Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Minggu, 27 Oktober 2024

RESENSI : Memahami Ideologi Besar Dunia : Buku Pemikiran Politik Barat Karya Firdaus Syam

 

RESENSI / REVIU BUKU

 Bab 12 : Memahami Ideologi Besar Dunia

(Buku Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3 karya Prof. Assoc. Dr. Firdaus Syam, M.A.)


 

Oleh:

M. SADDAM SOLIHIN SAPTA DWI CAHYO

 

PEMBAHASAN

Buku berjudul Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3 karya Firdaus Syam ini memiliki nilai lebih yang memberi titik pembeda dan unsur kebaruan ketimbang buku-buku dengan tema serupa yang pernah terbit mewarnai khasanah ilmu politik di Indonesia. Terutama bisa dijumpai dari upaya penggalian dan penegasan bahwa perkembangan pemikiran politik barat yang selama ini berlangsung dan dianggap paling unggul itu, ternyata juga memiliki akar pengaruh kuat dari perkembangan pemikiran tokoh besar dari golongan Muslim di masa lalu. Sebut saja Al Farabi, Ibnu Sina (Avicena), Ibnu Rusyd (Averros), dan Ibnu Khaldun yang legacy pemikirannya turut menjadi katalisator yang memantik gelombang pemikiran dunia barat.

 Sementara pada kesempatan ini saya memfokuskan diri pada pembahasan menarik dalam Bab 12 tentang Memahami Ideologi Besar Dunia yang termuat pada halaman 231 sampai 244. Firdaus Syam secara reflektif mengajak kita menyelami arus pemikiran yang berlangsung jauh di belakang, bagaimana serunya kemelut manusia dalam pergulatan sejarah peradaban. Secara umum terdapat dua kecenderungan manusia dalam prosesnya menciptakan sejarah: 1) adanya orang-orang besar yang meruntuhkan bangunan sistem kehidupan yang telah mapan; 2) adanya kelompok dan massa yang aspirasinya mempengaruhi peristiwa secara permanen.

Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai para pemimpin, orang bijak, filsuf, begawan, raoshanfikr, free thinkers, atau juga rasul dan nabi, yang kemudian juga mewujud sebagai ideolog karena memberi inspirasi serta bimbingan untuk mencapai suatu pembebasan dan pencerahan bagi masyarakat. Namun, di sisi lain sosok-sosok manusia istimewa yang berperan dalam roda zamannya itu sebagiannya ada pula yang punya kecenderungan untuk lebih mengedepankan hawa nafsu, dimana kecerdasan dan ambisi saling berkejaran hingga pada akhirnya justru malah merusak tatanan peradaban dan menimbulkan penderitaan bagi masyarakat.

Sehingga dapat digeneralisir bahwa terdapat dua golongan atau tipikal manusia ideolog itu, yakni:

1)  Ideolog yang “memaksa” atau koersif dan cenderung keras. Pada konteks ini kita dapat menjumpai bahwa Sang ideolog dalam memelopori proses perubahan sistem kehidupan atau peradaban itu dengan cara yang keras. Sejarah dibangun dalam nuansa permusuhan, pertentangan, pertumpahan darah, luka dan kepedihan. Adapun terasa harmoni yang manis tetapi terlalu singkat, sebab masyarakat manusia itu dibayangi oleh ketakutan,  ketidakpastian, sehingga tidak ada pembebasan dan yang terjadi justru pemasungan.

Sejarah umat manusia telah mencatat banyak fenomena dimana dalam suatu era hadir manusia ideolog yang punya kemampuan dan kharisma kuat untuk dapat menggugah dan membangkitkan gelora masyarakat agar tergerak memecah kebuntuan zaman. Pengaruhnya kemudian mampu “merasuk” dan “menyihir” alam pikir dan tindakan masyarakat yang kemudian menimbulkan kultus baru dan apa yang disebut sebagai isme-isme sempit. Dimana ideologi yang diperjuangkan secara kaku dan dogmatis itu justru tanpa disadari melahirkan konflik berkepanjangan dan penindasan.

Sebagai contoh misalnya Fasisme yang juga pernah hadir dalam bentuk gerakan Nazi oleh Adolf Hitler yang menganggap ras arya Jerman adalah bangsa unggul hingga memicu Perang Dunia Kedua. Komunisme ala Uni Soviet yang digawangi Joseph Stalin dengan hasrat menghalalkan segala cara bengis untuk menguasai dunia dan memunculkan perang dingin di paruh abad 20. Zionisme yang dibangun oleh bangsa Yahudi Israel sejak tahun 1980an dengan ambisi penguasaan tanah Palestina Muslim yang terus berlangsung mengkhawatirkan sampai saat ini.

Ideologi memang wajib dipertaruhkan sampai tercapai kemenangan dan tujuannya yang mulia, tetapi jika dilakukan dengan jalan hitam, sentimen, fanatik, arogansi, hipokrit, kepalsuan, kepicikan, kebohongan, otoritarian, dan kerakusan atas kekuasaan maka masyarakat akan menanggung buah pahit penderitaan yang traumatik atau tragedi dan keruntuhan. Pada akhirnya ideologi yang “memaksa” seperti ini hanya memberi kesan awal kepastian tetapi selalu diakhiri dengan kesanksian.

2)  Ideolog yang “mengajak” atau persuasif dan cenderung lembut. Meski daya dobraknya terkesan lemah dan lambat dalam memelopori perubahan bagi masyarakat, upaya ideolog yang mengambil jalan seruan dan ajakan untuk senantiasa teguh pada nilai-nilai perdamaian, keharmonisan, dan kebijaksanaan justru teruji oleh waktu. Karya, inspirasi, dan keyakinan yang diperjuangkan memberikan pesona kebanggan dan ketakjuban yang abadi dalam benak masyarakat yang mengikutinya atas dasar kerelaan dan kesadaran atau kemauan bebas.

Umumnya ideolog seperti ini asosiasinya lekat dengan para begawan, filsuf, orang bijak, atau tokoh spiritualitas, bukan petarung politik tetapi tak gentar menghadapi tantangan zaman. Sejarah mencatatnya dengan kertas putih bertinta emas sebagaimana yang pernah ditorehkan oleh para rasul seperti Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad. Para filsuf dan bijak seperti Socrates Konfusius, Nicolas Copernicus, Galileo Galilei, sampai Mahatma Gandhi.

Seruan yang mereka koarkan harus lebih dulu menghadapi banyak penolakan dan ujian untuk bisa didengarkan kemudian dipercaya oleh masyarakat, karena sudah menjadi watak dasar manusia untuk lebih mengharapkan diri pada janji akan kepastian perubahan dalam waktu singkat. Namun, pada akhirnya ideologi yang “mengajak” seperti ini meski memberi kesan awal kesanksian tetapi justru diakhiri dengan kepastian.

Betapa penting bagi para pelajar ilmu politik untuk memahami mengapa suatu ideologi itu terlahir, tumbuh, berkembang, bahkan mati di tengah masyarakat. Ini tak lain daripada pengaruh dari perkembangan pemikiran politik yang dinamis dan akseleratif, berkelindan dengan budaya politik yang terus dibangun, ideologi menjadi produk sekaligus inspirasi untuk lahirnya suatu keyakinan dan prinsip yang mendasari suatu komunitas manusia untuk menjadikannya sebagai dasar dan cita-cita yang patut diperjuangkan dalam jangka panjang. Secara positif ini berguna untuk menghindari sikap petualang (avonturir) yang cenderung oportunistik bagi seorang politikus atau kelompok politik.

Secara etimologis istilah ini berasal dari bahasa latin, dimana ideo berarti pemikiran dan logis berarti logika atau ilmu, sehingga didefinisikan sebagai ilmu mengenai keyakinan dan cita-cita. Ideologi juga merupakan rumusan alam pikiran yang terdapat di berbagai subjek atau kelompok masyarakat dan dijadikan dasar untuk direalisasikan. Ideologi tak hanya dimiliki oleh suatu negara atau bangsa, tetapi sangat mungkin dimiliki oleh suatu organisasi di dalamnya seperti partai atau asosiasi politik.

Terdapat pula perbedaan kedudukan antara ilmu, filsafat, dan ideologi dalam hal perjuangan politik. Baik ilmuwan maupun filsuf, tidak akan memaksakan atau berusaha mempengaruhi masyarakat untuk kemudian membentuk suatu kelompok yang melawan suatu kekuasaan politik yang dianggap merusak kehidupan publik. Ia hanya akan menjelaskan dan mempresentasikan apa yang ditemukannya sebagai suatu karya, yang secara moral dianggap perlu untuk diketahui oleh masyarakat, senantiasa bersikap netral atau bebas nilai, dan tidak beranjak lebih dari itu.

 Sementara ideologi dan ideolognya selalu terdorong untuk memunculkan perjuangan ke arah revolusi politik. Mereka memberikan inspirasi, pencerahan, mengarahkan, dan mengorganisir masyarakat untuk melakukan gerakan perlawanan, protes dan gugatan yang mencengangkan atas suatu ketidakadilan. Mereka selalu mengambil sikap dan pilihan di posisi mana harus berpijak, dengan penuh keyakinan, semangat, komitmen, dan tanggung jawab yang tentu saja harus dibayar mahal karena tidak ada janji manis ketenteraman abadi bagi mereka yang mengambil jalan pedang, sebelum kemenangan benar-benar bisa diraih.

 Ideologi memiliki beberapa ciri umum seperti: cita-cita yang dalam dan luas, bersifat jangka panjang, mengandung nilai-nilai universal, dirasakan kuat sebagai milik suatu kelompok, mengikat suatu kelompok. Beberapa ilmuwan politik yang dikutip dalam buku ini memiliki definisi yang beragam tentang ideologi, meski benang merahnya dapat dijumpai, diantaranya:

Ø  Alfian menyebut sebagai pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh dan mendalam yang dipunyai dan dipegang oleh suatu masyarakat tentang sesuatu yang secara moral dianggap benar dan adil, dan mengatur tingkah laku bersama dalam berbagai segi kehidupan.

Ø  Ali Syariati menyebut bahwa ideologi ibarat kata ajaib yang menciptakan pemikiran dan semangat hidup di antara manusia, terutama kaum muda, dan khususnya di kalangan cendekiawan dan intelektual dalam suatu masyarakat.

Ø  Sukarna menyebutnya sebagai konsepsi manusia mengenai politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan untuk diterapkan dalam masyarakat dan negara.

Ø  Sidney Hook menyebutnya program aksi yang diperuntukan bagi suatu bangsa.

Gerakan ideologi pernah mendapatkan panggung yang penting tercatat dalam sejarah manusia, khususnya di sepanjang abad ke-20 hingga awal abad ke-21. Kehadirannya menggoyahkan banyak kekuatan status quo yang sebelumnya tak pernah terbayang dapat diruntuhkan. Ideologi melahirkan gerakan dan meletuskan revolusi baru yang membuat orang berpikir akan pentingnya reinterpretasi dan reorganisasi suatu tatanan kehidupan pada masyarakat tertentu. Ideologi besar seperti liberalisme, imperialisme, fasisme, komunisme, anarkisme, nasionalisme, dan lain sebagainya terus bertumbuhan dan menggetarkan peradaban. Satu persatu mucul dan hadir berjuang untuk membongkar tatanan lama dan membangun tatanan baru, berakhir dalam kegagalan total maupun keberhasilan yang gemilang.

Namun, sepertinya situasi sangat berbeda dengan era ini dimana arus globalisasi sudah demikian derasnya. Isu tentang perubahan besar-besaran tidak lagi bisa mendapatkan perhatian dengan tingkat antusiasme setinggi pada masa lalu. Di masa ini, keterbukaan dan akses terhadap komunikasi dan informasi digital sudah sangat luar biasa, sehingga tak ada celah lebar bagi seruan kepalsuan, kebohongan, dan ketidakjujuran dari suatu filsafat yang tumbuh menjadi ideologi untuk mengumbar janji terbangunnya peradaban ideal padahal ia berwajah hipokrit.

Firdaus Syam dalam buku ini memiliki analisis tentang beberapa kemungkinan yang melatari kelahiran suatu ideologi, diantaranya: 1) Lahir dari pemikiran seseorang, diinspirasikan oleh sosok -tokoh luar biasa, yang memiliki pengaruh kuat untuk menginspirasi masyarakat, lalu pikirannya mendapatkan dukungan dan diperjuangkan secara sistematis dalam gerakan politik; 2)  Lahir dari alam pikir masyarakat, oleh sekelompok orang yang berpengaruh, untuk berkonsensus dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dan bila perlu dibubuhi pengakuan legal atau kultural agar dituruti; 3) Lahir dari keyakinan tertentu yang bersifat universal, semisal oleh sosok yang diyakini mewakili kehendak Tuhan, yang membawa pesan pembebasan dan bimbingan hidup serta konsekuensi moral bagi pelanggarnya.

Terlepas dari itu, pada prinsipnya suatu ideologi sering disamakan sebagai suatu keyakinan, sebab ia mengandung mitos dan cita-cita yang harus direalisasikan dan nilai kebenaran bagi pengikutnya. Ideologi bukan hanya diakui dan diakui, bahkan dihayati sebagai spirit hidup dan perjuangan untuk menjawab tantangan zaman. Mengutip Alfian, terdapat tiga dimensi yang harus dipenuhi oleh suatu ideologi agar mampu mempertahankan relevansinya, yakni:

1)    Dimensi Realitas. Mencakup kemampuan untuk selalu mencerminkan realita dari nilai-nilai riil yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat seperti budaya dan sejarahnya.

2)    Dimensi Idealisme. Kemampuan untuk selalu memberi harapan akan cita-cita masa depan yang lebih baik.

3)    Dimensi Fleksibilitas. Kemampuan untuk meneropong dan menghadapi perubahan secara luwes tanpa meninggalkan jatidirinya.

Selanjutnya dikutip pula Ali Syariati untuk menjelaskan tahapan-tahapan operasionalisasi dari suatu ideologi untuk dapat diterima oleh suatu masyarakat, yakni: pertama tentang cara melihat dan mengungkap eksistensi alam semesta dan manusia, kedua tentang cara menilai semua hal dan gagasan yang membentuk lingkungan sosial maupun mental kita, dan ketiga mencakup usulan metode sebagai pendekatan yang dipakai untuk mengubah status quo yang dianggapnya tak memuaskan.

Berangkat dari sekian banyaknya varian ideologi yang pernah tumbuh dan berkembang dalam sejarah peradaban manusia, faktanya bahwa ia akan selalu terus terbentuk dari pergulatan pemikiran yang terus menerus kita lakukan. Siklusnya bergerak dari suatu pemikiran politik yang berkelindan dengan budaya politik yang ada, berkembang menjadi filsafat dan teori politik, bahkan tak menutup kemungkinan untuk tumbuh menjadi suatu ideologi baru. Setidaknya terdapat tiga pendekatan aliran filsafat besar yang kerap melahirkan dan memberikan corak utama pada suatu ideologi, diantaranya:

1)    Filsafat Idealisme. Mengedepankan rasionalisme dan individualisme, yang dalam kehidupan politik telah melahirkan Liberalisme lalu Kapitalisme atau juga Kolonialisme dan Imperialisme. Menempatkan manusia dengan kemampuan idenya sebagai center of nature, bahwa alam pikir manusia yang sebebasnya itulah titik pangkal sejarah manusia.

2)    Filsafat Materialisme. Mengedepankan emosi perjuangan kelas sosial dan kolektivisme, yang dalam kehidupan politik melahirkan Sosialisme, Anarkisme, Komunisme. Menempatkan realitas material, corak produksi, atau basis ekonomi adalah faktor penentu perubahan sejarah manusia.

3)    Filsafat Teologis. Prinsipnya mengedepankan ajaran ilahiah untuk peran sentral dalam kehidupan politik dan kenegaraan, baik dalam bentuk pengkultusan pada pemuka agama sebagai wakil Tuhan, maupun dalam bentuk lain yang cukup menempatkan keimanan sebagai sumber inspirasi dan guidance bagi pejuang politik dan enyelenggara negara.

Akhir kata, buku ini layak dan penting dibaca oleh setiap pelajar ilmu sosial, politik, humaniora, bahkan masyarakat lainnya. Gaya bahasa dalam penulisan yang dipergunakan oleh Firdaus Syam terasa mengalir, ringan, dan kerap dijumpai diksi yang cukup puitis sehingga saya kira akan membantu pembaca awam sekalipun untuk dapat mengikuti pengetahuan yang sedang dihantarkan. Meski demikian, masih terdapat beberapa cela seperti salah ketikan atau juga penggunaan kata yang salah/tidak baku, sehingga saya akan sangat menarik jika naskah ini kembali naik cetak dengan mendapatkan sentuhan editor yang cermat.

RUJUKAN

Syam, Firdaus. 2007. Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3. Jakarta: Bumi Aksara.

_***_

Jumat, 18 Maret 2022

Obituari: M Yusuf Rizal dan Tragedi UBL Berdarah 28 September 1999


Oleh : M. Saddam SSD. Cahyo*

Muhammad Yusuf Rizal atau yang akrab disapa Ijal merupakan satu dari sekian banyak nama anak bangsa Indonesia yang gugur sebagai martir perubahan dalam memperjuangkan demokrasi di penghujung milenium kedua.  Ia dan Saidatul Fitria alias Atul tewas terbunuh secara mengenaskan akibat kekejian represi aparat dalam peristiwa kelam yang dijuluki Tragedi UBL Berdarah 1999. Hingga kini kasusnya tak pernah sungguh-sungguh terselesaikan, bersamaan dengan kasus pelanggaran HAM lainnya oleh alat negara yang daftarnya menggunung tinggi tapi selalu ditenggelamkan.

Tragedi ini telah menyisakan efek traumatis yang teramat dalam bagi ratusan orang yang terlibat langsung di dalamnya. Sebagai catatan, ia juga mendorong lahirnya beberapa karya sebagai upaya untuk terus merawat dan mewarisi ingatan akan episode yang belum tuntas dipertanggungjawabkan ini. Semisal dari musisi Dompak “Red Flag” Tambunan tercipta lagu berjudul G/28S/TNI. Sastrawan Rilda Oe. Taneko menelurkan novel berjudul Anomie. Sementara jurnalis cum sastrawan, Udo Z. Karzi menulis empat buah sajak berbahasa Lampung untuk memotret kisah pilu ini.

Mengurai Latar Tragedi Berdarah

Selasa, 28 September 1999, sejak pagi hari ratusan massa dari berbagai aliansi pergerakan di Lampung, baik dari unsur rakyat miskin perkotaan, pelajar, dan terutama mahasiswa melakukan aksi longmarch dari berbagai arah dengan titik tujuan utama Markas Korem 043 Garuda Hitam. Demonstrasi itu merupakan bagian dari gerakan solidaritas nasional pasca tewasnya Yap Yun Hap, aktivis mahasiswa UI yang ditembak peluru tajam tentara dalam Tragedi Semanggi II tanggal 24 September 1999 pada gelombang aksi menolak RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB).

Arus massa aksi yang penuh gelora itupun secara spontan memilih Markas Koramil Kedaton yang berada persis di zona kampus (Jalur Dua Jl. Z.A. Pagar Alam, Kedaton-Rajabasa) sebagai titik awal pemanasan. Tuntutannya agar diturunkan bendera setengah tiang dan ditandatanganinya petisi persetujuan menolak pengesahan RUU PKB itu oleh Danramil. Tapi sayangnya suasana begitu mudah bergolak, entah bagaimana prosesnya barisan demonstran mendesak maju menembus gerbang. Merasa terdesak, prajurit justru terprovokasi untuk bertindak brutal dengan melepas rentetan tembakan membubarkan barisan demonstran.

Di momen bentrokan pertama itulah salah seorang demonstran, M. Yusuf Rizal mahasiswa Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Lampung Angkatan 1997 yang turut berlari mundur ke arah kampus Universitas Bandar Lampung (UBL) seketika terperosok ke dalam parit. Tubuhnya terkulai lemah dengan darah yang mengucur deras membasahi slayer yang kerap terikat di leher dan kemeja flanel kotak-kotak andalannya.

Diceritakan oleh tiga orang penyintas eks-aktivis mahasiswa UBL masa itu, dalam podcast youtube channel DRB TV (https://www.youtube.com/watch?v=LbGbORfkKTI) dan CAWO EKAM (https://www.youtube.com/watch?v=MfjaGV0T3Do), Romli berada di parit yang sama dengan Ijal, dan mengaku sempat memegangi kakinya agar tidak roboh. Sementara Deni Ribowo dan Setiawan Batin ikut mengevakuasi Ijal ke RS Imannuel dengan menggunakan mobil salah seorang dosen UBL.


                        (Kliping Koran Perihal Tewasnya Ijal - Sumber: Koleksi Ahmad Jusmar)

Ia kemudian dirujuk ke RSU Abdoel Moeloek untuk mendapatkan perawatan intensif, tapi sayangnya di hari itu juga Ijal dinyatakan tewas akibat dua luka tembak peluru tajam. Salah satunya yang paling fatal di dada kanan menembus hingga bagian leher bawah belakang (Suara Pembaruan, 29/9/99). Kabar buruk itu lekas menyebar dan memicu simpati spontan dari seluruh elemen mahasiswa di Lampung. Siang harinya, gelombang aksi solidaritas yang lebih besar pun terus mengalir ke titik lokasi tragedi.

Polda Lampung untuk mengatasi situasi ini segera menurunkan pasukan organik Brimob yang konon baru saja kembali dari wilayah konflik di Timor Timur/Timor Leste. Alhasil tensi kedua pihak sama-sama tak terbendung lagi, hingga terjadilah bentrok kedua yang lebih sengit dan tak seimbang yang berlangsung hingga sore hari. Tanpa keraguan, aparat pun dengan beringas merangsek masuk ke semua penjuru kampus, terutama UBL untuk memburu massa aksi yang kocar-kacir.

Beberapa penyintas mengisahkan tindakan brutal aparat seperti memukulkan tongkat rotan secara membabi buta, menembakkan peluru karet ke arah yang tak beraturan, menusukkan sangkur, todongan pistol, bahkan ada yang berbuat pelecehan. Setidaknya 31 orang tercatat mengalami luka serius akibat pendarahan di kepala, tangan, dan perut. Sementara puluhan orang lainnya luka-luka ringan sampai sedang (Harian Kompas, 29/9/1999).

Di momen bentrokan kedua inilah, Saidatul Fitriah mahasiswi Jurusan Bahasa Inggris FKIP Unila yang juga jurnalis Surat Kabar Mahasiswa TEKNOKRA turut menjadi korban saat menjalani tugas peliputan. Ia ditemukan tak sadarkan diri dengan kondisi luka parah di bagian tengkorak kepala, yang diduga kuat akibat poporan senjata laras panjang. Ia dilarikan ke RS Advent kemudian dirujuk ke RSUDAM untuk tindakan operasi. Namun, setelah menjalani koma selama lima hari, Atul pun menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya.

 

(Foto-Foto Hasil Liputan Atul di Lokasi Tragedi - Sumber: Koleksi UKPM Teknokra Unila)

Kabar duka semacam ini  terjadi pula di beberapa kota  dalam rangkaian aksi yang sama, yakni menolak RUU PKB yang muncul di masa peralihan dari kepemimpinan Habibie kepada pemerintahan baru hasil Pemilu 1999. Publik menganggap regulasi ini berpotensi mengancam demokrasi karena melemahkan pemerintahan transisi reformasi pasca Orde Baru, yakni untuk menggelar karpet merah bagi kembalinya praktek otoritarianisme ala Dwifungsi ABRI yang baru saja dicabut. Namun, sejarah mencatat pengorbanan mereka semua tidaklah sia-sia, sebab RUU PKB yang rentan menimbulkan abuse of power itu batal disahkan oleh rezim manapun jua (Hukum Online.Com, 23/10/2000).

Ijal Sang Pejuang Altruis

Patut disyukuri, elemen pergerakan khususnya mahasiswa di Lampung tampak begitu setia menaruh perhatian pada Tragedi UBL Berdarah 1999. Selama 22 tahun berlalu, rasanya tak sekalipun terlewatkan digelar berbagai rangkaian kegiatan untuk memperingatinya, baik berupa demonstrasi, forum diskusi, hingga pementasan seni. Rasanya final bagi kita semua, Ijal dan Atul adalah Pahlawan Reformasi yang membanggakan dari Tanah Lada ini.

Namun, seperti ada yang terlewatkan dalam narasi sejarah yang dominan dituturkan.  Aktivis gerakan mahasiswa, jurnalis, maupun para tokoh penyintas cenderung hanya membicarakan seputar latar peristiwa penolakan RUU PKB, kronologis tragedi, buntunya penegakkan keadilan, peran-peran heroisme pribadi, serta detail kenangan tentang Atul yang memang mencerminkan idealisme jurnalis. Dibandingkan Atul yang mungkin bisa disebut “korban salah sasaran”, sosok Ijal yang demonstran betulan saat itu justru “agak terpinggirkan” dan malah dipenuhi dengan kabar yang kabur.

Harumnya nama Atul semisal dapat ditengok dari apresiasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung yang sejak tahun 2008 rutin menggelar Saidatul Fitria Award bagi karya jurnalistik yang memiliki dampak positif bagi demokrasi. Juwendra Asdiansyah misalnya jurnalis kawakan yang di masa itu menjabat sebagai Pemimpin Umum UKM Pers Mahasiswa Teknokra Unila bahkan rutin bicara dan telah mencatatkan ingatannya dalam buku berjudul Pertengkaran Orang Baik yang terbit tahun 2021. Lantas, siapa sebenarnya M Yusuf Rizal? Bagaimana sosoknya baik dalam perjuangan, perkuliahan, keluarga, bahkan percintaan?

Penelusuran informasi terus menggelinding bak bola salju untuk menjumpai kontak demi kontak pribadi yang mengenal baik sosok mendiang Ijal. Melalui forum daring saya berhasil berbincang dengan beberapa rekan seperjuangannya seperti Surya Adhi (Ilmu Pemerintahan ’97), Taufik Hidayat/Galang (Ilmu Pemerintahan ’97), Laila Ahmad/Uthet (Humas ’99), Suci Perlindungan (Ilmu Tanah ’97), Berga Saragih (Sosiologi ’97), Bella Suzantina (Komunikasi ’97). Kedekatan mereka dengan Ijal sebagai inner circle pergaulan kesehariannya dalam beberapa tahun menyandang status aktivis mahasiswa hingga ajal menjemput tak bisa diragukan. Terlebih Berga sahabat karibnya sejak Penataran P4 di awal perkuliahan.


(Foto Bundel Kliping Kenangan Keluarga M Yusuf Rizal - Sumber: Koleksi Ahmad Jusmar)

Ijal sama sekali bukan aktivis karbitan, apalagi sekedar ikut-ikutan. Ia merenangi dunia kampus persis di masa puncak krisis politik nasional alias ketika Indonesia hamil tua. Sebagai mahasiswa FISIP Unila, tentu sejak awal ia sudah melebur dalam kultur perjuangan. Bermula dari seringnya ikut diskusi dengan para senior di fakultas, ia bersama beberapa rekan seangkatan seperti Surya, Andrianto, Muzzamil, Galang, Aprica Winata, dan Berga membentuk sebuah Kelompok Diskusi bernama CIKAL, akronim dari Cermin Ilmu dan Kreativitas Intelektual.

Ijal tercatat sebagai anggota aktif UKM-F CAKRAWALA yang menjadi saluran hobi pecinta alamnya sejak remaja. Ia tak sekedar gemar mendaki demi menikmati hening dan menghirup segarnya udara murni pegunungan, tetapi juga mengidolakan mendiang Soe Hok Gie berikut pemikirannya yang kerap ia kutip dan tulis di sela buku harian. Hal ini membuatnya tumbuh menjadi sosok aktivis yang romantik dan kontemplatif serta menggandrungi sastra.

Pada suatu aksi mogok makan yang diikutinya, tanggal 3 Oktober 1997 Ijal berteriak keras di dalam hati dan menuliskannya sebagai puisi “Diam adalah Aksi!” di secarik kertas. Ya, dari keterangan rekan-rekannya, Ijal memang bukan tipikal orator yang haus panggung. Tapi soal demonstrasi, ia nyaris tak pernah absen. Konon, ia punya posisi favorit di barisan terdepan sebelah kanan sambil memegang bendera atau juga spanduk tuntutan. Ini bukan tanpa alasan, dengan sosok tubuhnya yang tinggi besar ia merasa lebih mudah membuka jalan bagi kawan-kawannya jika terjadi bentrokan. Sebuah cerminan sikap atruistik yang dimilikinya.

Sidang Paripurna MPR RI tanggal 11 Maret 1998 yang resmi melantik Soeharto sebagai Presiden untuk ketujuh kalinya, didampingi B.J. Habibie dalam masa jabatan 1998-2003 telah menuai protes keras di seluruh penjuru negeri. Tak luput, mahasiswa Lampung berdemonstrasi nyaris setiap hari, hingga meletuslah Tragedi Gedung Meneng Berdarah pada Kamis, 19 Maret 1998 di Jalur Dua Unila Jl. Soemantri Brojonegoro. Meski tak ada korban jiwa, puluhan mahasiswa terluka akibat bentrokan hebat dengan aparat itu. Ijal tak ketinggalan turut serta menyala sebagai titik api dalam momentum aksi besar ini. Hingga setelahnya, sebuah sajak mengharukan karya Iswadi Pratama untuk mengenang peristiwa ini selalu terlipat rapih dan terselip di dompetnya.


                    (Foto Puisi Iswadi Pratama Favorit Ijal - Sumber: Koleksi Ahmad Jusmar)

Usai ikut bergulung peluh merobohkan tirani Orde Baru, Ijal dan kawan-kawannya dari beragam Kelompok Diskusi yang tumbuh menjamur di masa itu menginisasi konsolidasi gerakan mahasiswa pasca reformasi, khususnya di dalam kampus. Guna mengisi kevakuman Senat Mahasiswa Unila dan berangkat dari pandangan agar lembaga internal kampus bisa hadir dengan spirit progresif-revolusioner, mereka membentuk sebuah organisasi wadah bernama Dewan Mahasiswa (Dema-Unila) yang diketuai oleh Surya Adi. Sementara Ijal bertugas di Departemen Pengembangan Organisasi (DPO).

Bersama DEMA Unila, aktivisme Ijal semakin matang ditempa. Meski tidak resmi diakui Rektorat, kala itu aktivitas DEMA Unila cukup populer dan tiada putusnya. Lebih banyak mereka concern pada isu-isu nasional dan kerja pengorganisiran multi sektoral dengan mengadvokasi konflik rakyat tertindas. Diyakini bahwa gerakan mahasiswa tak semestinya hanya menjadi moral force yang temporer, melainkan harus mewujud sebagai political force. Mereka menggugat kecenderungan mahasiswa yang terlanjur nyaman di atas menara gading intelektualitas dan enggan turun langsung menuntaskan beragam masalah rakyat kecil.

Jargon perjuangan DEMA Unila sendiri berbunyi “Menuju Kampus Demokratis Pro-Rakyat!”, sebuah perspektif yang anti-mainstream di masanya. Sementara program perjuangannya mencakup beberapa tuntutan seperti: “Hapuskan Dwi Fungsi ABRI”, “Cabut Paket 5 UU Politik”, “Pendidikan dan Kesehatan Gratis”, sampai dengan solidaritas “Kemerdekaan bagi Timor Leste”. Sikap politik organisasional yang  cadas ini memang cerminan dari tujuan pokok mereka untuk mewujudkan reformasi total. Namun, posisi melawan arus ini pasti menanggung resiko. Keseharian mereka menjadi sorotan banyak mata, mulai dari bidikan intelejen hingga lembaga rektorat yang tak kunjung memberi restu legalitas. Belakangan, untuk memoderasi pergerakannya, berkali-kali sekretariat DEMA Unila digembok pihak kampus hingga ditawari untuk mengubah diri menjadi UKM HAM dan Demokrasi. Barang tentu ditolak mentah-mentah oleh sekumpulan pemuda yang sedang bergolak itu.


(Foto Aktivitas DEMA Unila - Sumber: Koleksi Dema Unila )

Di acara-acara diskusi publik, pameran buku, dan mimbar bebas yang digelar DEMA Unila, Ijal kerap tampil sebagai agitator pembakar semangat peserta. Biasanya dengan penuh semangat ia mengusung kepalan tinju tangan kirinya ke atas seraya memimpin pembacaaan “Sumpah Mahasiswa Indonesia”, lagu “Darah Juang”, atau puisi Wiji Thukul “Peringatan” yang amat populer itu. Kesehariannya di kampus usai berkuliah lebih banyak dihabiskan di sekretariat DEMA Unila yang menempati sebuah ruang terbengkalai dan sebelumnya menjadi laboratorium persidangan Fakultas Hukum di lantai 2 samping gedung Balai Bahasa.




 (Foto-Foto Ijal Saat Menjadi Aktivis DEMA Unila - Sumber: Koleksi Dema Unila )

Tragedi UBL Berdarah sebenarnya merupakan puncak demonstrasi dari rentetan beberapa aksi massa sebelumnya di Lampung untuk ikut menolak pengesahan RUU PKB yang digagas oleh DEMA Unila beserta unsur lainnya yang tergabung dalam KMPPRL (Komite Mahasiswa Pemuda Pelajar dan Rakyat Lampung). Tanggal 26 September 1999, mereka berunjuk rasa di depan markas KOREM GATAM dan mendapatkan sambutan represi. Idhan Januwardhana aktivis Pussbik yang tergabung dalam aliansi menjadi sasaran pukul tentara. Besoknya tanggal 27 September 1999 di depan markas Koramil Kedaton, 11 orang aktivis DEMA Unila termasuk Ijal menggelar aksi diam sebagai bentuk protes.

Tanggal 28 September 1999, Ijal datang terlambat. Ia tidak mengikuti dari titik awal longmarch di Unila. Ia baru muncul bergabung dalam barisan demonstran setelah tiba di dekat kampus UBL. Seperti biasanya, Ijal pun langsung mengambil salah satu bendera DEMA-Unila dan maju ke barisan depan sebelah kanan. Ia larut dalam riak gelombang protes hari itu, beberapa rekannya berhasil merubuhkan papan nama koramil dan dengan euforia Ijal ikut menginjak-injak. Sampai akhirnya desingan peluru tajam tentara dilepas tanpa pertimbangan. Ratusan massa aksi itu terkejut dan kocar-kacir berhamburan mencari selamat. Tetapi takdir untuknya sudah digariskan, Tuhan memilihkan waktu terbaik baginya menjadi Syuhada.

Ijal gugur sebagai pahlawan bagi banyak orang. Persemayamannya dilakukan dengan penuh khidmat dari ribuan manusia, entah yang mengenalnya dengan baik maupun yang tersentuh karena merasa haknya diperjuangkan. Jenazah Ijal yang semula terbujur kaku di RSUDAM esok harinya disalatkan di Masjid Al Wasi’i Unila. Agamawan KH. Abdurrahman Hilabi (alm) bahkan turut mengusung keranda jenazahnya, sungguh penghormatan yang mengharukan bagi kawan seperjuangan terlebih keluarga yang ditinggalkan. Jasadnya dengan tenang dikebumikan di TPU yang tak jauh dari rumah orang tuanya, di kawasan Bayur, pinggiran Kota Bandar Lampung.


(Kliping Koran Persemayaman Ijal - Sumber: Koleksi Ahmad Jusmar)

Si Introvert Andalan Ebak dan Emak

Bagi keluarganya, kabar kematian Ijal ibarat petir yang menyambar di siang bolong. Ebak dan Emak tak kuasa menahan tangis meratapi putra bungsunya yang pagi tadi berpamitan sudah tak lagi bernyawa. Namun, dibalik duka yang teramat dalam, mereka begitu tegar dan ikhlas menerima kenyataan. Ijal, anak yang sejak kecil berwatak penurut dan pendiam itu ternyata memiliki karya besar dan pergaulan begitu luas di luar rumah. Seorang senior sekira di tahun 2008 pernah bercerita, ia baru saja ziarah dan silaturahmi ke rumah keluarga almarhum. Meski matanya masih selalu berkaca dan bibir kadang bergetar, konon Ebak (kini sudah almarhum) selalu hangat menyambut siapapun yang berkunjung untuk mengenang putranya.

  

(Foto Pusara Makam M Yusuf Rizal - Sumber: Koleksi Berga Saragih)

Ahmad Jusmar, kakak kandung mendiang Ijal dalam wawancara mengakui hingga sekarang pihak keluarga masih merawat bundel dokumen yang berisikan segala macam kliping koran, foto-foto, dan buku catatan harian. Ia bahkan sempat terkejut ketika menemukan fakta adiknya ternyata seorang pengarsip dan pencatat yang tekun dan detil. Di dalam buku hariannya, Ijal menyimpan banyak potongan kliping berita demonstrasi, juga berbagai konsep tulisan setengah jadi yang hanya berupa sobekan kertas kumal. Ia juga mencatat kesan perjalanannya menjumpai tahanan politik, Budiman Sujatmiko di penjara Salemba, Jakarta Pusat.

Terlahir di Teluk Betung pada 5 Juli 1978, Muhammad Yusuf Rizal adalah bungsu dari empat bersaudara. Kakak pertamanya perempuan yang sudah menikah dan tinggal diboyong suami ke Unit II Menggala. Kedua abangnya sama-sama merantau untuk berkuliah di Yogyakarta. Otomatis Ijal seoranglah anak yang tinggal di rumah. Bagi semuanya, ia bukan sosok bungsu yang manja dan kerap merajuk. Sebaliknya ia justru sangat mandiri dan benar-benar penurut sampai menjadi “anak andalan” kedua orang tuanya.

Bahkan setelah ia berstatus mahasiswa yang notabene juga aktivis pergerakan di luar sana, Ijal tak sekalipun membantah apalagi menolak jika disuruh Emak membeli minyak tanah dengan jeriken literan di warung tetangga. Pun demikian jika Ebak menyuruhnya menggiring kambing peliharaan untuk kembali ke kandang agar tak kuyub diguyur hujan yang sudah memberi pertanda akan turun ke Bumi. Ijal, mahasiswa semester lima berambut gondrong dengan kulit sawo matang itu tak pernah mengeluh dan selalu mengiyakan. Maka wajar saja jika kepergian sang martir ke haribaan-Nya menyisakan lubang kosong di hati keluarga.





(Foto-Foto Ijal Saat Menggeluti Hobinya - Sumber: Koleksi Ahmad Jusmar)

Dalam benak kenangan Jusmar sang Kakak, si bungsu andalan keluarga itu memang berkarakter introvert. Bahkan kala tiba musim liburan semester dan kedua abangnya pulang ke rumah, Ijal harus dipancing lebih dulu untuk memulai cerita dan canda gurau. Tapi menurutnya, meski begitu pendiam sang Adik sesungguhnya menyimpan banyak bakat dan luwes bergaul. Ijal yang bertubuh tinggi dengan rambut lurus panjang terurai itu selain punya hobi pada aktivitas pecinta lingkungan, diketahuinya juga tergabung sebagai penjaga gawang dalam club Sepak Bola FISIP Unila. Sering pula ia tampil garang di berbagai Festival Musik sebagai vokalis RFC band yang beraliran rock.

Pernyataan soal karakter dingin dan tertutupnya Ijal ini dibenarkan pula oleh kawan-kawan almarhum. Suci dan Uthet menyebut selama mengenalnya dalam satu organisasi, tak ada secuilpun ingatan jika Ijal pernah menggoda wanita, ia malah selalu kikuk jika harus berinteraksi dengan kawan perempuan meski sudah kenal dekat. Berga sohib kental yang nyaris 24 jam selalu bersama, bahkan baru mengetahui jika Ijal memendam rasa suka yang teramat pada teman sejurusannya yang berinisial RIA, justru setelah ia wafat. Terutama dari berbagai curahan perasaannya yang ditutup rapat dalam lembaran buku harian.

Itulah sepenggal kisah Muhammad Yusuf Rizal, yang mati secara paripurna. Sebagaimana bunyi dalam petikan sajak favoritnya:       

Ibu, jika besok aku ‘ndak pulang, burung perenjak di halaman

tak berhenti bernyayi, angin menebar amis darah dari jalan-jalan

dan kau membaca sebuah nama tiba-tiba dikabarkan hilang

tak usah cemas dan jangan menangis.

 

 




----------------------------------

*) Alumnus Sosiologi FISIP Universitas Lampung Angkatan 2008. Saat ini bekerja sebagai Analis Kelembagaan di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP RI). Aktif menulis kolom dan cerpen di media massa. Kumpulan artikel opininya di rentang tahun 2010-2015 telah dibukukan dengan judul Biji Yang Bertumbuh: Bunga Rampai Pemikiran Kritis Mahasiswa.  

Catatan: Artikel ini dibuat untuk ajang penulisan kolektif dari alumni FISIP Unila berjudul:

Buku Romantika di Kampus Oranye 

kerjasama Pustaka LABRAK dan IKA FISIP Unila, Maret 2022.

Data Buku

Judul: Romantika di Kampus Oranye: Dinamika FISIP Universitas Lampung dari Kisah ke Alumni
Penulis: Agus Muhammad S, et. al.
Editor: Udo Z Karzi
Penerbit: Pustaka LaBRAK & IKA FISIP Unila
Cetakan: I, Maret 2022
ISBN: 978-623-5315-00-3
14 x 21 cm, 300 hlm
-------------------------