Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Jumat, 18 Maret 2022

Obituari: M Yusuf Rizal dan Tragedi UBL Berdarah 28 September 1999


Oleh : M. Saddam SSD. Cahyo*

Muhammad Yusuf Rizal atau yang akrab disapa Ijal merupakan satu dari sekian banyak nama anak bangsa Indonesia yang gugur sebagai martir perubahan dalam memperjuangkan demokrasi di penghujung milenium kedua.  Ia dan Saidatul Fitria alias Atul tewas terbunuh secara mengenaskan akibat kekejian represi aparat dalam peristiwa kelam yang dijuluki Tragedi UBL Berdarah 1999. Hingga kini kasusnya tak pernah sungguh-sungguh terselesaikan, bersamaan dengan kasus pelanggaran HAM lainnya oleh alat negara yang daftarnya menggunung tinggi tapi selalu ditenggelamkan.

Tragedi ini telah menyisakan efek traumatis yang teramat dalam bagi ratusan orang yang terlibat langsung di dalamnya. Sebagai catatan, ia juga mendorong lahirnya beberapa karya sebagai upaya untuk terus merawat dan mewarisi ingatan akan episode yang belum tuntas dipertanggungjawabkan ini. Semisal dari musisi Dompak “Red Flag” Tambunan tercipta lagu berjudul G/28S/TNI. Sastrawan Rilda Oe. Taneko menelurkan novel berjudul Anomie. Sementara jurnalis cum sastrawan, Udo Z. Karzi menulis empat buah sajak berbahasa Lampung untuk memotret kisah pilu ini.

Mengurai Latar Tragedi Berdarah

Selasa, 28 September 1999, sejak pagi hari ratusan massa dari berbagai aliansi pergerakan di Lampung, baik dari unsur rakyat miskin perkotaan, pelajar, dan terutama mahasiswa melakukan aksi longmarch dari berbagai arah dengan titik tujuan utama Markas Korem 043 Garuda Hitam. Demonstrasi itu merupakan bagian dari gerakan solidaritas nasional pasca tewasnya Yap Yun Hap, aktivis mahasiswa UI yang ditembak peluru tajam tentara dalam Tragedi Semanggi II tanggal 24 September 1999 pada gelombang aksi menolak RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB).

Arus massa aksi yang penuh gelora itupun secara spontan memilih Markas Koramil Kedaton yang berada persis di zona kampus (Jalur Dua Jl. Z.A. Pagar Alam, Kedaton-Rajabasa) sebagai titik awal pemanasan. Tuntutannya agar diturunkan bendera setengah tiang dan ditandatanganinya petisi persetujuan menolak pengesahan RUU PKB itu oleh Danramil. Tapi sayangnya suasana begitu mudah bergolak, entah bagaimana prosesnya barisan demonstran mendesak maju menembus gerbang. Merasa terdesak, prajurit justru terprovokasi untuk bertindak brutal dengan melepas rentetan tembakan membubarkan barisan demonstran.

Di momen bentrokan pertama itulah salah seorang demonstran, M. Yusuf Rizal mahasiswa Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Lampung Angkatan 1997 yang turut berlari mundur ke arah kampus Universitas Bandar Lampung (UBL) seketika terperosok ke dalam parit. Tubuhnya terkulai lemah dengan darah yang mengucur deras membasahi slayer yang kerap terikat di leher dan kemeja flanel kotak-kotak andalannya.

Diceritakan oleh tiga orang penyintas eks-aktivis mahasiswa UBL masa itu, dalam podcast youtube channel DRB TV (https://www.youtube.com/watch?v=LbGbORfkKTI) dan CAWO EKAM (https://www.youtube.com/watch?v=MfjaGV0T3Do), Romli berada di parit yang sama dengan Ijal, dan mengaku sempat memegangi kakinya agar tidak roboh. Sementara Deni Ribowo dan Setiawan Batin ikut mengevakuasi Ijal ke RS Imannuel dengan menggunakan mobil salah seorang dosen UBL.


                        (Kliping Koran Perihal Tewasnya Ijal - Sumber: Koleksi Ahmad Jusmar)

Ia kemudian dirujuk ke RSU Abdoel Moeloek untuk mendapatkan perawatan intensif, tapi sayangnya di hari itu juga Ijal dinyatakan tewas akibat dua luka tembak peluru tajam. Salah satunya yang paling fatal di dada kanan menembus hingga bagian leher bawah belakang (Suara Pembaruan, 29/9/99). Kabar buruk itu lekas menyebar dan memicu simpati spontan dari seluruh elemen mahasiswa di Lampung. Siang harinya, gelombang aksi solidaritas yang lebih besar pun terus mengalir ke titik lokasi tragedi.

Polda Lampung untuk mengatasi situasi ini segera menurunkan pasukan organik Brimob yang konon baru saja kembali dari wilayah konflik di Timor Timur/Timor Leste. Alhasil tensi kedua pihak sama-sama tak terbendung lagi, hingga terjadilah bentrok kedua yang lebih sengit dan tak seimbang yang berlangsung hingga sore hari. Tanpa keraguan, aparat pun dengan beringas merangsek masuk ke semua penjuru kampus, terutama UBL untuk memburu massa aksi yang kocar-kacir.

Beberapa penyintas mengisahkan tindakan brutal aparat seperti memukulkan tongkat rotan secara membabi buta, menembakkan peluru karet ke arah yang tak beraturan, menusukkan sangkur, todongan pistol, bahkan ada yang berbuat pelecehan. Setidaknya 31 orang tercatat mengalami luka serius akibat pendarahan di kepala, tangan, dan perut. Sementara puluhan orang lainnya luka-luka ringan sampai sedang (Harian Kompas, 29/9/1999).

Di momen bentrokan kedua inilah, Saidatul Fitriah mahasiswi Jurusan Bahasa Inggris FKIP Unila yang juga jurnalis Surat Kabar Mahasiswa TEKNOKRA turut menjadi korban saat menjalani tugas peliputan. Ia ditemukan tak sadarkan diri dengan kondisi luka parah di bagian tengkorak kepala, yang diduga kuat akibat poporan senjata laras panjang. Ia dilarikan ke RS Advent kemudian dirujuk ke RSUDAM untuk tindakan operasi. Namun, setelah menjalani koma selama lima hari, Atul pun menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya.

 

(Foto-Foto Hasil Liputan Atul di Lokasi Tragedi - Sumber: Koleksi UKPM Teknokra Unila)

Kabar duka semacam ini  terjadi pula di beberapa kota  dalam rangkaian aksi yang sama, yakni menolak RUU PKB yang muncul di masa peralihan dari kepemimpinan Habibie kepada pemerintahan baru hasil Pemilu 1999. Publik menganggap regulasi ini berpotensi mengancam demokrasi karena melemahkan pemerintahan transisi reformasi pasca Orde Baru, yakni untuk menggelar karpet merah bagi kembalinya praktek otoritarianisme ala Dwifungsi ABRI yang baru saja dicabut. Namun, sejarah mencatat pengorbanan mereka semua tidaklah sia-sia, sebab RUU PKB yang rentan menimbulkan abuse of power itu batal disahkan oleh rezim manapun jua (Hukum Online.Com, 23/10/2000).

Ijal Sang Pejuang Altruis

Patut disyukuri, elemen pergerakan khususnya mahasiswa di Lampung tampak begitu setia menaruh perhatian pada Tragedi UBL Berdarah 1999. Selama 22 tahun berlalu, rasanya tak sekalipun terlewatkan digelar berbagai rangkaian kegiatan untuk memperingatinya, baik berupa demonstrasi, forum diskusi, hingga pementasan seni. Rasanya final bagi kita semua, Ijal dan Atul adalah Pahlawan Reformasi yang membanggakan dari Tanah Lada ini.

Namun, seperti ada yang terlewatkan dalam narasi sejarah yang dominan dituturkan.  Aktivis gerakan mahasiswa, jurnalis, maupun para tokoh penyintas cenderung hanya membicarakan seputar latar peristiwa penolakan RUU PKB, kronologis tragedi, buntunya penegakkan keadilan, peran-peran heroisme pribadi, serta detail kenangan tentang Atul yang memang mencerminkan idealisme jurnalis. Dibandingkan Atul yang mungkin bisa disebut “korban salah sasaran”, sosok Ijal yang demonstran betulan saat itu justru “agak terpinggirkan” dan malah dipenuhi dengan kabar yang kabur.

Harumnya nama Atul semisal dapat ditengok dari apresiasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung yang sejak tahun 2008 rutin menggelar Saidatul Fitria Award bagi karya jurnalistik yang memiliki dampak positif bagi demokrasi. Juwendra Asdiansyah misalnya jurnalis kawakan yang di masa itu menjabat sebagai Pemimpin Umum UKM Pers Mahasiswa Teknokra Unila bahkan rutin bicara dan telah mencatatkan ingatannya dalam buku berjudul Pertengkaran Orang Baik yang terbit tahun 2021. Lantas, siapa sebenarnya M Yusuf Rizal? Bagaimana sosoknya baik dalam perjuangan, perkuliahan, keluarga, bahkan percintaan?

Penelusuran informasi terus menggelinding bak bola salju untuk menjumpai kontak demi kontak pribadi yang mengenal baik sosok mendiang Ijal. Melalui forum daring saya berhasil berbincang dengan beberapa rekan seperjuangannya seperti Surya Adhi (Ilmu Pemerintahan ’97), Taufik Hidayat/Galang (Ilmu Pemerintahan ’97), Laila Ahmad/Uthet (Humas ’99), Suci Perlindungan (Ilmu Tanah ’97), Berga Saragih (Sosiologi ’97), Bella Suzantina (Komunikasi ’97). Kedekatan mereka dengan Ijal sebagai inner circle pergaulan kesehariannya dalam beberapa tahun menyandang status aktivis mahasiswa hingga ajal menjemput tak bisa diragukan. Terlebih Berga sahabat karibnya sejak Penataran P4 di awal perkuliahan.


(Foto Bundel Kliping Kenangan Keluarga M Yusuf Rizal - Sumber: Koleksi Ahmad Jusmar)

Ijal sama sekali bukan aktivis karbitan, apalagi sekedar ikut-ikutan. Ia merenangi dunia kampus persis di masa puncak krisis politik nasional alias ketika Indonesia hamil tua. Sebagai mahasiswa FISIP Unila, tentu sejak awal ia sudah melebur dalam kultur perjuangan. Bermula dari seringnya ikut diskusi dengan para senior di fakultas, ia bersama beberapa rekan seangkatan seperti Surya, Andrianto, Muzzamil, Galang, Aprica Winata, dan Berga membentuk sebuah Kelompok Diskusi bernama CIKAL, akronim dari Cermin Ilmu dan Kreativitas Intelektual.

Ijal tercatat sebagai anggota aktif UKM-F CAKRAWALA yang menjadi saluran hobi pecinta alamnya sejak remaja. Ia tak sekedar gemar mendaki demi menikmati hening dan menghirup segarnya udara murni pegunungan, tetapi juga mengidolakan mendiang Soe Hok Gie berikut pemikirannya yang kerap ia kutip dan tulis di sela buku harian. Hal ini membuatnya tumbuh menjadi sosok aktivis yang romantik dan kontemplatif serta menggandrungi sastra.

Pada suatu aksi mogok makan yang diikutinya, tanggal 3 Oktober 1997 Ijal berteriak keras di dalam hati dan menuliskannya sebagai puisi “Diam adalah Aksi!” di secarik kertas. Ya, dari keterangan rekan-rekannya, Ijal memang bukan tipikal orator yang haus panggung. Tapi soal demonstrasi, ia nyaris tak pernah absen. Konon, ia punya posisi favorit di barisan terdepan sebelah kanan sambil memegang bendera atau juga spanduk tuntutan. Ini bukan tanpa alasan, dengan sosok tubuhnya yang tinggi besar ia merasa lebih mudah membuka jalan bagi kawan-kawannya jika terjadi bentrokan. Sebuah cerminan sikap atruistik yang dimilikinya.

Sidang Paripurna MPR RI tanggal 11 Maret 1998 yang resmi melantik Soeharto sebagai Presiden untuk ketujuh kalinya, didampingi B.J. Habibie dalam masa jabatan 1998-2003 telah menuai protes keras di seluruh penjuru negeri. Tak luput, mahasiswa Lampung berdemonstrasi nyaris setiap hari, hingga meletuslah Tragedi Gedung Meneng Berdarah pada Kamis, 19 Maret 1998 di Jalur Dua Unila Jl. Soemantri Brojonegoro. Meski tak ada korban jiwa, puluhan mahasiswa terluka akibat bentrokan hebat dengan aparat itu. Ijal tak ketinggalan turut serta menyala sebagai titik api dalam momentum aksi besar ini. Hingga setelahnya, sebuah sajak mengharukan karya Iswadi Pratama untuk mengenang peristiwa ini selalu terlipat rapih dan terselip di dompetnya.


                    (Foto Puisi Iswadi Pratama Favorit Ijal - Sumber: Koleksi Ahmad Jusmar)

Usai ikut bergulung peluh merobohkan tirani Orde Baru, Ijal dan kawan-kawannya dari beragam Kelompok Diskusi yang tumbuh menjamur di masa itu menginisasi konsolidasi gerakan mahasiswa pasca reformasi, khususnya di dalam kampus. Guna mengisi kevakuman Senat Mahasiswa Unila dan berangkat dari pandangan agar lembaga internal kampus bisa hadir dengan spirit progresif-revolusioner, mereka membentuk sebuah organisasi wadah bernama Dewan Mahasiswa (Dema-Unila) yang diketuai oleh Surya Adi. Sementara Ijal bertugas di Departemen Pengembangan Organisasi (DPO).

Bersama DEMA Unila, aktivisme Ijal semakin matang ditempa. Meski tidak resmi diakui Rektorat, kala itu aktivitas DEMA Unila cukup populer dan tiada putusnya. Lebih banyak mereka concern pada isu-isu nasional dan kerja pengorganisiran multi sektoral dengan mengadvokasi konflik rakyat tertindas. Diyakini bahwa gerakan mahasiswa tak semestinya hanya menjadi moral force yang temporer, melainkan harus mewujud sebagai political force. Mereka menggugat kecenderungan mahasiswa yang terlanjur nyaman di atas menara gading intelektualitas dan enggan turun langsung menuntaskan beragam masalah rakyat kecil.

Jargon perjuangan DEMA Unila sendiri berbunyi “Menuju Kampus Demokratis Pro-Rakyat!”, sebuah perspektif yang anti-mainstream di masanya. Sementara program perjuangannya mencakup beberapa tuntutan seperti: “Hapuskan Dwi Fungsi ABRI”, “Cabut Paket 5 UU Politik”, “Pendidikan dan Kesehatan Gratis”, sampai dengan solidaritas “Kemerdekaan bagi Timor Leste”. Sikap politik organisasional yang  cadas ini memang cerminan dari tujuan pokok mereka untuk mewujudkan reformasi total. Namun, posisi melawan arus ini pasti menanggung resiko. Keseharian mereka menjadi sorotan banyak mata, mulai dari bidikan intelejen hingga lembaga rektorat yang tak kunjung memberi restu legalitas. Belakangan, untuk memoderasi pergerakannya, berkali-kali sekretariat DEMA Unila digembok pihak kampus hingga ditawari untuk mengubah diri menjadi UKM HAM dan Demokrasi. Barang tentu ditolak mentah-mentah oleh sekumpulan pemuda yang sedang bergolak itu.


(Foto Aktivitas DEMA Unila - Sumber: Koleksi Dema Unila )

Di acara-acara diskusi publik, pameran buku, dan mimbar bebas yang digelar DEMA Unila, Ijal kerap tampil sebagai agitator pembakar semangat peserta. Biasanya dengan penuh semangat ia mengusung kepalan tinju tangan kirinya ke atas seraya memimpin pembacaaan “Sumpah Mahasiswa Indonesia”, lagu “Darah Juang”, atau puisi Wiji Thukul “Peringatan” yang amat populer itu. Kesehariannya di kampus usai berkuliah lebih banyak dihabiskan di sekretariat DEMA Unila yang menempati sebuah ruang terbengkalai dan sebelumnya menjadi laboratorium persidangan Fakultas Hukum di lantai 2 samping gedung Balai Bahasa.




 (Foto-Foto Ijal Saat Menjadi Aktivis DEMA Unila - Sumber: Koleksi Dema Unila )

Tragedi UBL Berdarah sebenarnya merupakan puncak demonstrasi dari rentetan beberapa aksi massa sebelumnya di Lampung untuk ikut menolak pengesahan RUU PKB yang digagas oleh DEMA Unila beserta unsur lainnya yang tergabung dalam KMPPRL (Komite Mahasiswa Pemuda Pelajar dan Rakyat Lampung). Tanggal 26 September 1999, mereka berunjuk rasa di depan markas KOREM GATAM dan mendapatkan sambutan represi. Idhan Januwardhana aktivis Pussbik yang tergabung dalam aliansi menjadi sasaran pukul tentara. Besoknya tanggal 27 September 1999 di depan markas Koramil Kedaton, 11 orang aktivis DEMA Unila termasuk Ijal menggelar aksi diam sebagai bentuk protes.

Tanggal 28 September 1999, Ijal datang terlambat. Ia tidak mengikuti dari titik awal longmarch di Unila. Ia baru muncul bergabung dalam barisan demonstran setelah tiba di dekat kampus UBL. Seperti biasanya, Ijal pun langsung mengambil salah satu bendera DEMA-Unila dan maju ke barisan depan sebelah kanan. Ia larut dalam riak gelombang protes hari itu, beberapa rekannya berhasil merubuhkan papan nama koramil dan dengan euforia Ijal ikut menginjak-injak. Sampai akhirnya desingan peluru tajam tentara dilepas tanpa pertimbangan. Ratusan massa aksi itu terkejut dan kocar-kacir berhamburan mencari selamat. Tetapi takdir untuknya sudah digariskan, Tuhan memilihkan waktu terbaik baginya menjadi Syuhada.

Ijal gugur sebagai pahlawan bagi banyak orang. Persemayamannya dilakukan dengan penuh khidmat dari ribuan manusia, entah yang mengenalnya dengan baik maupun yang tersentuh karena merasa haknya diperjuangkan. Jenazah Ijal yang semula terbujur kaku di RSUDAM esok harinya disalatkan di Masjid Al Wasi’i Unila. Agamawan KH. Abdurrahman Hilabi (alm) bahkan turut mengusung keranda jenazahnya, sungguh penghormatan yang mengharukan bagi kawan seperjuangan terlebih keluarga yang ditinggalkan. Jasadnya dengan tenang dikebumikan di TPU yang tak jauh dari rumah orang tuanya, di kawasan Bayur, pinggiran Kota Bandar Lampung.


(Kliping Koran Persemayaman Ijal - Sumber: Koleksi Ahmad Jusmar)

Si Introvert Andalan Ebak dan Emak

Bagi keluarganya, kabar kematian Ijal ibarat petir yang menyambar di siang bolong. Ebak dan Emak tak kuasa menahan tangis meratapi putra bungsunya yang pagi tadi berpamitan sudah tak lagi bernyawa. Namun, dibalik duka yang teramat dalam, mereka begitu tegar dan ikhlas menerima kenyataan. Ijal, anak yang sejak kecil berwatak penurut dan pendiam itu ternyata memiliki karya besar dan pergaulan begitu luas di luar rumah. Seorang senior sekira di tahun 2008 pernah bercerita, ia baru saja ziarah dan silaturahmi ke rumah keluarga almarhum. Meski matanya masih selalu berkaca dan bibir kadang bergetar, konon Ebak (kini sudah almarhum) selalu hangat menyambut siapapun yang berkunjung untuk mengenang putranya.

  

(Foto Pusara Makam M Yusuf Rizal - Sumber: Koleksi Berga Saragih)

Ahmad Jusmar, kakak kandung mendiang Ijal dalam wawancara mengakui hingga sekarang pihak keluarga masih merawat bundel dokumen yang berisikan segala macam kliping koran, foto-foto, dan buku catatan harian. Ia bahkan sempat terkejut ketika menemukan fakta adiknya ternyata seorang pengarsip dan pencatat yang tekun dan detil. Di dalam buku hariannya, Ijal menyimpan banyak potongan kliping berita demonstrasi, juga berbagai konsep tulisan setengah jadi yang hanya berupa sobekan kertas kumal. Ia juga mencatat kesan perjalanannya menjumpai tahanan politik, Budiman Sujatmiko di penjara Salemba, Jakarta Pusat.

Terlahir di Teluk Betung pada 5 Juli 1978, Muhammad Yusuf Rizal adalah bungsu dari empat bersaudara. Kakak pertamanya perempuan yang sudah menikah dan tinggal diboyong suami ke Unit II Menggala. Kedua abangnya sama-sama merantau untuk berkuliah di Yogyakarta. Otomatis Ijal seoranglah anak yang tinggal di rumah. Bagi semuanya, ia bukan sosok bungsu yang manja dan kerap merajuk. Sebaliknya ia justru sangat mandiri dan benar-benar penurut sampai menjadi “anak andalan” kedua orang tuanya.

Bahkan setelah ia berstatus mahasiswa yang notabene juga aktivis pergerakan di luar sana, Ijal tak sekalipun membantah apalagi menolak jika disuruh Emak membeli minyak tanah dengan jeriken literan di warung tetangga. Pun demikian jika Ebak menyuruhnya menggiring kambing peliharaan untuk kembali ke kandang agar tak kuyub diguyur hujan yang sudah memberi pertanda akan turun ke Bumi. Ijal, mahasiswa semester lima berambut gondrong dengan kulit sawo matang itu tak pernah mengeluh dan selalu mengiyakan. Maka wajar saja jika kepergian sang martir ke haribaan-Nya menyisakan lubang kosong di hati keluarga.





(Foto-Foto Ijal Saat Menggeluti Hobinya - Sumber: Koleksi Ahmad Jusmar)

Dalam benak kenangan Jusmar sang Kakak, si bungsu andalan keluarga itu memang berkarakter introvert. Bahkan kala tiba musim liburan semester dan kedua abangnya pulang ke rumah, Ijal harus dipancing lebih dulu untuk memulai cerita dan canda gurau. Tapi menurutnya, meski begitu pendiam sang Adik sesungguhnya menyimpan banyak bakat dan luwes bergaul. Ijal yang bertubuh tinggi dengan rambut lurus panjang terurai itu selain punya hobi pada aktivitas pecinta lingkungan, diketahuinya juga tergabung sebagai penjaga gawang dalam club Sepak Bola FISIP Unila. Sering pula ia tampil garang di berbagai Festival Musik sebagai vokalis RFC band yang beraliran rock.

Pernyataan soal karakter dingin dan tertutupnya Ijal ini dibenarkan pula oleh kawan-kawan almarhum. Suci dan Uthet menyebut selama mengenalnya dalam satu organisasi, tak ada secuilpun ingatan jika Ijal pernah menggoda wanita, ia malah selalu kikuk jika harus berinteraksi dengan kawan perempuan meski sudah kenal dekat. Berga sohib kental yang nyaris 24 jam selalu bersama, bahkan baru mengetahui jika Ijal memendam rasa suka yang teramat pada teman sejurusannya yang berinisial RIA, justru setelah ia wafat. Terutama dari berbagai curahan perasaannya yang ditutup rapat dalam lembaran buku harian.

Itulah sepenggal kisah Muhammad Yusuf Rizal, yang mati secara paripurna. Sebagaimana bunyi dalam petikan sajak favoritnya:       

Ibu, jika besok aku ‘ndak pulang, burung perenjak di halaman

tak berhenti bernyayi, angin menebar amis darah dari jalan-jalan

dan kau membaca sebuah nama tiba-tiba dikabarkan hilang

tak usah cemas dan jangan menangis.

 

 




----------------------------------

*) Alumnus Sosiologi FISIP Universitas Lampung Angkatan 2008. Saat ini bekerja sebagai Analis Kelembagaan di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP RI). Aktif menulis kolom dan cerpen di media massa. Kumpulan artikel opininya di rentang tahun 2010-2015 telah dibukukan dengan judul Biji Yang Bertumbuh: Bunga Rampai Pemikiran Kritis Mahasiswa.  

Catatan: Artikel ini dibuat untuk ajang penulisan kolektif dari alumni FISIP Unila berjudul:

Buku Romantika di Kampus Oranye 

kerjasama Pustaka LABRAK dan IKA FISIP Unila, Maret 2022.

Data Buku

Judul: Romantika di Kampus Oranye: Dinamika FISIP Universitas Lampung dari Kisah ke Alumni
Penulis: Agus Muhammad S, et. al.
Editor: Udo Z Karzi
Penerbit: Pustaka LaBRAK & IKA FISIP Unila
Cetakan: I, Maret 2022
ISBN: 978-623-5315-00-3
14 x 21 cm, 300 hlm
-------------------------











Jumat, 11 Februari 2022

OPINI: Menggelorakan Salam Nasional: “Salam Pancasila!”


Oleh: M Saddam SSD Cahyo*

 

Tak lama berselang usai kemerdekaan bangsa dan negara Republik Indonesia yang telah begitu lama diidamkan itu diproklamirkan, lewat upacara bendera yang sederhana namun penuh khidmat oleh para para pendiri bangsa, terutama  dwi-tunggal Soekarno-Hatta di bilangan Pegangsaan Timur Nomor 56, Menteng, Jakarta Pusat pada pagi hari tanggal  17 Agustus 1945. Sebuah Maklumat Pemerintah diterbitkan pada tanggal 31 Agustus 1945 yang memberlakukan pekik perjuangan “Merdeka!” sebagai  Salam Nasional bagi seluruh rakyat Indonesia.

Mengutip dari laman resmi Museum Nasional Proklamasi (http://munasprok.go.id/) Salam Nasional ini dilakukan dengan tata cara mengangkat tangan setinggi bahu, telapak tangan menghadap ke muka dan bersamaan dengan itu memekikkan Merdeka!. Sementara dari versi film dokumenter karya sineas Kotot Soekardi yang tersimpan di ANRI narasinya berbunyi: “..Tangan kanan naik setinggi telinga, jari lima bersatu, apakah artinya itu? negara kita telah merdeka. Suara mengguntur mengucapkan salam nasional Merdeka!, kita siap sedia mempertahankannya walau dengan jalan yang bagaimanapun juga, Merdeka!..”

Riwayat Salam Nasional

Salam Nasional ini pun terlahir dari akar rumput dan dialektika perjuangan, dimana zeitgeist alias semangat zaman pada masa revolusi fisik dipenuhi gelora dan euforia kemerdekaan. Perkataan seperti “Sekali Merdeka Tetap Merdeka!”, “Merdeka Sekarang Juga!”, “Merdeka Bung!”, “Indonesia Merdeka”, atau “Merdeka Atau Mati!” oleh para pejuang tak hanya marak digaungkan secara verbal, tetapi menjamur dalam coretan dinding maupun poster. Masih lekat di ingatan, rekaman pidato membara Bung Tomo di Perang 10 November yang berlangsung selama tiga pekan di Surabaya demi mempertahankan kemerdekaan dari balatentara Sekutu dan NICA, dengan gema pekiknya “Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar..Merdeka!”.

Sejarawan Prof. Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya Api Sejarah Jilid Jilid Kedua Edisi Revisi (2016: Hal. 171-173) mencatat sosok Otto Iskandardinata “Si Jalak Harupat” sebagai tokoh yang mengusulkan pekik perjuangan “Merdeka!” ini dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945, hingga kemudian salam ini dikukuhkan oleh Presiden Soekarno dan kian populer digandrungi massa.

Pernyataan ini diperkuat keterangan dalam buku lawas berjudul Ensiklopedi Politik (1955: Hal. 187) yang disusun oleh Tatang Sastrawira dan Haksa Wirasutisna, bahwa pada tanggal 19 Agustus 1945 Presiden Soekarno membahas tentang perlunya salam nasional sebagai suatu pekik yang menggelorakan jiwa seluruh rakyat Indonesia dan beberapa opsinya bersama Otto Iskandardinata. Pada rapat Badan Pekerja - Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) di Jalan Kramat Raya ia kembali mengajukan ucapan “Indonesia Merdeka!” sebagai pekik dari Salam Nasional.  

Pidato Presiden Soekarno di forum Kongres Rakyat Jawa Timur di Surabaya pada 24 September 1955 juga turut memberi penjelasan tentang filosofi dari Salam Nasional,“..Pekik merdeka, saudara-saudara, adalah pekik pengikat. Dan bukan saja saja pekik pengikat, melainkan adalah cetusan daripada bangsa yang berkuasa sendiri, dengan tiada ikatan imperialism, dengan tiada ikatan penjajahan sedikitpun. Maka oleh karena itu saudara-saudara, terutama sekali fase revolusi nasional kita sekarang ini belum selesai, jangan lupa pada pekik merdeka! Tiap-tiap kali kita berjumpa satu sama lain, pekikkanlah merdeka!..”.

Patut disayangkan terkait masih adanya silang pendapat perihal Salam Nasional ini, terlebih dengan narasi yang simpang-siur dan cenderung menyesatkan atau malah berpotensi mengundang perpecahan bangsa. Sebuah sikap yang tak sepatutnya dipelihara karena berwatak ahistoris dan reaksioner serta jauh dari kebijaksanaan. Padahal, jika dicermati lebih jauh sebenarnya kehadiran sebuah Salam Nasional memiliki dampak yang teramat positif sebagai upaya merawat kesatuan dan persatuan, serta asupan moral kolektif agar selalu teguh membangun bangsa dan negara tercinta.

Di masa awal peralihan kekuasaan Orde Baru, Presiden Soeharto yang masih berstatus Pejabat Presiden pada kunjungan kerjanya di Makassar, tanggal 24 Oktober 1967 dalam pidatonya menyampaikan agar rakyat Indonesia memperbarui Salam Nasional untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman. Ia meminta pekik “Merdeka!” disambut dengan perkataan “Ampera!” yang tak lain akronim dari Amanat Penderitaan Rakyat sebagai akar dari program pembangunan nasional usai diraihnya kemerdekaan. Modifikasi Salam Nasional ini pun terus digemakan Presiden di tiap kunjungan kerjanya ke daerah (Historia.id, 1/3/21).

Faktanya Salam Nasional dengan pekik “Merdeka!” yang tertuang dalam Maklumat Pemerintah ini belum pernah dicabut oleh siapapun,  karenanya banyak tokoh berpendapat secara yuridis aturan ini masih berlaku. Namun, nyatanya ia memang sudah terlampau jauh dilupakan dan tertimbun distorsi, bahkan stigma. Sehingga dalam upaya revitalisasi tanpa mengubah sedikitpun substansi makna yang terkandung di dalamnya, hadirlah Salam Nasional: “Salam Pancasila!” untuk kembali digelorakan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Metamorfosis Salam Pancasila

Pertama kali di tahun 2017 dalam acara Peluncuran Program Penguatan Pendidikan Pancasila di Istana Bogor, Megawati Soekarnoputri saat itu selaku Ketua Dewan Pengarah dari Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) menggagas revitalisasi Salam Nasional yang disebutnya Salam Pancasila. Di hadapan Presiden Joko Widodo, para Menteri, jajaran pimpinan tinggi UKP-PIP, serta 500an peserta dari unsur akademisi dan mahasiswa tersebut ia juga memperagakan langsung dan menerangkan maknanya yang diadaptasi dari Salam Nasional dengan pekik “Merdeka!” (Tempo.co, 12/8/17).

Saat peresmian Baileo rumah adat Maluku, Monumen Bung Karno, dan penamaan jalan di Masohi, Maluku Tengah secara daring pada 21 Juni 2021, Presiden Republik Indonesia Ke-5 itu pun kembali menegaskan misinya sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) untuk konsisten memopulerkan Salam Pancasila sebagai Salam Nasional. Menurutnya jika ucapan salam ini menjadi kebiasaan dalam interaksi masyarakat, maka nilai inti dari Pancasila yakni gotong royong tidak hanya akan selesai di mulut, melainkan benar-benar tumbuh di hati, dan terwujud dalam laku hidup sehari-hari (Republika.co.id, 21/6/21).

Urgensi menggelorakan Salam Pancasila ini juga selalu diutarakan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia Ke-6 Try Sutrisno yang turut mengemban amanah sebagai Wakil Ketua Dewan Pengarah BPIP. Semisal dalam Simposium “Penataan Wilayah Pertahanan RI Dalam Rangka Mewujudkan Pertahanan Negara Yang Tangguh” yang diselenggarakan oleh Kemhan di Jakarta, 9 Juli 2019, disampaikannya untuk terus mengenalkan angkat lima jari dan teriakkan Salam Pancasila! agar menjadi penangkal dari pengaruh buruk dari konten atau isu yang bisa menggerus Pancasila (Antaranews.com, 9/7/19).

Presiden Jokowi dalam pengarahannya saat pengukuhan Purna Paskibraka Tahun 2021 sebagai Duta Pancasila di halaman Istana Negara juga penuh semangat mengucap Salam Pancasila. Ia mengingatkan putra-putri terbaik bangsa itu akan realitas negeri yang penuh keberagaman namun dipersatukan oleh ideologi Pancasila. Diharapkan agar mereka mampu menjadi motivator bagi pemuda lain di seluruh penjuru Indonesia untuk berprestasi sebagai pelopor perubahan dan kemajuan (Setkab.go.id, 18/8/21).

Meminjam analogi Yudi Latif, Ph.D. mantan Kepala UKP-PIP hingga masa awal beralih menjadi BPIP dalam beberapa kesempatan ceramahnya, diibaratkan protokol sabuk pengaman yang selalu diingatkan berulang-ulang oleh pramugari di dalam kabin pesawat. Barangkali pesannya akan terdengar menjenuhkan, tapi sesungguhnya ia justru menjadi pengingat yang akan sangat menentukan keselamatan diri kita dalam keadaan darurat yang tak terduga datangnya. Salam ini kiranya akan berguna untuk memupuk jiwa nasionalisme rakyat Indonesia.

Terobosan gagasan metamorfosis Salam Pancasila sebagai Salam Nasional ini pun senafas dengan Presiden Soekarno sendiri yang dapat dijumpai dalam buku otobiografi Sukarno An Autobiography: As Told To Cindy Adams (1966: Hal.224) atau mungkin lebih dikenal versi terjemahan Bahasa Indonesianya yang berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Dikutipkan, "..As the Prophet invented the Salam to unify his followers, so the inspiration descended from God Almighty to proclaim one national greeting for the Indonesian people. The first of September I decreed every citizen of the Republic should greet another by raising his hand, spreading fingers wide in token of our five principles and shouting, "MERDEKA!..".

Prof. KH. Yudian Wahyudi usai dilantik oleh Presiden Joko Widodo sebagai Kepala BPIP pada tanggal 5 Februari 2020 juga cukup concern pada upaya pembumian Salam Pancasila sebagai Salam Nasional. Sayangnya dalam video wawancara eksklusif bersama Detik.com pada 12 Februari 2020, ikhtiar itu sempat direspon begitu riuh khususnya oleh sebagian elemen masyarakat di ruang maya dengan semakin dikeruhi oleh framing yang kontra produktif dan bernada hoaks.

Padahal jika utuh disimak, saat itu ia sedang merespon pertanyaan jurnalis tentang ekspresi nilai kebinekaan dari mantan Mendikbud Prof. Daoed Jusuf yang tak pernah membuka percakapan formal dengan salam agama tertentu sebagai panutan. Hal ini dihadapkan pada kasus adanya kecenderungan abai terhadap toleransi dengan hanya mengucap salam agama tertentu saja, sementara banyak umat beragama lain yang turut hadir. Dalam konteks inilah, Prof. Yudian mengajukan Salam Pancasila sebagai alternatif kebinekaan yang dapat dipakai untuk menghargai perbedaan dan menjaga persatuan, semisal di berbagai momen pembukaan acara formal di ruang publik (Tempo.co, 21/2/20).

Patut disyukuri kedewasaan rakyat Indonesia memang sudah teruji dalam banyak aral-rintang. Secara berangsur, kini maksud baik dari upaya membangkitkan ingatan kolektif pada Salam Nasional yang lama terabaikan itu kian pulih. Pun demikian penerimaan pada gagasan Salam Pancasila ini tampak semakin bersambut, seiring dengan meningkatnya kesadaran bersama akan pentingnya lebur merawat harmoni dan mengeratkan persatuan ketimbang hancur dalam pertikaian tak berujung. Akhir kata, izinkan saya menutup tulisan ini dengan mengucapkan salam yang mempersatukan kita semua, “Salam Pancasila!”.

--------------

*)Alumnus Sosiologi FISIP Universitas Lampung. Peminat  Kajian Sosial-Budaya-Politik.

Saat ini bekerja sebagai Analis Kelembagaan di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Terbit di:

https://diksimerdeka.com/2022/02/11/menggelorakan-salam-nasional-salam-pancasila/  

https://monologis.id/kopilogis/menggelorakan-salam-pancasila  

https://www.silanews.com/ruang-publik/pr-2092638142/menggelorakan-salam-nasional-salam-pancasila-begini-sejarahnya 

MAJALAH SILAPEDIA Edisi Kedua, Maret 2022, Halaman 164.


--------------

Rujukan Buku:

“Api Sejarah Jilid Kedua Edisi Revisi” oleh Ahmad Mansur Suryanegara. Penerbit Surya Dinasti. Bandung. 2016.

“Ensiklopedi Politik” oleh Tatang Sastrawira dan Haksa Wirasutisna. Penerbit Perpustakaan Perguruan Kementerian PP dan K. Jakarta.1955.

“Sukarno An Autobiography: As told to Cindy Adams” oleh Cindy Adams.Penerbit Gunung Agung. Jakarta.1966.

 

Rujukan Daring:

http://munasprok.go.id/Web/baca/464

https://historia.id/politik/articles/pekik-merdeka-gaya-soeharto-P3om4/page/2

https://cekfakta.tempo.co/fakta/632/fakta-atau-hoaks-benarkah-kepala-bpip-usulkan-ganti-assalamualaikum-dengan-salam-pancasila

https://www.antaranews.com/berita/947721/try-sutrisno-ayo-gelorakan-salam-pancasila#.YedZRcpNUX8.whatsapp

https://nasional.tempo.co/read/899362/megawati-perkenalkan-salam-pancasila-ajaran-soekarno

https://www.republika.co.id/berita/qv1ox5430/megawati-ingin-populerkan-salam-pancasila

https://setkab.go.id/pengarahan-presiden-ri-kepada-purnapaskibraka-tahun-2021-18-agustus-2021-di-halaman-tengah-istana-merdeka-provinsi-dki-jakarta/