebagai pelopor filsafat Pancasila,
melainkan di hadapan Tuhan atas apa yang disebut Dosa. Tidaklah ada kelebihan
seseorang manusia daripada manusia yang lainnya, karena yang mulia dipandang
Allah hanyalah ia yang bertakwa kepada-Nya.
Allah dalam
firman-firman Nya senantiasa memerintahkan umat Islam untuk memelihara anak
yatim, mengurus fakir miskin, memperhatikan kesejahteraan tetangganya, saling
tolong menolong dan bantu membantu, menunaikan zakat dan bersedekah, serta
menghindari sifat riya kesombongan. Tidak satupun celah untuk bisa diragukan
bahwa perintah Tuhan itu tak lain untuk mewujudkan Sila Keadilan Sosial.
Maka barang siapapun yang percaya dan berpegang pada dasar Ketuhanan Yang Maha
Esa, ia akan menuntut Keadilan Sosial. Jika tidak, berarti ia membohongi
agamanya, menyia-nyiakan salatnya, dan dijanjikan Neraka Wail terhadapnya.
Bagi mereka yang
menjunjung dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, tak ada manusia yang diberi hak untuk
menguasai sesamanya. Nilai yang dianut melampaui nilai-nilai demokrasi ala
Barat, dan di sinilah letaknya Sila Kedaulatan Rakyat. Prinsipnya adalah
kepercayaan bahwa manusia pemimpin adalah Khalifah Tuhan di Bumi, tetapi kepemimpinan
itu diberikan karena adanya kehendak rakyat yang sesungguhnya berdaulat dan
berkuasa. Amanat kekuasaan yang diridhoi Allah ialah yang dihasilkan melalu
permusyawaratan rakyat untuk memilih bentuk pemerintahan menurut konteks tempat
maupun zamannya.
Relasi kekuasaan yang
disyaratkan adalah agar pemimpin yang dipercayakan rakyat itu diwajibkan untuk
menjalankan keadilan, sementara rakyat pemberi kekuasaan harus mengawal dan
menjaganya agar tak keluar dari jalan keadilan itu. Suatu bangsa harus memegang
tiga pokok dari kemerderkaan: 1) Merdeka Iradah atau Kehendak, untuk senantiasa
memperjuangkan yang maaruf atau kebaikan; 2) Merdeka Pikiran, untuk senantiasa
berani melawan yang munkar atau keburukan; 3) Merdeka Jiwa, untuk bebas dari
ketakutan apapun karena perjuangannya hanya dikarenakan kehendak Tuhan.
Selanjutnya Sila
Kebangsaan yang sesungguhnya paling rentan karena bangsa itu sendiri adalah
konsepsi yang abstrak dan bias subjektif. Namun, bagi pemegang dasar Ketuhanan
Yang Maha Esa itu, senantiasa meyakini perintah Ilahi sebagaimana terbunyikan dalam
Al Quran Surat Al Hujurat Ayat 13:
"Hai manusia, sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal."
Dengan demikian
perihal kebangsaan Indonesia itu dengan segala keanekaragaman suku bangsa yang
terkandung di dalamnya mendapatkan jaminan keselamatan dan eksistensinya untuk
tumbuh dengan rukun, damai, kokoh, dan adil makmur di negara berjuluk Indonesia
ini.
Hamka meyakini apa
yang digugat oleh Bung Karno dalam pidatonya itu pada intinya menyasar pada
golongan pemeluk agama baik Islam maupun lainnya yang tidak mengerti hal ihwal
perjuangan dan pergerakan nasional, yang abai dan tidak pernah terlibat dengan
sungguh-sungguh dalam upaya menegakkan Negara Pancasila ini. Karenanya Hamka
turut menegaskan agar tiap-tiap kelompok agamis khususnya kaum muslimin untuk
bergotongroyong dalam perjuangan dengan mendasari diri pada Sila Ketuhanan
Yang Maha Esa sebagai urat tunggangnnya Pancasila itu, maka dijamin
terpeliharalah keempat sila yang lainnya.
Akhir kata, meski
ditulis lebih dari tujuh puluh tahun yang lalu, risalah Urat Tunggang Pancasila
karya Hamka atau yang bernama lengkap Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah,
gelar Datuk Indomo serta populer dengan nama penanya, Buya Hamka (17 Februari
1908 – 24 Juli 1984) ini masih sangat relevan dan kontekstual untuk dibaca oleh
generasi muda sekarang ini agar pemahamannya akan ideologi Pancasila bisa
terbangun secara holistik. Tetapi tentunya perlu diiringii pula dengan
memperkaya asupan bacaan pemaknaan Pancasila dari tokoh bangsa yang lainnya.
Salam Pancasila!
------------------
*) Mahasiswa
Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Bekerja sebagai Analis
Kebijakan pada Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP RI).
TERBIT di:
https://www.gemapos.id/26673/hamka-ketuhanan-yang-maha-esa-nafas-islam-dalam-perjuangan-tegaknya-pancasila#google_vignette
https://gemapos.id/26673/hamka-ketuhanan-yang-maha-esa-nafas-islam-dalam-perjuangan-tegaknya-pancasila
https://diksimerdeka.com/2024/12/10/ketuhanan-yang-maha-esa-nafas-islam-dalam-perjuangan-tegaknya-pancasila/#google_vignette
https://merdika.id/ketuhanan-yang-maha-esa-napas-islam-dalam-perjuangan-tegaknya-pancasila/