RESENSI / REVIU BUKU
(Buku Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3 karya Prof. Assoc. Dr. Firdaus Syam, M.A.)
Oleh:
M. SADDAM SOLIHIN SAPTA DWI CAHYO
PEMBAHASAN
Buku berjudul Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3 karya Firdaus Syam ini memiliki nilai lebih yang memberi titik pembeda dan unsur kebaruan ketimbang buku-buku dengan tema serupa yang pernah terbit mewarnai khasanah ilmu politik di Indonesia. Terutama bisa dijumpai dari upaya penggalian dan penegasan bahwa perkembangan pemikiran politik barat yang selama ini berlangsung dan dianggap paling unggul itu, ternyata juga memiliki akar pengaruh kuat dari perkembangan pemikiran tokoh besar dari golongan Muslim di masa lalu. Sebut saja Al Farabi, Ibnu Sina (Avicena), Ibnu Rusyd (Averros), dan Ibnu Khaldun yang legacy pemikirannya turut menjadi katalisator yang memantik gelombang pemikiran dunia barat.
Sementara pada kesempatan ini saya memfokuskan diri pada pembahasan menarik dalam Bab 12 tentang Memahami Ideologi Besar Dunia yang termuat pada halaman 231 sampai 244. Firdaus Syam secara reflektif mengajak kita menyelami arus pemikiran yang berlangsung jauh di belakang, bagaimana serunya kemelut manusia dalam pergulatan sejarah peradaban. Secara umum terdapat dua kecenderungan manusia dalam prosesnya menciptakan sejarah: 1) adanya orang-orang besar yang meruntuhkan bangunan sistem kehidupan yang telah mapan; 2) adanya kelompok dan massa yang aspirasinya mempengaruhi peristiwa secara permanen.
Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai para pemimpin, orang bijak, filsuf, begawan, raoshanfikr, free thinkers, atau juga rasul dan nabi, yang kemudian juga mewujud sebagai ideolog karena memberi inspirasi serta bimbingan untuk mencapai suatu pembebasan dan pencerahan bagi masyarakat. Namun, di sisi lain sosok-sosok manusia istimewa yang berperan dalam roda zamannya itu sebagiannya ada pula yang punya kecenderungan untuk lebih mengedepankan hawa nafsu, dimana kecerdasan dan ambisi saling berkejaran hingga pada akhirnya justru malah merusak tatanan peradaban dan menimbulkan penderitaan bagi masyarakat.
Sehingga dapat digeneralisir bahwa terdapat dua golongan atau tipikal manusia ideolog itu, yakni:
1) Ideolog yang “memaksa” atau koersif dan cenderung keras. Pada konteks ini kita dapat menjumpai bahwa Sang ideolog dalam memelopori proses perubahan sistem kehidupan atau peradaban itu dengan cara yang keras. Sejarah dibangun dalam nuansa permusuhan, pertentangan, pertumpahan darah, luka dan kepedihan. Adapun terasa harmoni yang manis tetapi terlalu singkat, sebab masyarakat manusia itu dibayangi oleh ketakutan, ketidakpastian, sehingga tidak ada pembebasan dan yang terjadi justru pemasungan.
Sejarah umat manusia telah mencatat banyak fenomena dimana dalam suatu era hadir manusia ideolog yang punya kemampuan dan kharisma kuat untuk dapat menggugah dan membangkitkan gelora masyarakat agar tergerak memecah kebuntuan zaman. Pengaruhnya kemudian mampu “merasuk” dan “menyihir” alam pikir dan tindakan masyarakat yang kemudian menimbulkan kultus baru dan apa yang disebut sebagai isme-isme sempit. Dimana ideologi yang diperjuangkan secara kaku dan dogmatis itu justru tanpa disadari melahirkan konflik berkepanjangan dan penindasan.
Sebagai contoh misalnya Fasisme yang juga pernah hadir dalam bentuk gerakan Nazi oleh Adolf Hitler yang menganggap ras arya Jerman adalah bangsa unggul hingga memicu Perang Dunia Kedua. Komunisme ala Uni Soviet yang digawangi Joseph Stalin dengan hasrat menghalalkan segala cara bengis untuk menguasai dunia dan memunculkan perang dingin di paruh abad 20. Zionisme yang dibangun oleh bangsa Yahudi Israel sejak tahun 1980an dengan ambisi penguasaan tanah Palestina Muslim yang terus berlangsung mengkhawatirkan sampai saat ini.
Ideologi memang wajib dipertaruhkan sampai tercapai kemenangan dan tujuannya yang mulia, tetapi jika dilakukan dengan jalan hitam, sentimen, fanatik, arogansi, hipokrit, kepalsuan, kepicikan, kebohongan, otoritarian, dan kerakusan atas kekuasaan maka masyarakat akan menanggung buah pahit penderitaan yang traumatik atau tragedi dan keruntuhan. Pada akhirnya ideologi yang “memaksa” seperti ini hanya memberi kesan awal kepastian tetapi selalu diakhiri dengan kesanksian.
2) Ideolog yang “mengajak” atau persuasif dan cenderung lembut. Meski daya dobraknya terkesan lemah dan lambat dalam memelopori perubahan bagi masyarakat, upaya ideolog yang mengambil jalan seruan dan ajakan untuk senantiasa teguh pada nilai-nilai perdamaian, keharmonisan, dan kebijaksanaan justru teruji oleh waktu. Karya, inspirasi, dan keyakinan yang diperjuangkan memberikan pesona kebanggan dan ketakjuban yang abadi dalam benak masyarakat yang mengikutinya atas dasar kerelaan dan kesadaran atau kemauan bebas.
Umumnya ideolog seperti ini asosiasinya lekat dengan para begawan, filsuf, orang bijak, atau tokoh spiritualitas, bukan petarung politik tetapi tak gentar menghadapi tantangan zaman. Sejarah mencatatnya dengan kertas putih bertinta emas sebagaimana yang pernah ditorehkan oleh para rasul seperti Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad. Para filsuf dan bijak seperti Socrates Konfusius, Nicolas Copernicus, Galileo Galilei, sampai Mahatma Gandhi.
Seruan yang mereka koarkan harus lebih dulu menghadapi banyak penolakan dan ujian untuk bisa didengarkan kemudian dipercaya oleh masyarakat, karena sudah menjadi watak dasar manusia untuk lebih mengharapkan diri pada janji akan kepastian perubahan dalam waktu singkat. Namun, pada akhirnya ideologi yang “mengajak” seperti ini meski memberi kesan awal kesanksian tetapi justru diakhiri dengan kepastian.
Betapa penting bagi para pelajar ilmu politik untuk memahami mengapa suatu ideologi itu terlahir, tumbuh, berkembang, bahkan mati di tengah masyarakat. Ini tak lain daripada pengaruh dari perkembangan pemikiran politik yang dinamis dan akseleratif, berkelindan dengan budaya politik yang terus dibangun, ideologi menjadi produk sekaligus inspirasi untuk lahirnya suatu keyakinan dan prinsip yang mendasari suatu komunitas manusia untuk menjadikannya sebagai dasar dan cita-cita yang patut diperjuangkan dalam jangka panjang. Secara positif ini berguna untuk menghindari sikap petualang (avonturir) yang cenderung oportunistik bagi seorang politikus atau kelompok politik.
Secara etimologis istilah ini berasal dari bahasa latin, dimana ideo berarti pemikiran dan logis berarti logika atau ilmu, sehingga didefinisikan sebagai ilmu mengenai keyakinan dan cita-cita. Ideologi juga merupakan rumusan alam pikiran yang terdapat di berbagai subjek atau kelompok masyarakat dan dijadikan dasar untuk direalisasikan. Ideologi tak hanya dimiliki oleh suatu negara atau bangsa, tetapi sangat mungkin dimiliki oleh suatu organisasi di dalamnya seperti partai atau asosiasi politik.
Terdapat pula perbedaan kedudukan antara ilmu,
filsafat, dan ideologi dalam hal perjuangan politik. Baik ilmuwan maupun
filsuf, tidak akan memaksakan atau berusaha mempengaruhi masyarakat untuk
kemudian membentuk suatu kelompok yang melawan suatu kekuasaan politik yang
dianggap merusak kehidupan publik. Ia hanya akan menjelaskan dan
mempresentasikan apa yang ditemukannya sebagai suatu karya, yang secara moral
dianggap perlu untuk diketahui oleh masyarakat, senantiasa bersikap netral atau
bebas nilai, dan tidak beranjak lebih dari itu.
Ø
Alfian menyebut
sebagai pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh dan mendalam yang dipunyai
dan dipegang oleh suatu masyarakat tentang sesuatu yang secara moral dianggap
benar dan adil, dan mengatur tingkah laku bersama dalam berbagai segi
kehidupan.
Ø
Ali Syariati
menyebut bahwa ideologi ibarat kata ajaib yang menciptakan pemikiran dan
semangat hidup di antara manusia, terutama kaum muda, dan khususnya di kalangan
cendekiawan dan intelektual dalam suatu masyarakat.
Ø
Sukarna
menyebutnya sebagai konsepsi manusia mengenai politik, sosial, ekonomi, dan
kebudayaan untuk diterapkan dalam masyarakat dan negara.
Ø Sidney Hook menyebutnya program aksi yang diperuntukan bagi suatu bangsa.
Gerakan ideologi pernah mendapatkan panggung yang penting tercatat dalam sejarah manusia, khususnya di sepanjang abad ke-20 hingga awal abad ke-21. Kehadirannya menggoyahkan banyak kekuatan status quo yang sebelumnya tak pernah terbayang dapat diruntuhkan. Ideologi melahirkan gerakan dan meletuskan revolusi baru yang membuat orang berpikir akan pentingnya reinterpretasi dan reorganisasi suatu tatanan kehidupan pada masyarakat tertentu. Ideologi besar seperti liberalisme, imperialisme, fasisme, komunisme, anarkisme, nasionalisme, dan lain sebagainya terus bertumbuhan dan menggetarkan peradaban. Satu persatu mucul dan hadir berjuang untuk membongkar tatanan lama dan membangun tatanan baru, berakhir dalam kegagalan total maupun keberhasilan yang gemilang.
Namun, sepertinya situasi sangat berbeda dengan era ini dimana arus globalisasi sudah demikian derasnya. Isu tentang perubahan besar-besaran tidak lagi bisa mendapatkan perhatian dengan tingkat antusiasme setinggi pada masa lalu. Di masa ini, keterbukaan dan akses terhadap komunikasi dan informasi digital sudah sangat luar biasa, sehingga tak ada celah lebar bagi seruan kepalsuan, kebohongan, dan ketidakjujuran dari suatu filsafat yang tumbuh menjadi ideologi untuk mengumbar janji terbangunnya peradaban ideal padahal ia berwajah hipokrit.
Firdaus Syam dalam buku ini memiliki analisis tentang beberapa kemungkinan yang melatari kelahiran suatu ideologi, diantaranya: 1) Lahir dari pemikiran seseorang, diinspirasikan oleh sosok -tokoh luar biasa, yang memiliki pengaruh kuat untuk menginspirasi masyarakat, lalu pikirannya mendapatkan dukungan dan diperjuangkan secara sistematis dalam gerakan politik; 2) Lahir dari alam pikir masyarakat, oleh sekelompok orang yang berpengaruh, untuk berkonsensus dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dan bila perlu dibubuhi pengakuan legal atau kultural agar dituruti; 3) Lahir dari keyakinan tertentu yang bersifat universal, semisal oleh sosok yang diyakini mewakili kehendak Tuhan, yang membawa pesan pembebasan dan bimbingan hidup serta konsekuensi moral bagi pelanggarnya.
Terlepas dari itu, pada prinsipnya suatu ideologi sering disamakan sebagai suatu keyakinan, sebab ia mengandung mitos dan cita-cita yang harus direalisasikan dan nilai kebenaran bagi pengikutnya. Ideologi bukan hanya diakui dan diakui, bahkan dihayati sebagai spirit hidup dan perjuangan untuk menjawab tantangan zaman. Mengutip Alfian, terdapat tiga dimensi yang harus dipenuhi oleh suatu ideologi agar mampu mempertahankan relevansinya, yakni:
1) Dimensi Realitas. Mencakup kemampuan untuk selalu
mencerminkan realita dari nilai-nilai riil yang hidup dan berkembang di tengah
masyarakat seperti budaya dan sejarahnya.
2) Dimensi Idealisme. Kemampuan untuk selalu memberi
harapan akan cita-cita masa depan yang lebih baik.
3) Dimensi Fleksibilitas. Kemampuan untuk meneropong dan menghadapi perubahan secara luwes tanpa meninggalkan jatidirinya.
Selanjutnya dikutip pula Ali Syariati untuk menjelaskan tahapan-tahapan operasionalisasi dari suatu ideologi untuk dapat diterima oleh suatu masyarakat, yakni: pertama tentang cara melihat dan mengungkap eksistensi alam semesta dan manusia, kedua tentang cara menilai semua hal dan gagasan yang membentuk lingkungan sosial maupun mental kita, dan ketiga mencakup usulan metode sebagai pendekatan yang dipakai untuk mengubah status quo yang dianggapnya tak memuaskan.
Berangkat dari sekian banyaknya varian ideologi yang pernah tumbuh dan berkembang dalam sejarah peradaban manusia, faktanya bahwa ia akan selalu terus terbentuk dari pergulatan pemikiran yang terus menerus kita lakukan. Siklusnya bergerak dari suatu pemikiran politik yang berkelindan dengan budaya politik yang ada, berkembang menjadi filsafat dan teori politik, bahkan tak menutup kemungkinan untuk tumbuh menjadi suatu ideologi baru. Setidaknya terdapat tiga pendekatan aliran filsafat besar yang kerap melahirkan dan memberikan corak utama pada suatu ideologi, diantaranya:
1) Filsafat Idealisme. Mengedepankan rasionalisme dan
individualisme, yang dalam kehidupan politik telah melahirkan Liberalisme lalu
Kapitalisme atau juga Kolonialisme dan Imperialisme. Menempatkan manusia dengan
kemampuan idenya sebagai center of nature, bahwa alam pikir manusia yang
sebebasnya itulah titik pangkal sejarah manusia.
2) Filsafat Materialisme. Mengedepankan emosi perjuangan
kelas sosial dan kolektivisme, yang dalam kehidupan politik melahirkan
Sosialisme, Anarkisme, Komunisme. Menempatkan realitas material, corak
produksi, atau basis ekonomi adalah faktor penentu perubahan sejarah manusia.
3) Filsafat Teologis. Prinsipnya mengedepankan ajaran ilahiah untuk peran sentral dalam kehidupan politik dan kenegaraan, baik dalam bentuk pengkultusan pada pemuka agama sebagai wakil Tuhan, maupun dalam bentuk lain yang cukup menempatkan keimanan sebagai sumber inspirasi dan guidance bagi pejuang politik dan enyelenggara negara.
Akhir kata, buku ini layak dan penting dibaca oleh setiap pelajar ilmu sosial, politik, humaniora, bahkan masyarakat lainnya. Gaya bahasa dalam penulisan yang dipergunakan oleh Firdaus Syam terasa mengalir, ringan, dan kerap dijumpai diksi yang cukup puitis sehingga saya kira akan membantu pembaca awam sekalipun untuk dapat mengikuti pengetahuan yang sedang dihantarkan. Meski demikian, masih terdapat beberapa cela seperti salah ketikan atau juga penggunaan kata yang salah/tidak baku, sehingga saya akan sangat menarik jika naskah ini kembali naik cetak dengan mendapatkan sentuhan editor yang cermat.
RUJUKAN
Syam, Firdaus. 2007. Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3. Jakarta: Bumi Aksara.
_***_